Aku mencoba untuk mendekatinya dan menyampirinya. Aku tak ingin mengagetkannya, jadi aku sudah menyapa dari kejauhan.
"Hei, boleh aku kesana?" Aku bertanya agak keras kepadanya tetapi tidak sampai berteriak. Dia melihatku dan hanya mengangguk. Aku pun mulai mendekatinya secara perlahan.
"Boleh aku duduk disini?" Aku bertanya ketika aku berdiri tepat disampingnya.
"Iya duduk aja." Mempersilahkanku sambil menggeser sedikit tempat duduknya.
Aku duduk terdiam di sampingnya, dan ia tetap berkutat dengan pena dan buku yang ada ditangannya tanpa menghiraukanku. Aku pun hanya melihat pemandangan yang terdapat di depan kami tanpa berkata-kata dalam waktu yang lumayan lama juga, sembari sesekali melihat ia menggoreskan penanya dengan rautnya yang tampak serius sambil tersenyum sedikit. Aku tak berani untuk lama-lama melihatnya. Hatiku seakan berontak ketika aku sudah disini.
"Gak sama yang lain?" Tiba-tiba suaranya memecah renunganku.
"Hehehe... udah kok tadi, ini tangan aja... udah luka gini.." Aku mencoba untuk santai tetapi entah kenapa tubuh dan pikiranku ini tetap tidak bisa bersinkronisasi secara sempurna.
"Kenapa?" Tanya nya dengan santai.
"Anu.. em... tadi narik tambang... eh main tarik tambang.. iya itu.. hehe" Aku mencoba menjelaskan kepadanya, sembari mengutuk diriku yang berkata terbata-bata. Padahal aku sebelumnya tidak pernah seperti ini kepada orang lain, aku terus mengutuk diriku sendiri di dalam pikiranku.
Berkatnya yang memulai pembicaraan, akhirnya kami mulai membicarakan banyak hal, mulai dari hobi masing-masing hingga alasan mengapa ia menjadi penyendiri seperti ini yang tidak boleh dijabarkan disini karena itu adalah privasi seseorang, hehe. Ia bahkan tidak pernah membicarakannya kepada siapapun, oleh karena itu ia selalu mencurahkannya pada buku yang senantiasa menemani dan mendengarkannya. Tak terasa waktu berbincang kami sudah membiarkan kami untuk melihat matahari yang sudah mulai mengantuk dan mencari bulan untuk mengganti tugasnya memantau bumi ini. Para panitia dan yang lainnya dibawah sudah membunyikan bel tanda bahwa acara telah selesai dan bersiap untuk kembali pulang.
"Riz, aku gapernah bicara ini dengan siapapun, kamu yang pertama bersedia untuk mendengar semua ceritaku dan keluh kesahku.." Katanya sambil kami mulai pelan-pelan menuruni bukit ini. Untung aku membawa senter bersamaku, walaupun begitu batu-batu ini tetaplah licin.
"Hehehe.. biasa aja kok" Kataku yang sok santai menanggapinya, padahal di dalam hatiku bak sebuah bom yang meledak saking senangnya.
"Kalo semua orang sepertimu, aku bahkan tidak dapat menulis apa-apa lagi di bukuku ini... hehe" Candanya sambil memegang tanganku erat karena takut akan jatuh.
Semua panitia mulai mendata semuanya. Satu per satu kembali menaiki bak yang persis seperti yang kami naiki saat pagi tadi. Namun suasananya tidaklah sama dengan sebelumnya. Semua peserta tampak lelah dan sebagian besar dari mereka ada yang tertidur. Kali ini aku tak duduk sendirian lagi, aku duduk tepat didepannya. Kami kembali melanjutkan candaan kami ditemani dinginnya udara malam di sekitar perbukitan ini dan tentunya guncangan jalanan aspal yang tidak rata turut membantu kami untuk ketawa bersama.
Disaat itu langit telah dihiasi oleh kembang api, sepertinya panitia perjalanan ini yang telah menyiapkan itu semua untuk menyambut kepulangan kami kembali. Aku pun mencoba untuk mengambil moment itu. Aku raih bibir lembutnya, dan mengecupnya perlahan. Tidak lama, hanya sekali kecupan dan aku sudah rindu akan wajah manisnya. Aku menatap matanya sambil menahan rasa takut akan kemarahannya yang bisa timbul kapan saja. Ternyata raut bola matanya berkata lain, ia tidak marah sama sekali. Aku tak tahu harus berbuat apa, kami hanya terdiam terpaku sejenak. Tiba-tiba bibirnya bergerak naik, IA TERSERNYUM sambil sedikit mengeluarkan air mata.
"Makasih ya atas malam ini dan sebelumnya... Aku bener-bener senang!" katanya dengan perlahan sehingga hanya aku dan dia yang dapat mendengar perkataannya.
Aku masih terpaku, terdiam, dan agak kaget, tapi aku sudah sedikit lega. Entah kenapa aku pun tak dapat membendung air mata yang perlahan menyentuh pipi ini.
"Shan, bolehkan aku.... membuat... kamu bahagia?" aku mencoba berbicara tapi tetap saja terbata-bata.
Dia tersenyum sangat senang hingga kedua matanya pun ikut tersenyum. Lalu ia mengangguk perlahan, dan meraihku untuk memberiku sebuah pelukan diantara jalanan yang gelap dan orang-orang yang sedang berbahagia bersama di dalam bak yang besar ini.
"Riz, ayo katakan lagi..." bisiknya dalam hangatnya pelukan yang ia berikan, bahkan tanganku tak dapat bergerak dan hanya terdiam tak membalas pelukannya.
"..." Aku hanya bisa terdiam, yang tadi saja sudah sangat membingungkan, apalagi disuruh untuk mengatakannya lagi.
Aku sedikit menghela nafas yang agak dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan agar ia pun tak tahu aku melakukannya.
"Shan... bolehkan aku.... membuat kamu lebih bahagia?" Kali ini aku mengatakannya dengan tegas sambil menatap matanya lebih serius dari sebelumnya. Siluet-siluet lampu jalan pun tak dapat menghancurkan tatapan kami berdua.
Dia mengangguk sembari memelukku lebih erat, "Iya... buat aku lebih bahagia ya!" Katanya sembari menempatkan kata-katanya di sebelah telingaku.
***
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
Bolehkan Aku.... Membuatmu Bahagia?
Historia CortaKetika cinta datang dengan cara yang tak terduga, tapi tidak ada yang terjadi secara tiba-tiba. Semua memang ada alasan yang tepat di balik semua kejadian. Inspired by : Shania Junianatha