Brother Z

41 7 15
                                    

°°

"Kau bukan siapa-siapa Zero."

Aku hanya diam. Membiarkan anak-anak itu mengolok-ngolok serta merendahkan Reivisha, teman sekelas sekaligus saudari kembarku yang terkenal dengan kebodohannya itu. Bayangkan saja, ia selalu mendapatkan nilai 0 hampir semua mata pelajaran. Seberapa bodohkah dia? maksudku, aku sama sekali tidak mengatainya "Bodoh" atau semacamnya. Akan tetapi, sekurangnya pasti ada mata pelajaran yang bisa ia kuasai atau sekurangnya dapat ia pahami.

Dan akibat itu, ia dijuluki dengan "Zero" ya karena ia selalu mendapat nilai 0. Aku sebagai kembarannya sedikit malu, mengapa saudari kembarku sangat bodoh. Mengapa ia tidak seperti diriku? bukan hanya itu saja, anak-anak di kelas selalu memerintahnya seakan-akan ia adalah babu mereka. Aku tidak mengerti mengapa ia menuruti semua perintah mereka.

"Zero belikan aku roti!"

"Zero hapus papan tulis!

"Zero siram tanaman kelas!"

Zero lakukan ini, Zero lakukan itu. Aku muak mendengar hal itu setiap saat. Mengapa aku harus repot-repot menanggung malu ini?

Aku akan mengakhiri ini semua. Aku tidak tahan lagi, aku perlu membicarakan hal ini dengannya. Ia harus bersikap tegas, selayaknya seorang saudari kembar yang lebih tua, walau kami hanya beda 5 menit.

Dan itulah tujuan mengapa aku berdiri di depannya sekarang. Ia masih menunduk, seperti layaknya biasa ia lakukan. Ia bahkan tidak berani menatapku, dan aku perlu membantunya agar ia bersikap lebih tegas dan tidak minder.

"Kak, tujuanku mengajakmu ke sini untuk membicarakan pasal bagaimana teman-teman sekelas memperlakukanmu."

Rei mengangkat kepalanya, memperlihatkan kedua mata hijau yang diturunkan oleh ayah kami. Aku masih menatapnya dengan ekspresi serius, beda hal dengan Rei. Ia malah mengukir seulas senyuman.

"Teman-teman? mereka baik padaku."

"Baik apanya, sudah jelas-jelas mereka--"

Belum selesai aku berkata Rei langsung memotongku.

"Aku menyayangi mereka semua, walau mereka mengatai aku bodoh. Aku tidak peduli, yang penting mereka bahagia."

Aku tidak mengerti dengan apa yang ada dipikirannya. Sudah jelas-jelas mereka sama sekali tidak memperlakukan dia selayaknya teman, mengapa ia masih menganggap mereka itu teman?

"Rei...,"

"Yang penting teman-teman kita bahagia bukan?"

Bicara apa dia?!

"Mereka itu bukan teman kita!! kau tidak mengerti juga?!"bentakku sembari mencengkram kedua bahunya, menatapnya kesal. Dia itu benar-benar bodoh ya?

Rei masih memasang senyuman bodohnya. Aku tidak mengerti kenapa ia tidak merasa tersakiti.

"Ah langit sudah mulai gelap sebaiknya aku pulang sebelum gelap, aku dengar ibu akan memasak makanan favorit kita."kata Rei mengalihkan topik pembicaraan. Aku melepaskan cengkramanku dan mendorongnya kasar.

Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi padanya, ia sangat keras kepala.

Sesampai di rumah, aku disambut oleh aroma yang begitu lezat. Rei benar, ibu memasakkan makanan favorit kami.

"Selamat datang kembali anakku."sahut ibu tersenyum seperti biasa, ya ke arah Rei.

"Ibu, kami--"

"Maaf aku pulang terlambat."kata Rei lagi-lagi memotong perkataanku. Aku melempar tatapan kesal ke arahnya. Ibu masih tersenyum lalu mengusap kepala Rei.

Brother ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang