Untukmu, Ibu.

47 10 11
                                    

Untukmu, Ibu.

Tidak ada tempatku untuk pulang di dunia yang sebegini kejamnya. Tidak ada, terkecuali dirimu.

Aku tidak akan pernah bisa terlahir ke dunia tanpa rahimmu, tidak akan pernah merasa hangat tanpa kasihmu, tidak akan pernah bisa bertahan hidup tanpa uluran tangan lusuhmu memberikan setengah piring nasi padahal kau pun bernasib sama.

Tetapi, mengapa?
Meskipun aku bersikap nakal, saat dunia tak lagi memandangku, saat sekitar tak lagi memperdulikanku—aku bagai bayangan, dan hanya engkau yang dapat menyadari keberadaanku dengan merentangkan tangan hangat hendak memeluk. Memberikan cahaya harapan untukku terus bertahan. Membuat duniaku terpusat pada suryamu, menjadikanmu titik gravitasiku untuk bertumpu.

Seharusnya terus seperti itu, sebelum sel-sel laknat itu menggerogoti tubuhmu. Lalu, untuk apa aku bertahan jika kau menyerah? Akan pulang ke mana jika kau tak ada? Kau adalah wanita yang kuat. Maka dari itu, teruslah berjuang! Aku pun memutuskan untuk tidak akan menyerah.

Tidak perduli seberapa berapa banyak bulir peluh membasahi tanah, seberapa berat pundakku memikul beban, sesakit apa sendi-sendiku untuk mengumpulkan rupiah demi mempertahankanmu. Aku tidak akan menyerah!

Tidak akan menyerah, sebelum dokter mendiagnosa kau sudah masanya.

Harus menengadah ke mana aku mengemis bantuan atau kesembuhan untukmu? Akankah Tuhan mendengar doaku yang tak pernah menghadap pada-Nya? Atau inikah hukuman untukku yang tak pernah beribadah?

Hingga dunia yang kejam ini pun mempermainkanku di tengah keputusasaan.

Di dalam mimpiku, kau melangkah pergi menjauh menembus cahaya, seraya tersenyum disertai entitas putih mengepak di punggungmu. Betapa aku ingin menggapai punggung itu, lalu memeluknya dalam tangis. Punggung kokoh yang selalu menjadi sandaranku ketika aku lelah dengan kehidupan. Dan harus ke mana lagi aku bersandar ketika kau menghilang, Ibu?

Tersentak mataku terbuka, namun hanya kegelapan yang menyapa. Indra pencium pun menghirup kabut debu di ruangan yang pengap. Telingaku dapat mendengar suara di balik pintu, beberapa orang membicarakan transaksi penjualan satu ginjalku seharga 2,4 Miliyar di pasar gelap. Mereka tertawa senang, aku pun demikian.

Deritan pintu bagaikan ucapan "Halo" dari malailat maut, jika saja orang lain yang mengalaminya. Tetapi untukku, debaman pintu pun bagaikan ketukan lembut malaikat untuk menyampaikan anugerah terindah dari Tuhan yang tak pernah kusembah. Hidup dan matiku, aku sangat bersyukur. Kali ini, aku ingin berdoa, 'Tuhan, kumohon ....'

Gesekan kasar kain penutup mata dibuka, membiarkan cahaya menerobos ke dalam retina meskipun ruangan ini tak bercahaya. Beberapa orang itu tersenyum girang melihat sang mangsa. Sebentar lagi, tak hanya dengan air mereka membasuh diri, tetapi juga dengan money. Maka, aku pun menawarkan diri. "Tuan Mafia, silahkan jual semua organ saya. Tapi, saya mohon sisakan sedikit dana untuk pengobatan ibu saya."

Semua yang kulakukan tidaklah seberapa dengan kehadiranmu, dengan perjuanganmu, dengan hargamu.

"Apa Vio punya cita-cita?" Ibu bertanya ketika kududuk di pangkuannya kala itu.

"Vio mau bikin panti asuhan, dan punya anak asuh yang banyak." Cengiran polos terpatri di bibirku yang masih bocah berusia lima tahun. Ibu pun mengusap sayang kepalaku. Dapat kulihat, ia tersenyum bangga.

"Kalau begitu, ibu akan membantu mewujudkan cita-citamu."

Benar, kuharap kau tetap membantu mewujudkan cita-citaku, agar kau tak hidup sendiri.

Untukmu, Ibu. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk berterimakasih.

-Tamat-

Edisi males nulis + gak punya ide = jadilah cermin.
Cerita ini hanyalah fiksi, tapi ini isi hati gue sumpah tulus buat beliau.

Didedikasikan untuk tugas EVAL mingguan theWWG tag juga kakak-kakak senior somenaa nurul_cahaya destiianaa bawelia-

Untukmu, Ibu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang