"Apa gue mati aja?"
※※※※※
Davka tak pernah menyangka bahwa ia akan dihadapkan pada cerita yang merepotkan seperti ini. Cinta. Sejak awal Davka memang berusaha untuk terlibat di dalam hal menyebalkan seperti itu. Bagaimana cinta dengan jahatnya dapat membuat beberapa orang bermusuhan, itulah sisi lain dari cinta yang Davka benci.
"Ah gue pusing ah!" ucapnya sembari memukul kepalanya berkali-kali dan merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.
"Capek 'kan? Jangan sok baik makanya!" ucap seseorang yang seketika membuat Davka menoleh ke belakang.
Ternyata disana sudah ada Kailasha yang tengah berdiri di sebelah Diego yang mendorong kursi roda milik Uno. Davka segera bangkit dan berlari kecil ke arah mereka. Ada rasa bahagia campur haru mulai memenuhi dadanya. Kehadiran sahabatnya ini sangat membuatnya berarti.
"Kok kalian bisa disini?"
"Abang lo neror kita sampe nelpon berkali-kali. Khawatir gara-gara lo gak balik-balik sampe sore gini," sahut Kailasha seraya memperlihatkan belasan notif panggilan tak terjawab dari Raehan di layar ponselnya.
"Ah males ah gue!" sahut Davka yang kini kembali duduk bersila. Pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang akan terjadi nanti. Satu hal yang ia tahu, bahwa hal baik seperti dulu takkan terulang lagi.
"Kailasha segera mengambil tempat di sebelah Davka dan memeluk lengan kiri Davka serta merebahkan kepalanya pada bahu bidang milik Davka.
Diego mendorong Uno hingga berada tepat di sebelah Davka.
"Lo bodoh banget sih, Dav!" ujar Diego kesal.
Susah sejak awal dia melarang Davka untuk melakukan hal-hal bodoh kemarin. Namun sisi baik Davka itulah yang membuat Davka tak memedulikan semua ucapannya.
Davka mendengus kesal. Di lain sisi ia membenarkan ucapan mereka. Namun di lain sisi ia juga merasa senang. Dengan membuat skenario bahwa ia berpacaran dengan Kailasha, Afreen tak akan mungkin mau mendekatinya. Biar bagaimanapun Afreen layak mendapatkan yang lebih baik. Ini memang saat yang baik. Sebelum Afreen jatuh lebih jauh di salam hatinya.
Davka itu peka. Ia tahu. Bahkan sangat tahu bahwa Afreen menyukainya. Hanya dekat dengannya saat itu membuat Afreen memandangnya dengan cara yang berbeda. Dan Davka juga akui bahwa ia pun turut merasakannya. Sebelum semua hal itu terlambat, Davka harus segera membuat sebuah rencana supaya Afreen menjauhinya.
Hingga Raehan datang dan berkata bahwa ia menyukai Afreen membuatnya merasa senang. Setidaknya ia bisa mempercayakan kebahagiaan Afreen kepada sang kakak. Namun sebuah hal di luar prediksinya terjadi. Kejadian kemarin ini benar-benar membuatnya kesal hingga tak bisa membendung emosinya.
Dan kejadian di kafe beberapa saat lalu membuatnya semakin pusing. Ia benar-benar tak sadar telah mengatakan hal selancang itu. Ia tak mungkin meminta hatinya lagi disaat ia telah menghancurkan hati itu.
Davka sadar sepenuhnya bahwa ia tak cocok bila menjadi pemilik hati itu. Ia tak sempurna. Ia tak siap bial suatu saat nanti Afreen akan menjauhinya karena ia—
"Dav!" panggil Uno yang membuat Davka seketika kembali tersadar dari lamunannya. "Udah, lo gak usah mikir yang aneh-aneh. Kita akan selalu dukung lo, kok."
Davka mendengus geli. "Gue pernah baca di novel yang sering dibaca Kai. Kalo ada orang ngomong 'kok' biasanya bohong."
TAK.
Dengan tak berperasaannya Diego mendaratkan jitakan mautnya pada kepala Davka. Davka memang perusak suasana yang handal!
"Ih kok lo jitak gue sih?!"
"Gak tuh. Perasaan lo aja kali," ujar Diego tanpa perasaan bersalah.
"Udah, ga usah berantem! Ayok kita ke rumah gue! Gue udah ngabarin bunda lo, Dav. Nanti lo bisa ganti baju gue dulu biar gak masuk angin," ucap Uno.
"Iya, papah," ucap Davka.
