Membayangkan Fatih berada dalam kendaraan umum di jalanan Jakarta membuatku khawatir. Sudah banyak berita mengerikan mengenai persoalan angkutan di kota ini. Sukar bagiku membiarkan rusa kecilku menggunakan satu dari sekian rupa kendaraan umum. Sekalipun itu taksi.
Aku tidak bisa membiarkan Fatih dalam bahaya. Apalagi the hippo adalah perempuan polos yang mudah dibodohi. Bisa saja ada penjahat yang menggunakan modus tertentu lalu mencelakai Fatih.
Akhirnya aku putuskan mengantar mereka ke apartemenku. Sebelumnya aku pamit pada atasanku, Pak Azhar. Mengatakan aku harus mengantar anak dan istriku ke apartemen lalu kembali lagi ke kantor. Dia mengizinkanku. Bahkan dia menggodaku yang sekarang sudah menjadi suami siaga. Cih, suami siaga, the hippo yang paling tahu betapa berengseknya aku sebagai suami. Godaan Pak Azhar malah menjadi sindiran angin bagiku.
Kembali ke dalam ruang kerjaku, OB kantor sedang membereskan peralatan bekas makan. Fatih dan mamanya tengah seru menonton sesuatu di ponsel.
"Terima kasih, pak," kata the hippo pada OB kantor yang sudah selesai membereskan meja.
"Sama-sama, bu. Saya permisi," kata OB. Dia berpamitan juga padaku yang aku balas ucapan terima kasih.
"Ayo, pergi," kataku sambil membuka laci meja kerjaku untuk mengambil ponsel yang aku simpan di situ.
"Papa, Batih mismis," kata Fatih.
Aku yang tidak paham maksud Fatih menyodorkan botol air mineral. Bayiku menggeleng. Tidak paham maunya, aku melirik mamanya.
"Dia mau pipis. Antar ke toilet. Dia maunya ama kamu," kata mamanya Fatih.
Toilet, bersama, Fatih... Aku belum pernah membantu anakku di toilet. Mandi bersama pernah tapi membantu Fatih pipis jelas cerita berbeda. Ini membingungkan.
"Cepetan. Ntar dia nahan pipis malah sakit perutnya. Dia kecil gini gengsinya tinggi loh. Kalo udah ngaku mau pipis di toilet pasti pipis di toilet. Nggak bakal mau pipis di popok," omel mamanya Fatih.
"Tapi, aku.." Eugh, aku kesulitan menjelaskan kekhawatiranku membantu Fatih pipis. Ini bukan soal aku jijik tapi sungguh aku tidak paham bagaimana membantu Fatih.
"Cepetan!" The hippo memindahkan Fatih ke dalam gendonganku lalu mendorong badanku keluar ruangan. "Dimana toiletnya?"
"Di sana!" Aku menunjuk ujung lorong.
"Ya udah sana antar. Tinggal pelorotin celana ama popok trus dudukin Fatih di toilet. Kalo udah selesai pake tisu basah aja lap weewee Fatih."
"Weewee?"
"Tititnya Fatih. Cepet sana!" Dia menyerahkan bungkusan tisu basah padaku lalu menutup pintu ruangan kasar. Dia pikir itu ruangan siapa, kenapa dia yang seenaknya banting pintu ruang kerjaku?
Demi Tuhan, membantu Fatih di toilet merupakan kerja keras. Dia berlarian dari satu bilik ke bilik lainnya. Saat aku coba tangkap dia menyusup di celah bawah pembatas antar bilik. Badan kecilnya memungkinkan melewati celah sekecil itu. Saat berhasil menangkap tangannya, aku angkat dia. Aku tidak tahu apa ayah lain yang memiliki seorang putera juga mengalami yang aku hadapi siang ini.
Kembali ke ruang kerjaku, mamanya Fatih segera berdiri. "Ayo, jalan!" Sejak tadi dia memerintahku terus. Dia pikir karena dia yang lebih disayang Fatih, dia bisa berlaku seenaknya padaku. Kali ini aku biarkan dia berlaku sesukanya. Di apartemen, aku yang berkuasa. Dia wajib mengikuti aturanku.
Aku memimpin jalan keluar kantor. Beberapa karyawan yang sudah kembali dari istirahat makan siang menatap kami penasaran. Beberapa karyawan pria ada yang terang-terangan terpesona oleh sosok yang membuntutiku dan karyawati menampilkan wajah iri. Mereka belum lihat saja bagaimana jika the hippo membuka mulutnya. Berisik dan menyebalkan. Kecantikan yang mereka lihat tidak sebanding dengan --ahh, lupakan soal hippo. Buat apa aku mengurusi mata orang lain.
"Wah, bos, mau kemana?" Asyraf, salah satu bawahanku menyapa saat kami bertemu di depan lift.
"Gue balik sebentar. Tolong siapkan laporan perusahaan Pak Guntur, paling lambat jam tujuh sudah email ke gue," kataku.
