Setelah Zahra duduk di hadapan mereka tempo hari, kali ini dua orang paruh baya itu mendudukkan putra tunggalnya di tempat yang sama.
"Papa sudah mendaftarkanmu di salah satu Universitas di Perancis. Bulan depan, kamu harus berangkat," ucap Pak Subrata dengan nadanya yang santai tapi terkesan tegas.
Dahi Julian berkernyit. Kuliah ke luar negeri? Sungguh ia tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. "Maksud Papa apa?" tanyanya yang masih belum mengerti.
"Maksud Papa kamu, kamu harus melanjutkan studi di Perancis agar kamu bisa melanjutkan bisnis Papa dengan baik," jelas Bu Ajeng.
Julian menghela napas jengah. Kedua orang tuanya selalu memaksakan kehendak. Tanpa izin dan tanpa sepengetahuan Julian, kedua orang tuanya dengan lancang mendaftarkan Julian kuliah di luar negeri.
"Aku nggak mau," sanggah Julian.
"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau?" tanya Pak Subrata dengan nada suara yang masih terdengar santai.
"Karena aku hanya ingin menjadi seorang arsitek biasa," jawab Julian.
Pak Subrata tersenyum miring mendengar jawaban dari putranya. "Mau jadi apa kamu? Papa ingin kamu menjadi seorang kontraktor handal, membangun gedung-gedung penting bertaraf internasional."
"Cukup!" sanggah Julian menaikkan oktaf suaranya. "Aku bosan diatur-atur!" Ia berdiri dengan dada sesak, kesal karena marah.
"Ini semua demi kamu, Julian," kata Bu Ajeng mencoba menenangkan.
Julian menggeleng tak terima dengan ucapan ibunya. "Ini bukan untuk kebaikanku, Ma. Tapi ini untuk ambisi Mama sama Papa."
"Sekarang kamu berani ya?" Pak Subrata ikut berdiri dengan mendelik marah.
Julian menghela napas jengah lalu mengambil jaketnya yang berada di atas sofa lalu bergegas pergi dengan kemarahan yang memuncak.
"Julian? Kamu mau kemana?" teriak Pak Subrata bertambah marah.
Julian tak menghiraukan perkataan ayahnya lalu ia langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Pengaruh Zahra ternyata sangat negatif, Pa. Lihat tuh anak kita. Jadi pembangkang seperti itu," gumam Bu Ajeng.
***
Di sebuah restoran, Zahra duduk di hadapan Julian. Setelah ia menerima segala cacian dan makian dari kedua orang tua Julian, rasanya sudah pupus harapannya bisa bersanding dengan Julian.
"Kak?" kata Zahra ragu-ragu.
"Hm?" sahut Julian setelah menyeruput kopinya.
"Sebaiknya kita..." ucap Zahra terhenti.
"Kamu pengen ngomong apa sih?" tanya Julian menaruh curiga dengan gelagat Zahra.
Sudah Zahra pikirkan dengan matang sebelumnya. Hubungannya dengan Julian memang terasa sangat sulit sejak awal. Mulai dari masalah dari Karin, Yasmin, restu ayahnya, dan sekarang restu kedua orang tua Julian. Lalu selanjutnya apalagi?
"Sebaiknya kita..." ucap Zahra tak tega, hatinya lara. Rasanya ia tak sanggup melihat Julian kecewa terhadap dirinya.
"Zahra kamu mau ngomong apa sih?" tanya Julian lagi.
"Kak..." Zahra masih enggan. "Sebaiknya kita putus saja."
Mata Julian terbelalak lebar. "Apa?" katanya masih tak percaya. "Jangan bercanda, Zahra. Nggak lucu!"
"Aku sudah nggak bisa, Kak. Aku nggak bisa."
"Nggak bisa kenapa?"
"Hubungan ini terasa sangat sulit. Aku nggak bisa."
"Omong kosong macam apa itu?"
"Pokoknya aku ingin kita putus. Assalamualaikum," ucap Zahra mengakhiri kalimatnya yang menyakitkan.
"Maksud kamu apa, Zahra?" tangan Julian langsung menggenggam erat pergelangan tangan Zahra yang hendak bergegas pergi. "Baru saja seminggu lalu kamu bilang mau menikah denganku. Sekarang kamu ingin putus?"
"Iya. Aku ingin putus!" kata Zahra tegas.
"Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini? Jangan mempermainkaku, Zahra."
"Iya. Sejak awal aku hanya ingin mempermainkan Kakak," papar Zahra bohong.
"Kamu bohong!"
"Kakak pikir..." Zahra memberi jeda pada kalimatnya sembari melepaskan genggaman tangan Julian. "Kakak pikir... kakak tidak pantas untuk dipermainkan?" ucap Zahra yang sengaja ingin menyakiti hati Julian.
"Hentikan! Jangan berkata apa-apa lagi!"
"Coba hitung berapa banyak wanita yang sudah Kakak permainkan. Dan, aku hanya ingin membalaskan dendam wanita-wanita itu."
"Untuk apa kamu membalaskan dendam untuk mereka? Jangan konyol kamu!"
"Kakak pikir, kakak sempurna? Kakak pikir, kakak memiliki segalanya?"
"Zahra, hentikan. Kenapa kamu jadi seperti ini sih?" kata Julian dengan nada mengiba.
"Yang kakak punya hanya fisik dan kekayaan. Selain itu, kakak tidak punya apa-apa lagi." Zahra berbalik sambil menenteng tasnya.
"Kamu bilang, aku hanya punya fisik dan kekayaan? Kamu salah, Zahra! Aku punya cinta."
Rangkaian kalimat Julian membuat langkah kaki Zahra terhenti sejenak. Hatinya pilu dan lara. Tapi tekadnya sudah bulat. Hubungannya dengan Julian harus segera diakhiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful Heart Zahra
SpiritualBerawal saat Zahra tidak sengaja tertabrak dengan seorang cowok bernama Julian Prasega yang merupakan idola kampus. Tabrakan itu membuat Flash disk penting milik Julian rusak sehingga Julian menuntut Zahra untuk bertanggung jawab atas file-file y...