8. Kelakuan Korban Kecelakaan

33.6K 5.9K 517
                                    


Dan Tissa tahu, sekalipun esok harinya ia harus bekerja, ia memaksa Abi untuk mengikut sertakannya ke rumah sakit. Bahkan Tissa menawarkan Abi agar menggunakan mobilnya saja, dari pada pria itu harus repot-repot mengeluarkan mobilnya yang sudah di masukkan ke dalam garasi.

Sementara itu, Riza tak ikut dengan mereka. Ada Athalla yang tengah tertidur lelap, dan pilihan Riza tentu adalah keamanan anaknya tentu saja. Jadi, setelah menunggui Abi berganti pakaian dan Tissa meminjam jaket Riza, mereka berkendara menuju rumah sakit yang tadi disebutkan Satria.

"Lo beneran nggak masalah nih pulang selarut ini, Tis?" Abi yang menyetir, tetapi tetap saja ia merasa tak enak melihat Tissa yang masih mengenakan pakaian kerja dengan wajah lelah ikut menemaninya ke rumah sakit. "Atau gue anter aja ya lo pulang, biar gue mesen Grab atau apa gitu nanti sampai di rumah lo."

"Berisik deh lo, Bi," Tissa mencibir sambil bersidekap. Ia berusaha keras memperlihatkan raut santai. Padahal kalau ia mau jujur saja, jantungnya cukup jumpalitan sekarang. "Gue pernah pulang jam dua pagi dari kantor dan gue masih hidup sampai sekarang," sarkasme Tissa terbentuk seketika. Semata, hanya untuk menyamarkan detak tak nyaman yang menyinggahi hatinya.

Bukan.

Bukan karena kedekatannya dengan Abi. Demi Tuhan, Tissa bersumpah, sama sekali tak memiliki perasaan apa pun pada suami temannya ini. Hanya saja ... entahlah, semenjak mendengar kabar mengenai Gilang tadi, resah seakan mengambil alih keceriannya. Ada yang salah dengan otak dan hatinya, Tissa sudah meyakini hal itu semenjak beberapa hari belakangan ini. Namun seperti yang ia katakan sebelumnya, bahwa ia tak tahu di mana letak kesalahan itu.

Tissa sudah lelah meraba. Ia pun hampir melupakan resahnya. Tetapi lagi-lagi, semesta tak mendukungnya. Sejujurnya, Tissa tak peduli pada keadaan Gilang. Namun entah kenapa, ia ingin melihat kondisi pria itu.

Tuhan ... tolong katakan, bahwa hal ini merupakan bentuk dari rasa kemanusiaannya. Dan bukan karena rasa yang lain.

"Gilang nggak terlalu parah kok, Tis."

Tissa sudah mendengar Abi mengulang kalimat tersebut dua kali.

"Cuma lecet gitu aja. Cuma Satria bilang, lututnya luka-luka gitu. Si Dodol itu kelayapan nyari Mira pakai celana pendek katanya."

"Mira ini memang nyusahin banget ya?" Tissa tak tahan lagi untuk tidak berkomentar. "Main kabur-kaburan sampai nyelakain orang begini," gerutu Tissa tak senang. "Sumpah, suatu saat nanti, kalau gue denger tuh cewek udah balik, gue jambak dulu rambutnya. Kelakuannya bikin orang lain celaka!" hardik Tissa sambil meremas kedua telapak tangannya sendiri, ia sedang gemas sekarang.

"Ck, lo sama aja kayak Arkan," sahut Abi sambil terkekeh pelan. Arkan yang di maksud Abi adalah salah seorang teman mereka yang sekarang sedang bekerja di Belanda, setelah menyelesaikan studinya setahun lalu di Australia. "Arkan juga ngomong gitu, Tis. Tapi Arkan bukannya mau ngejambak, dia cuma mau Mira sujud minta maaf sama Gilang." Abi tertawa mengingat ocehan temannya itu sewaktu mereka menghabiskan waktu mengobrol dengan Skype beberapa hari yang lalu. "Karena walau pun sering gila, si Gilang kadang-kadang waras kok. Dan itu yang bikin kita betah dengerin dia kalau lagi ngomong bener."

Tissa tak menyahut, ia melempar pandangan ke arah jendela. Kemudian menghela napas panjang sebelum pada akhirnya kembali menatap jalan raya di depannya.

Ia sedang menentramkan gejolak asing di dadanya. Ia harus tahu, apa namanya degub tak mengenakan ini. Tetapi satu hal yang paling membuat Tissa khawatir dengan dirinya adalah ketidakmampuannya menahan diri untuk melihat kondisi Gilang.

Cih, seakan pria itu penting saja baginya. Dewi batin Tissa menggeleng jelek. Lalu mengibaskan tangan ke udara menyuruh Tissa untuk memutar arah saja. Tetapi Tissa tidak mau. Minimal, ia harus melihat pria itu dulu.

Knock My SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang