Bagian 12

2K 151 33
                                    

Aku turun dari mobilku dan melemparkan kunci mobilku pada security disana. "Tolong kamu parkirkan" perintahku pada security itu. "Baik Bu" jawabnya dengan sopan. Aku memasuki kantor ini dengan amarah yang meluap-luap, receiptionist itu menyambutku dengan penuh senyuman. Aku mencoba untuk tersenyum dengan sekuat tenagaku meskipun sebenarnya aku sangat ingin menampar seseorang. "Selamat pagi Bu Salsha" sambut wanita itu. "Selamat pagi, Pak Iqbaal sudah datang?" tanyaku padanya dengan senyuman yang terpaksa ini. "Sudah Bu, tapi Pak Iqbaal sedang ada tamu, apa perlu saya telfon dahulu untuk memberitahukan kedatangan Bu Salsha?" tawar wanita yang bernama—Devi ini. "Ah tidak perlu, saya ingin memberikan kejutan, karna saya baru pulang liburan. Jadi tidak perlu" alibiku, meskipun sebenarnya aku hanya ingin menangkap basah ia dengan wanitanya itu. "Baik Bu" jawab Devi dengan sopan. Aku tersenyum dan langsung bergegas pergi. Aku memasuki lift dan menunggu untuk sampai di lantai paling atas gedung ini.

Ting!

Pintu lift terbuka, dan aku sampai di lantai paling atas dari gedung ini, lantai khusus untuk ruangan Iqbaal. Aku berjalan menuju ruangannya dengan penuh emosi. Ketika sampai di depan ruangannya aku di sambut oleh Amanda, sekretaris pribadi Iqbaal. "Selamat pagi Bu Salsha" sapanya padaku. "Pagi Amanda, apa Iqbaal ada diruangannya?" tanyaku pada Amanda untuk memastikan. "Ya Bu, Pak Iqbaal ada di ruangannya, tapi Pak Iqbaal sedang ada tamu--"

"Seorang wanita bukan?" tebakku padanya. Amanda hanya diam ketika aku mengatakan hal itu. "Biarkan saya masuk, karena ini urusan keluarga saya. Mengerti?" tegasku padanya. "Baik Bu" jawab Amanda sambil menundukkan kepalanya. Aku berjalan meninggalkan Amanda dan berdiri tepat di depan pintu ruangan Iqbaal. Aku dapat mendengarkan suara tawa seorang wanita dengan keras. Aku mengintip kedalam ruangan Iqbaal. Aku melihat seorang wanita di pangkuannya dan wanita itu sedang memainkan rambut Iqbaal. Aku tak dapat menahan air mataku. Aku melihat kearah Amanda yang melihat kearah dengan tatapan iba. "Amanda pergilah dari sini dan larang siapapun untuk datang ke ruangan ini" perintahku pada Amanda. "Baik Bu" jawab Amanda dan langsung pergi dari hadapanku. Tiba-tiba saja telefon Iqbaal berbunyi, "Ya ada apa Devi?" jawab Iqbaal untuk telefon itu. Siapa itu? Jika aku tidak salah dengar tadi Iqbaal menyebutkan nama Devi? Ah,, dia receiptionist tadi. "Apa? Salsha di kantor saya? Mengapa kamu tidak memberitahu saya?" teriak Iqbaal tak percaya. Iqbaal melepaskan rangkulannya dari wanita yang berada di pangkuannya. Sementara wanita itu masih saja memainkan rambut Iqbaal.
Aku membuka pintu ruangannya. "Ya, aku ada di kantormu Baal, bahkan sekarang aku tepat berada diruanganmu" ujarku dengan air mata yang berlinangan. "Aku hanya ingin memberikan sebuah kejutan kecil-kecilan untukmu" kataku dengan air mata yang jatuh begitu saja tanpa izin dariku. Wanita itu langsung turun dari pangkuan Iqbaal dan berdiri menatapku dengan angkuhnya. Aku dapat melihat tangan Iqbaal yang meletakkan gagang telefon untuk menutup sambungan telefonnya dengan Devi. Aku mengusap air mataku dengan gusar. Aku menatap Iqbaal dan wanita itu, yang aku yakini pasti wanita itu yang bernama Chelsea. "Aku kira kau ada meeting dengan rekan kerjamu pagi ini, ternyata kau meet-ing dengan wanita ini" ujarku padanya dengan penuh kekecewaaan. Iqbaal berjalan mendekatiku, "Salsha aku--"

"Aku sudah melihatnya sendiri jadi tidak ada yang perlu kau jelaskan lagi" potongku dengan cepat. "Chelsea pergilah dari sini" perintah Iqbaal pada wanita itu. "Tapi Iqbaal—" manja wanita itu yang sesungguhnya membuatku jijik dan ingin muntah, tapi aku lebih ingin muntah didepan wajahnya Iqbaal "Pergi sekarang juga!!" bentak Iqbaal. Wanita itu meraih tasnnya dan langsung berlenggang pergi keluar melewatiku. "Salsha ini semua tidak--"

"Tidak ada yang perlu kau jelaskan lagi baal, aku sudah cukup dengan melihatnya saja" jawabku padanya.

Aku memberikan ponselku yang berisikan pesan dari wanita itu pada Iqbaal. "Lain kali jika kau ingin berselingkuh, ingatkan wanita selingkuhanmu itu untuk tidak membocorkannya" jelasku padanya dengan senyuman yang penuh—aku tak dapat menjelaskan senyuman apa itu, entah kecewa atau meledeknya. Aku pun berlenggang pergi meninggalkannya. Tepat di depan pintu ruangannya, aku membalikkan tubuhku dan melihatnya yang sedang memandangku dengan penuh harapan pemaafan namun itu semua tak belaku lagi bagiku. "Kuharap kau mencari pengacaramu dari sekarang dan aku akan menyiapakan surat pengajuan perceraian kita, permisi" pamitku padanya dan langsung pergi meninggalkannya.

Ketika sedang menunggu lift datang, aku merasakan seseorang menarik tanganku dengan kuatnya. Dengan keras wajahku menabrak dada bidang seorang pria dan aku dapat pastikan bahwa itu adalah Iqbaal. "Aku tahu jika aku salah, aku sudah menduakanmu, aku telah mempermainkanmu, tapi percayalah jika aku masih menyayangimu dengan sepenuh hatiku" suara itu sangatlah meyakinkan seperti kemarin tapi entah kenapa aku tak dapat mempercayainya.
Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenagaku, agar aku dapat menjauh darinya. Namun, ia sangat kuat. Aku tak dapat mendorong tubuhnya untuk menjauh. "Menjauhlah" pekikku dari dalam pelukkannya. Aku masih mendorong tubuhnya menjauh dariku. Aku memukul dadanya dengan sekuat tenagaku agar ia kesakitan, namun itu tak berarti banyak baginya. "Pergilah" pekikku semakin kencang. Semakin lama aku dalam pelukkannya, entah kenapa kesedihanku semakin mendalam. Aku semakin tepuruk. Tangisanku mulai terdengar. Semakin lama tangisanku semakin keras. Semakin keras. Iqbaal memelukku semakin erat. Aku tak memiliki tenaga lagi, aku sekarang hanya dapat menangis dalam pelukannya.

"Maafkan aku" aku dapat mendengarkan Iqbaal mengucapkan kedua kata itu. Aku tak dapat menebak apakah kalimat itu tulus dari dalam hatinya atau pun hanya sekedar ucapan semata. "Maaf" lagi dia mengucapkan kata itu padaku. Aku tak dapat menjawabnya, aku hanya diam dalam pelukkannya. Iqbaal melepaskan pelukkannya. Ia menatap mataku. Ia mengusap air mataku dengan lembutnya. "Maafkan aku" lagi ia mengucapkannya "Aku tahu bahwa aku salah, tapi aku—aku masih menyayangimu" kalimat itu dapat aku dengarkan dengan jelas.

Aku tak dapat mengatakan apapun lagi. Aku hanya menatapnya saja. "Maafkan aku" untuk kesekian kalinya ia meminta maaf padaku. Namun kali ini entah mengapa ia mengeluarkan air matanya. Air mata itu. Tuluskah air mata itu? Atau itu air mata buaya? Aku hanya diam menatapnya. "Aku tahu bahwa aku bersalah, aku terima jika kau ingin perceraian, aku akan memberikan tunjangan hidup untukmu dan anak kita, aku akan melakukan segalanya agar aku mendapatkan maaf darimu. Kumohon Salsha, maafkan aku" Iqbaal mengatakan itu dengan air matanya yang berlinangan. Aku hanya mengusap air matanya dengan perlahan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Apa aku harus memaafkannya? Namun berat rasanya untuk memaafkannya. Ini semua sangat menyakitkan. Aku sangat membencinya, tapi ia ayah dari anak yang aku kandung.