"Yang sama istri cantik dan anak lucu masih aja inget ngasih kerjaan, bos," goda Asyraf. Aku hanya mengendikan bahu, malas menimpali. Matanya beralih ke mamanya Fatih, terlihat jelas dia mengagumi perempuan berotak kedelai ini. Sayangnya, the hippo sibuk bermain peek a boo bersama Fatih di belakangku.
Pintu lift terbuka, aku pamit pada Asyraf yang masih diam-diam memandangi the hippo. I'm a man anyway I know he has some crush on the hippo for the first sight. Aku hanya tersenyum miring saat dia mengucap salam perpisahan pada ibu dan anak yang dijawab sekenanya.
"Di apartemen, tidak ada pembantu. Jadi kamu-"
"Wajib bersih-bersih, masak sendiri, cuci baju, apalagi?" Potongnya saat aku sudah memulai menyebutkan peraturan selama dia tinggal di apartemen. Tidak ada aturan khusus bagi Fatih, malaikat kecil adalah penguasa mutlak semua yang aku miliki.
"Carikan sekolah terbaik untuk Fatih. Antar-jemput dia sekolah dan-"
"Itu juga aku udah tau. Ada tugas yang baru ato aturan khusus kayak nggak boleh pegang ato masuk ke mana gitu?"
The hippo dan kebawelannya. Alasan lain aku memanggilnya the hippo, sekali mulutnya terbuka maka semakin lebar akan terbuka. Susah dihentikan ocehannya. Aku tahu kebawelannya akan membantu komunikasi Fatih namun --eugh, dia berbicara dengan cara yang konyol. Sangat memuakan. Terdengar kampungan. Aku selalu khawatir Fatih mengikuti caranya bicara.
"Saya tidak punya benda atau ruangan spesifik yang tersembunyi," balasku. Beruntung lift ini hanya diisi kami bertiga. Tidak ada yang ikut turun ke lantai dasar di jam berakhirnya waktu istirahat.
"Nggak ada aturan pisah ranjang?"
Perempuan ini sedang kenapa? Pembahasannya menjurus ke arah --For the God's sake, does she know men have strong instinct about 'you know what'? Omongannya ini bisa membangkitkan yang belum aku inginkan.
"Kamu ingin sekali tidur bersama saya?" Aku tidak bisa menghindari penasaranku.
"Tidur bertiga. Bareng Fatih juga."
"Boleh." Aku setuju soal tidur bersama Fatih. Rusa kecilku adalah asupan vitamin raga dan bathiniah terbaikku.
Perjalanan menuju apartemen dihabiskan dengan suara dari ponsel mamanya Fatih. Kini aku tahu lagu 'ading ading' yang suka dinyanyikan Fatih. Skidamarink, judul yang unik. Dia juga hapal gerakan tarinya. Manis sekali bayiku bergerak dan menari sesuai kemampuannya. Sungguh aku ingin merekamnya, menjadikan obat kepenatanku. Namun bertugas sebagai sopir memaksaku berpuas hanya bisa melihat aksinya melalui spion tengah.
Sesampainya di unit apartemenku, Fatih meringsek masuk berlari ke dalam kamarku. Dia naik ranjangku lalu melompat-lompat riang seperti belum pernah melihat ranjang sebelumnya. Lelah melompat, dia tidur di ranjang. Aku mengikutinya tiduran. Bagiku ini pengalaman hebat, bisa membawa puteraku sendiri ke unit apartemen yang berhasil aku beli menggunakan uang hasil jerih payahku. Bukan atas pemberian orangtuaku seperti rumah di Sunter dan mobil mewah the hippo.
"Papa." Fatih memeluk lenganku. Dia diam dalam posisi ini. Aku mengelus kepalanya sayang. Jika ada yang paling aku inginkan di dunia ini, tidak lain kebahagiaan Fatih. Semoga persetujuanku atas ide the hippo membawa lebih banyak kebahagiaan bagi malaikat kecilku.
Fatih tertidur lelap masih memeluk lenganku. Saat tidur, wajah malaikatnya semakin indah. Aku mengecup kening bayiku lama. Menghirup aroma bayi dari badan dan rambutnya.
"Papa sayang Fatih," bisikku di telinganya. Pelan-pelan aku melepaskan pelukannya. Aku harus kembali ke kantor.
###
04/11/2017
Apdet ketiga 🎉🎉🎉
Miss yg ngetik lagi demen ngetik ini biar cepet kelar. Capek, sist, bikin cerita begindang. Di awal gak ada part cecintaan, kan puyeng yess...
Weewee itu informal English buat sebut tit*t. Macam baby word gitchuu, sist.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pisah Nih?? [Dihapus Sebagian]
Ficción General[Beberapa part private] Su-a-mi, duh lidahku kelu nyebut kata itu. Padahal statusku istri orang tapi aku lebih mirip janda. Bukan cuma kurang belayan, Princess satu ini ampe lupa rasanya tangan lelaki. Suami penganut paham Bang Toyib, kerja di Tham...