Senja bergerimis saat matahari mulai ditelan cakrawala. Menyisakan semburat jingga pada tiap-tiap sudut langit. Tetes-tetes air mulai memenuhi kaca jendela. Hawa dingin menyelimuti aktivitas, pun mendinginkan secangkir kopi yang aku pesan setengah jam yang lalu. Aku menatap kosong pada layar ponsel 5 inci, pada sebuah potret yang diambil beberapa bulan yang lalu. Segaris senyum dalam potret membawa ingatanku berputar pada kejadian tiga tahun yang lalu.
---
Tiga tahun yang lalu, saat langkah kaki yang aku ayunkan terasa ringan tanpa beban setelah masa-masa sulit aku lewati dengan banyak air mata. Yang aku tahu, Tuhan memberiku kesempatan yang luar biasa. Tuhan memberiku kesempatan untuk merasakan hal yang sama seperti anak-anak seusiaku saat itu. Ya, mengenyam bangku pendidikan sekolah menengah atas. Mungkin terdengar biasa tapi bagiku ini adalah anugerah yang sangat luar biasa. Setelah satu tahun aku hanya bisa menatap orang-orang berseragam SMA dengan tatapan yang entah bagaimana aku jelaskan. Setelah aku hanya bisa bergumam dalam hati "Aku ingin seperti mereka".
Dan setelah aku hanya bisa mengenakan seragam sekolah palsu saat harus bolak-balik ke Rumah Sakit kota hanya agar ongkos naik angkutan umum lebih murah-- tarif pelajar. Saat itu, ayah terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan segala macam selang yang menempel ditubuhnya. Ayah sakit parah dan harus menjalani perawatan intensif selama beberapa bulan.Aku berhenti sekolah. Bukan karena tidak punya biaya. Aku menduduki peringkat pertama saat mengikuti tes masuk SMA ternama di kotaku dan mendapatkan beasiswa. Tapi beberapa hal membuatku harus mengalahkan egoku sendiri daripada harus kehilangan banyak hal. Termasuk kehilangan ayah.
Tiga tahun berlalu setelah Tuhan memberiku kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Saat semua perjuangan sudah mencapai batas waktu. Dan disuatu siang aku membuka situs Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan SPAN-PTKIN, pada hari dimana mimpi menemukan jalan yang membuka harapan-harapan baru. Aku dinyatakan lolos Perguruan Tinggi Universitas Negeri Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanpa biaya apapun. Aku mendapatkan beasiswa Bidikmisi. Masih berada dalam dimensi percaya dan tidak percaya. Siapalah aku ini? Seorang anak dengan segala keterbatasan. Seorang anak yang hanya punya impian dan harapan. Tuhan kembali memberiku kesempatan yang sangat luar biasa. Aku memilih melanjutkan perjuanganku di Universitas Negeri Semarang. Meski kali ini langkah kakiku terasa berat dan penuh beban saat aku ayunkan.
---
Aku menyeka bulir air mata yang tiba-tiba lancang membasahi pipi. Menyeruput secangkir kopi yang tinggal setengah gelas lagi. Matahari sudah sempurna tenggelam. Hujan turun begitu menderu memecah keheningan. Sepasang bola mata coklat dan segaris senyum dalam guratan wajah tua itu masih berada dalam potret pada tampilan layar utama.
"Ayah, aku sudah lama berusaha sekuat tenaga mengubur dalam-dalam segala macam kerinduan. Membunuhnya ketika ia lancang berputar-putar liar di kepala. Membodohi diri setiap kali aku tak mampu menyeka tetes dari sudut mata. Seperti yang ayah mau, aku menghindari segala pertemuan dengan ayah. Berharap dengan begitu rinduku akan segera berlalu. Namun lagi-lagi aku tak mampu. Aku merindukan ayah setiap waktu. Apalagi ketika dan senja datang secara bersamaan. Cakrawala bak layar pemutar kenangan yang membuat rinduku semakin menyendu. Ayah, aku tetaplah seorang anak yang membutuhkan ayah meski aku tahu ayah tak pernah mau sejalan dengan kemauanku. Aku hanyalah seorang anak yang tidak tahu bagaimana caranya menunjukkan rasa cintaku untuk ayah. Ketika ayah memintaku untuk tidak melanjutkan pendidikan untuk yang kedua kalinya. Aku tidak punya pilihan, selain tetap melanjutkan pendidikanku meski tanpa restu ayah. Karena aku hanya takut ketika suatu saat ayah sudah tidak bisa menemani kami lagi, aku tak mampu bertanggungjawab atas adik-adikku dan mama. Aku harus berpendidikan, aku harus punya tekad yang kuat agar suatu saat aku bisa menjadi pengganti ayah untuk merawat dan membiayai ketiga adik-adikku dan mama. Ketika ayah dengan keras menolak berbicara denganku, aku tak tahu harus berbuat apa. Ketika ayah selalu tidak berkenan melihatku setiap kali aku pulang, lagi-lagi aku tak tahu harus berbuat apa. Tetapi yang perlu ayah tahu, aku tetaplah seorang anak yang akan selalu mencintai ayah sepenuh hati.
Ayah, beberapa hari yang lalu aku mendapat tugas menulis pengalaman selama kuliah di Universitas Negeri Semarang. Tapi sayangnya aku belum mempunyai pengalaman terbaik yang bisa aku tuliskan selain pengalamanku berjuang masuk UNNES dan pengalamanku berusaha mengalahkan gejolak rinduku untuk ayah. Aku hanya bisa terus berharap dan berdoa, semoga suatu saat ketika aku pulang dengan membawa prestasi dan akhlak yang membanggakan, aku akan kembali melihat segaris senyum dan sepasang bola mata coklatmu tersenyum seperti pada potret di layar ponselku ini.
---
Kopiku sudah habis. Tetapi belum dengan rinduku. Aku ingin menyudahi rindu yang kian menyendu. Tangis yang semakin mengiris. Mata yang sembab tersebab tak mampu lagi menahan lara. Tetapi semua seperti kopi, meskipun pahit selalu bisa dinikmati. Hanya butuh penerimaan dan pemahaman. Maka semoga semuanya menjadi ringan. Seringan bubuk-bubuk kopi pada secangkir kopi di senja ini.
---
Teruntuk Ayah
Dari anakmu
Happy Father Day
"Segaris senyum dan sepasang bola mata coklatmu yang tersenyum adalah bentuk cinta terindah yang Tuhan berikan untuk bocah kecil penikmat hujan dan senja ini." Leo's