"Ye, dasar bocah nakal!" gumam Kailasha sambil tersenyum kecil.
*****
Afreen masih terduduk di atas ranjangnya. Kedua matanya terfokus pada selembar kertas di hadapannya. Sejak tadi ia tak henti-hentinya membaca beberapa kalimat yang tertera disana.
Semakin ia membacanya, semakin sesak ia rasakan. Sudah berkali-kali ia berusaha menenangkan hatinya. Menggumamkan banyak kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri. Menghela napas dan berusaha untuk menjernihkan pikirannya.
Namun bayangan atas beberapa kejadian yang telah terjadi di hidupnya semakin membuatnya merasa sesak. Ditambah lagi dengan surat yang baru ia terima beberapa jam yang lalu.
Bagaimana ia akan bertahan setelah ini? Apa yang harus ia lakukan? Mendadak ia merasa ingin mati saja.
Apa gue mati aja?
*****
Kedua jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 malam saat Davka tiba di rumah. Keadaan rumah sedang sepi karena sang bunda masih di butiknya dan baru akan pulang pukul 9 malam. Pamannya pun demikian, masih berada di rumah sakit. Sebenarnya ia datang ke rumah Davka selain untuk menjenguk keponakannya, ia juga datang kemarin karena ia dimutasi ke rumah sakit dekat rumah Davka.
Kabarnya, ia juga punya alasan terselubung lainnya, yaitu ingin melamar seseorang. Entahlah itu sebuah kebenaran atau hanyalah alasan supaya Davka berhenti mengejeknya dengan sebutan "dokter spesialis jomblo". Sedangkan sang kakak? Entahlah, ia tak peduli. Mungkin ia sedang bersenang-senang dengan cewek mantannya itu. Davka benar-benar tak peduli.
Dengan hati-hati, ia melangkah dengan masih dibantu tongkatnya supaya ia tak terpeleset lagi. Saat ia hendak menutup pintu kamarnya, tiba-tiba sebuah tangan menghalanginya.
"Apaan sih bang?!" ujar Davka ketus saat ia tahu bahwa itu adalah tangan milik Raehan dan bukannya milik penunggu di rumahnya.
"Gue mau minta maaf."
"Buat apa?"
"Lo marah 'kan pasti sama gue?"
Davka tertawa. Sebuah tawa yang Raehan yakini bukanlah bukan tawa penuh kebahagiaan.
"Lo gak inget gue bilang apa kemarin, bang? Gue gak bisa marah sama lo. Gue gak ada hak untuk itu."
"Tapi lo—"
"Udahlah bang. Gue mau tidur. Capek," ucap Davka sembari bergerak untuk menutup pintunya namun kembali digagalkan oleh kakaknya.
"Maafin abang, Dav," ujar Raehan lirih sembari menunduk. Ia tak berani memandang kedua mata Davka.
Davka menghela napasnya. "Sekarang gue tanya sama lo. Lo sayangnya sama siapa? Cewek itu atau Afreen?"
Raehan terdiam. Lidahnya terasa kelu. Tiba-tiba ia bingung atas hatinya. Ia menyayangi mantannya. Tapi ia juga tak rela melepaskan Afreen.
"Oke. Gue paham," sahut Davka dan segera menutup pintunya keras. Tak lupa ia mengunci pintu itu supaya Raehan yak nekat menerobos masuk ke dalam kakaknya.
Ia tak mau melihat kakaknya. Mungkin untuk beberapa waktu ini.
"Maaf kalo gue jadi adek yang durhaka," gumamnya. "Tapi gue emang kecewa sama lo. Hati gue menolak untuk memaafkan kali ini."
Dacka merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya. Seharusnya kehidupannya berjalan dengan penuh kebahagiaan. Tapi lihatlah yang ia dapatkan? Apa yang harus ia lakukan?
Apa gue mati aja?
[TBC]
⚫⚫⚫Yhaaaa Davka galau. Raehan galau. Afreen galau. Aku galau.
Haha
Oke abaikan.
Mendekati ending nih... kira-kira ketebak gak endingnya? Haha
Ada yang bisa nebak endingnya? Yang bener nanti chapter endingnya aku dedikasikan khusus untuknya. Ahahahaha 😳😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya ✔
Novela Juvenil"Seharusnya lo gak begini. Seharusnya-" "Seharusnya seharusnya seharusnya. Berhenti bilang seharusnya karena gak semua hal berjalan sesuai logika lo." *** [Completed] Higest Rank #193 (5 Desember 2017)