Chapter 1 - A Study in Scarlet

945 25 5
                                    

Aku baik-baik saja. Serius.

Kecuali keberadaan sosok merah bermata merah yang menatapku nanar di kejauhan sana, aku baik-baik saja. Sosok itu berkaki empat, juga berbadan besar. Terlalu besar untuk ukuran anjing dan terlalu kecil untuk ukuran kuda. Bukan kuda poni, karena kesan yang kudapatkan dari kuda mini itu selalu hangat, bukan kejam dan beringas seperti sosok di depan sana. Seharusnya aku lari, tapi kakiku mati langkah.

Oh, omong-omong, aku tidak yakin ini mimpi karena otakku tak punya cukup imajinasi untuk membayangkan sesuatu seperti itu. Namun lenganku mati rasa ketika kucubit. Jadi, ini pasti mimpi, kan? Pasti mimpi.

Belum selesai aku menganalisis keadaan di depanku, sosok itu bergerak mendekat. Tunggu, itu terlalu halus. Maksudku, sosok itu berlari mendekat. Kakiku yang sepertinya sudah tertanam di tanah, menggagalkan usahaku untuk melarikan diri. Hasilnya, aku terjengkang. Pada lompatan terakhir sosok itu, aku melindungi wajahku dengan tangan. Mataku memejam keras. Siap diterkam.

Namun aku tidak merasakan taring yang menancap di lengan. Tidak ada beban berat yang menubrukku atau semacamnya. Hanya sebuah sentuhan lembut.

Lamat-lamat aku membuka mata. Tidak ada lagi sosok merah. Sosok lain kini berdiri di hadapanku. Dan dia manusia. Seorang gadis dengan rambut panjang selutut. Memangnya normal, ya, punya rambut sepanjang itu? Pasti sudah bertahun-tahun tak dipotong. Aku menyipitkan mata untuk memperhatikan wajahnya. Cahaya yang berasal dari belakang tubuh gadis itu membuatku hanya memandangi siluet.

"Waktunya sudah tiba. Siapkan dirimu."

Suara merdu—yang sepertinya berasal dari siluet di depan—menggema di telingaku. Sesaat kemudian, gadis itu hilang. Gelap, bersamaan dengan lenyapnya tanah tempatku berpijak. Aku terjatuh. Aku berteriak. Namun tak ada suara yang keluar.

Saat kupikir aku jatuh di lubang tak berdasar, sekujur badanku membentur permukaan keras. Sakit. Aku tidak lagi mati rasa.

Aku membuka mata perlahan. Masih gelap. Kemudian lambat laun cahaya mulai memasuki mataku. Dan aku sedang menatap kolong tempat tidur. Aku bergegas mendudukkan diri di lantai, sembari memijat setiap inci tubuhku yang sakit karena terjatuh dari dipan.

Aku merangkak menuju meja belajar dan meraih ponsel—dengan susah payah—untuk memeriksa waktu. Begitu tahu jam ponsel menunjuk pada pukul tiga pagi, aku mengumpat.

Mimpi sialan!

***

Kantung hitam di bawah mataku pasti sangat tebal hari ini. Tak perlu melihat cermin, kedua alis Sandi yang terangkat tinggi-tinggi sudah menjelaskan semuanya.

"Tumben matamu ngenes gitu, Rul. Nggak bisa tidur, Bro?"

"Jangan tanya," tandasku. Aku tahu jika kusebutkan tentang mimpi anehku semalam, dia pasti cuma akan tertawa lalu menambah-nambahi kesialanku dengan menceritakan kisah horor untuk menakutiku. Begitu-begitu, cowok berambut cepak yang sudah jadi teman sebangkuku sejak kelas X itu tahu banyak soal cerita-cerita aneh. Jadi, meskipun dia berniat bercanda, aku tidak bisa menganggap remeh ceritanya. Setiap kali dia menceritakan kisah horor, malamnya aku selalu mimpi buruk.

Sandi melirik tas plastik yang kutaruh di laci, berjejalan dengan tas ransel. "Bawa baju ganti?"

"Iyalah, aku nggak mau ngotorin seragamku. Besok masih dipakai. Malas nyuci," kataku sambil melirik ke bagian depan kelas di mana Pak Nanto sedang mengabsen kelas. Baru nama-nama berawalan huruf D yang dipanggil, jadi aku kembali menoleh pada Sandi. "Tegar sama Ratih datang kan, nanti? Kita harus beres-beres ruangan nggak kepakai di belakang laboratorium yang dikasih sekolah buat ruangan kita."

Jurnal Masa LaluWhere stories live. Discover now