Lagi

197 10 2
                                    

Wanita itu datang lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita itu datang lagi. Hari yang sama, waktu yang sama, dan... pakaian yang sama pula. Ia selalu datang di saat yang sepi dan tenang, ketika semua orang sudah pulang dan beristirahat, dan yang terdengar di kafe ini bukan lagi kebisingan dari obrolan para pelanggan, melainkan alunan musik jazz yang lembut. Malam semakin larut. Udara semakin menusuk. Dan aku terhanyut dalam buaian piano dan gitar yang membentuk suatu keharmonisan.

Wajahnya tak begitu cantik, tapi cukup untuk membuat orang terpana. Kulitnya putih cerah, kontras dengan warna dinding dan karpet di ruangan ini. Rambutnya lurus dan terurai sampai ke pinggang, menutupi sebagian wajahnya yang menunduk membaca menu. Aku heran padanya. Mengapa harus melihat menu, kalau ujung- ujungnya hanya memesan hal yang sama? Kebiasaan yang aneh.

Sweater biru langit menempel di tubuhnya yang kurus, dipadukan dengan rok hitam yang hanya menutupi pahanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sweater biru langit menempel di tubuhnya yang kurus, dipadukan dengan rok hitam yang hanya menutupi pahanya. Ia mengenakan sepatu kets putih, dengan kaos kaki hitam selutut. Gayanya mungkin terlihat seperti remaja, tapi aku yakin dia sudah dewasa. Kuperkirakan usianya di atas 22 tahun, tapi tak sampai 28 tahun.

Ia mengangkat tangannya dan melambai pada Ben. Dengan sigap, Ben segera menghampirinya. Setelah mencatat pesanannya, Ben berbalik ke arahku.
"Mas Vic...,"
"Udah tau. 2 latte hangat, kan?"
"Iya, latte, Mas. Tapi, kali ini cuma satu,"
Hm..., aneh. Biasanya ia akan memesan 2 cangkir latte hangat; satu untuknya, dan satu lagi dibiarkan dingin, tak tersentuh sedikitpun.

Aku tak peduli dengan pesanannya. Hatiku tetap ingin membuat 2 cangkir latte. Ketika sudah siap, Ben hendak mengambil latte itu untuk disajikan, tapi aku menolak. Aku ingin menyajikan latte ini sendiri.

Kuletak satu cangkir di hadapannya, dan satu lagi di hadapanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kuletak satu cangkir di hadapannya, dan satu lagi di hadapanku. Lalu, aku duduk di seberangnya. Ia terlihat bingung, namun tak mengucapkan sepatah katapun. Begitu pula denganku.

Cerita Secangkir LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang