Nyai

2.1K 146 37
                                    

Cahaya bulan masuk ke dalam ruangan dan sinarnya jatuh tepat di atas kepalaku. Gelombang energi purnama pun terserap ke dalam tubuhku, membuat wajah dan kulitku seakan bersinar. Aku membuka mata dan merasakan aroma dupa serta wewangian bunga 7 rupa yang terbawa angin. Malam ini malam Jumat, malam yang lebih wangi dan lebih sunyi daripada malam-malam biasa. Malam dengan energi mistis yang begitu besar. Terlebih ketika bulan purnama penuh seperti sekarang ini, yang kebetulan bertepatan dengan malam Jumat kliwon. Energi mistis menjadi berlipat ganda dan lebih pekat terasa. Kesunyian semakin mencekam dengan tak terdengarnya satu pun suara binatang malam.

Di kejauhan aku mendengar sebuah suara berbisik, nyaris tak terdengar. Suara itu memanggil namaku berulang kali, secara datar dan konstan, diselingi dengan beberapa baris mantra. Selama beberapa saat suara itu mengisi udara, memenuhi rongga telingaku.

Aku bergerak mendekati asal suara itu.

Dalam waktu sekejap, aku sudah berada di ruangan lain. Sebuah ruangan bernuansa hijau yang tertutup rapat oleh tirai. Semerbak aneka ragam wangi menyambut kedatanganku. Ratusan kelopak bunga dengan berbagai warna tersebar di lantai dan di atas ranjang. Asap tipis membumbung dari sebuah anglo berisi daun kemenyan yang dibakar di salah satu sudut ruangan. Seorang lelaki berpakaian serba putih duduk bersila dengan mata terpejam dan mulut komat-kamit. Badannya yang besar bermandikan wangi parfum. Lelaki itulah yang sedari tadi memanggilku.

"Nyai... Nyai sudah datang?" lelaki itu membuka matanya dan tersenyum begitu melihatku.

Hardianto Danubrata namanya. Di usianya yang baru 40-an tahun, ia sudah memiliki perusahaan besar dan banyak hotel di beberapa wilayah. Kamar ini adalah salah satu kamar terbaik di salah satu hotelnya, yang ia bangun khusus untukku. Sebuah kamar rahasia yang berada di balik dinding ruang kerjanya, dengan pintu masuk rahasia yang tak seorang pun bisa mengetahuinya kecuali dirinya sendiri. Ia membangun kamar ini untuk digunakan bersamaku di setiap malam bulan purnama.

Seperti saat ini, ia merapal mantra memanggilku disertai asap dupa dan wewangian bunga 7 rupa. Seperti biasa, aku datang ke dalam kamar khusus ini untuk bersanggama dengannya di atas tempat tidur yang bertabur bunga. Ia selalu memuji kecantikanku lebih dari ia memuji istrinya. Ia memujaku lebih dari ia mencintai keluarganya. Ia menikmati bersetubuh denganku, terlebih ketika sisik-sisik emas di sekujur tubuhku luruh di atas ranjang setelah kami selesai melakukannya. Dengan cepat ia mengumpulkan kepingan emas itu dan menyimpannya di lemari besi. Obsesinya pada harta kekayaan dan kekuasaan membuatnya dengan mudah mengorbankan orang lain, bahkan darah dagingnya sendiri. Ia seolah tidak peduli dan tidak keberatan ketika aku pernah meminta anaknya sebagai tumbal. 

Karena ketamakannya, Hardianto menyerahkan anaknya begitu saja kepadaku. Ketika sedang berenang di pantai, sebuah ombak besar menggulung dan menyeret remaja itu ke dasar laut. Untuk sesaat Hardianto membiarkannya dan baru berteriak minta tolong begitu tubuh anaknya hilang tertelan lautan. Tiga tahun kemudian anaknya yang kedua mengalami hal yang sama di tempat yang sama. Kini mereka menjadi penghuni kerajaanku bersama tumbal-tumbal lain dan menjadi budak pemuas nafsuku. Hardianto pun semakin bergelimang harta.

Istrinya yang berduka mencium gelagat mencurigakan setelah kematian anaknya yang kedua. Ia menemui seorang paranormal untuk mencari tahu dan membuktikan apa yang selama ini ia curigai. Begitu ia mengetahui yang sebenarnya, istrinya langsung menggugat cerai Hardianto dan membawa 1 anaknya yang tersisa pergi jauh dari wilayah pantai. Tak ada penyesalan di wajah Hardianto. Baginya harta adalah segalanya. Dengan harta ia akan lebih mudah mendapatkan perempuan lain yang mau menjadi istrinya.

Sekarang, seperti biasa sesaat setelah persanggamaan, sisik emas di sekujur tubuhku luruh memenuhi ranjang. Hardianto pun langsung sibuk mengumpulkan keping demi keping emas yang berserakan itu.

"Terima kasih, Nyai," ujarnya membungkuk, bersujud di hadapanku.

"Tahun ini tahun terakhir perjanjian kita, Hardianto. Tidak ada perpanjangan waktu lagi."

"Iya, Nyai. Saya tahu," Hardianto menunduk. Ia kembali duduk bersila di depan anglo yang masih mengeluarkan asap, dan menambahkan sejumput kemenyan ke dalamnya. Ia mengambil sebuah foto lalu diletakkannya di depan anglo itu.

"Ini tumbal terakhir persembahan saya, Nyai. Namanya Suryadirja."

Aku mendelik melihat wajah di foto dan mendengar namanya. "Kau tahu siapa Suryadirja, Hardianto?"

"Saingan bisnis saya, Nyai. Sebentar lagi perjanjian kita akan berakhir, Nyai akan membawa saya. Bisnis saya akan hancur dan semua harta kekayaan saya akan musnah. Sebelum itu semua terjadi, saya ingin dia hancur lebih dulu."

"Kau benar-benar manusia tamak sekaligus licik."

Hardianto menunduk dalam. Dengan suara pelan ia membenarkan ucapanku.

"Suryadirja adalah pemujaku juga. Kau tahu itu?"

Hardianto terkejut mendengar perkataanku. Ia semakin menunduk dalam. "Maaf, Nyai. Saya tidak tahu..."

"Kau punya waktu 1 hari untuk memberiku tumbal. Jika tidak ada, aku akan langsung membawamu untuk jadi budakku!"

"Baik, Nyai," Hardianto mengangguk dan tetap menunduk. Ia tak berani menatapku. Sekarang di matanya aku bukan lagi wanita cantik, melainkan sesosok makhluk berbadan ular dengan sisik emas yang mulai tumbuh kembali. Wujud asliku.

Aku segera meninggalkan Hardianto yang kini tengah meneruskan ritualnya. Dengan dimensi alam yang berbeda, waktu bergerak amat pelan di dunia manusia. Malam masih panjang, purnama masih tinggi. Masih kurasakan energi besar dari sang purnama yang terserap ke tubuhku dan menambah kekuatanku. Kulitku kembali bersinar dan aku kembali menjadi wanita cantik. Tercium wangi dupa dan aroma bunga 7 rupa dari tempat lain. Seseorang memanggil namaku diselingi beberapa baris mantra.

Aku bergerak menuju asal suara itu.

***

http://patiagni.wordpress.com/2014/05/08/nyai/


NyaiWhere stories live. Discover now