"Tampar aku! Jika itu dapat membuatmu bahagia. Jika itu membuatmu memaafkanku. Aku terima" mohonnya lagi dan lagi. Aku hanya diam tak melakukan apapun, aku hanya menatapnya. Iqbaal mengambil tanganku dan mengarahkannya ke wajahnya. Ia membuat seolah aku menamparnya. Lagi. Lagi. Dan lagi. Ia melakukannya berkali-kali. Dan untuk kali ini, aku menahan tanganku, dia menatapku dengan tatapan penuh makna. "Lakukan Salsha, lakukanlah!" pintanya dengan penuh permohonan. Aku mengarahkan tanganku ke wajahnya, namun bukan untuk menaparnya, melainkan untuk memegang pipinya. Aku memegang kedua pipinya menggunakan kedua tanganku. "Aku takkan melakukannya padamu, karena aku menyayangimu. Aku takkan menyakiti orang yang aku sayangi" kalimat yang bisa keluar dari bibirku.

"Aku sudah pernah mengatakannya, bukan? Aku tak ingin membenci ayah dari anak yang ku kandung. Aku tak akan membencimu. Aku memaafkanmu. Aku melepaskanmu untuk wanita itu, Chelsea. Aku mengikhlaskanmu untuk Chelsea. Aku meminta perpisahan diantara kita bukan karena aku membencimu, namun aku hanya ingin melihatmu bahagia, meskipun itu bukan dengan diriku. Aku tak ingin menjadi orang ketiga dihubunganmu dengan wanita lain, aku tahu kau menyukainya, begitu pun dengan wanita itu, ia pun menyukaimu. Aku pun menyukaimu, bahkan aku mencintaimu, tapi kau tidak. Aku tak ingin menjadi penghalangmu untuk menyukai orang lain. Aku tak ingin menjalani hubungan ini jika tak di dasari cinta diantara kita, aku tak menginginkan hal itu. Carilah pengacaramu, agar kita bisa menjalani persidangan kita. Agar kau dapat melanjutkan hubunganmu dengan Chelsea. Aku akan belajar untuk mengikhlaskanmu untuk orang lain, meskipun itu berat" jelasku padanya, sementara itu Iqbaal menatapku tak percaya. Aku membalikkan tubuhku dan menekan tombol lift.

Ting!

Ketika pintu lift itu terbuka, aku pun berjalan memasuki lift itu. Aku melihat Iqbaal yang hanya diam menatapku. Secara perlahan, pintu lift ini pun mulai menutup. Menyesal? Ya aku menyesal, mengapa dulu aku tak mendengarkan ucapan Bunda? Mengapa aku lebih memilih untuk menikah dengan Iqbaal. Aku hanya diam memikirkannya. Namun, semua pikiran itu langsung menghilang ketika pintu lift ini tak kunjung tertutup juga. Ketika aku melihat kebawah, dan aku mendapati kaki Iqbaal menahan pintu lift. Pintu lift ini terbuka kembali, Iqbaal masuk dan langsung saja memelukku dengan eratnya. "Aku takkan mencari pengacara, karena aku takkan meninggalkanmu demi wanita lain. Aku takkan membuatmu kecewa lagi. Aku masih mencintaimu seperti pertama kali kita bertemu. Aku masih menyayangimu dan akan terus begitu, takkan berubah sampai kapan pun" ia mengatakan hal itu. Apakah itu tulus? Apakah Iqbaal bersungguh-sungguh? "Aku bersungguh-sungguh, aku tak berbohong sedikit pun padamu. Aku mencintaimu" lagi, Iqbaal mengatakannya. Iqbaal menjawabnya. Bagaimana Iqbaal bisa tahu jika aku memikirkan hal itu? Apakah Iqbaal paranormal? Atau dia—?? Siapa dia??

SURVIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang