Bab 2

1.4K 28 0
                                    

Awalnya aku tidak paham dengan penyakit ibu. Gejalanya sangat aneh dan mengerikan. Tiba-tiba di suatu malam, ibu mendengkur dengan suara seperti orang tercekik, kemudian tubuhnya kaku, matanya terpejam rapat. Berkali-kali aku goyangkan lengannya meminta untuk bangun, tapi ibu tetap tak berkutik. Kutelisik denyut nadinya yang masih berdenyut, detak jantungnya yang masih berdetak, serta meraba lubang hidungnya yang masih bernapas. Ibu masih hidup, pikirku sedikit lega. Tidak lama kemudian ia terperanjat dalam posisi tubuh masih terlentang, kedua matanya melotot ke arahku. Aku yang ketakutan dan panik, segera berlari ke luar rumah, memberitahukan hal ini pada tetangga.

"Ibumu kesurupan, Nara. Ayo, kita sama-sama membacakan surah Al Fatihah dan ayat kursi," ungkap Bu Indan kepadaku. Aku mengangguk dan mengikuti sarannya.

Ibu Indan ini merupakan wanita paling dihormati di tempatku. Tiap ba'da Maghrib, rumah beliau penuh sesak oleh anak-anak yang menyetor bacaan Iqra dan Al Quran. Selain mengajar mengaji dengan sukarela, Bu Indan aktif di lingkungan masyarakat. Budi pekertinya baik, sikapnya amanah, dan suka menolong. Sebab itulah beliau disegani banyak orang.

Menurut Pak Kholis – tetanggaku yang lain, ada seseorang yang berusaha mengirimkan teluh pada ibu. Memang, sih, saat itu ibu sedang jaya-jayanya menjadi penjual serabi di emperan rumah kontrakan satu kamar. Batinku bertanya, kenapa orang syirik selalu ada di mana-mana?

Tidak sedikit orang yang beranggapan kalau istri muda bapak sangat membenci ibu, sehingga dia mengirimkan santet agar ibu tersiksa sebelum benar-benar mati. Entahlah, aku tidak percaya akan kedua pendapat tersebut. Yang aku tahu, ibu sering melamun dan menangis di pojokan kamar atau ketika sedang menyusruk serabi.

Sejauh ini, aku memperhatikan sikap ibu yang berusaha tegar, menutupi kesedihannya dariku. Beliau menenggelamkan kekalutan hatinya dengan menyibukan diri. Salah satunya dengan berjualan serabi. Selain untuk menghilangkan secuil rasa sedih, berjualan serabi satu-satunya cara untuk menyambung hidup. Ia rela berjongkok ria seharian di depan tungku panas yang menyeruakkan asap pedih ke mata, menahan panasnya kayu bakar yang tak henti-hentinya menyala. Itu semua dilakukannya demi membiayai keperluan hidup sehari-hari dan menyekolahkanku di Jakarta.

Kadang jika jualannya tidak laku, ibu menjajakannya dengan berkeliling dari rumah ke rumah, menampik nyiru dan menggendong baskom dengan kain. Aku pun hampir setiap hari berpuasa agar mengurangi pengeluaran. Saat itu hidup kami amat prihatin dan mengenaskan.

Setelah resmi bercerai dengan ayah, ibu menjadi wanita pekerja keras dan pemikir berat. Ibu tidak punya keterampilan lebih untuk bertahan hidup di kota yang keras dan kejam ini. Tapi harus kuakui, semangat juangnya sungguh luar biasa. Dalam keadaan fisiknya yang lemah dan sakit-sakitan, ibu tetap mempertahankan pendidikanku hingga sekolah menengah tingkat atas (SMA).

"Kau harus menjadi perempuan yang cerdas, pintar, berbakat, mandiri, dan berpendidikan tinggi, Kinara. Tidak seperti ibumu yang hanya tamatan SD, bodoh, tidak punya keterampilan, hanya bisa menghitung satu tambah dua, ditinggal suami pula," celotehnya saat aku terisak diusir Bi Leha dari kampung halaman lantaran disuruh menjadi pelacur di ibukota.

Saat itu umurku masih lima belas tahun, aku tidak bisa berbuat banyak untuk ibu. Tapi aku ikut membantu ibu semampuku. Terus terang, pendapatan ibu dengan menjual kue serabi tidak mencukupi biaya kontrakan dan obat racikan dari rumah sakit yang begitu mahal. Kadang aku menjaga wartel, konter milik tetangga, jualan agar-agar di sekolah, menyulam, membersihkan benang di konfeksi, ojek payung, jualan koran di lampu merah, apapun yang bisa kulakukan untuk menambah pemasukan.

Sebenarnya aku bisa saja melanjutkan sekolah tingkat atasku di kampung halaman. Namun situasinya tidak memungkinkan. Mengingat Bi Leha sangat membenci kehadiranku di sana. Ia iri padaku karena nenek lebih sayang dan memerhatikanku ketimbang anak kandung Bi Leha. Bi Leha keliru, justru anaknya lah yang sedari lahir diurus nenek, ditimang, dirawat, dan dibesarkan. Nenek menyayangi seluruh cucu-cucunya. Aku benci bila mengingat bagian ini.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang