Larung

36 4 3
                                    

Ombak berlarian mengejar ayunan langkah kakiku, angin berhembus pelan namun begitu terasa menggelitik telinga mengoyak rambutku. Kakiku terus melangkah, mengabaikan ombak dan riaknya. Matahari belum juga kunjung menampakkan senyumnya, entah malu entah enggan. Hanya saja semburat kuning keemasan berbinar-binar dari ufuk timur sana. Kakiku belum mau berhenti melangkah, pasir putih dan karang kecil yang menyentuh telapak kakiku tak lagi terasa. Alunan kakiku hanya tertuju pada sebuah bukit dengan karang yang cukup besar.

Aku mulai menaiki bukit kecil di ujung pantai, di tengah-tengahnya terdapat tulisan ‘Selamat Datang di Bukit Watugilap’. Persis pada tulisan ‘Selamat Datang’ berada di tengah-tengah bukit, tak begitu luas memang. Namun tak terlalu sempit, karang-karang yang menjadi batu terhampar di bukit ini. Di sekitar bukit terdapat gazebo-gazebo untuk duduk untuk duduk sembari beristarahat melihat hambaran laut biru dari atas bukit. Tak butuh waktu lama untuk sampai di puncak, hanya 5 menit saja sudah sampai di bagian tertinggi bukit ini. Aku tak merasakan lelah, bukit ini masih belum cukup tinggi dibandingkan puncak gunung Merbabu dengan tinggi 3142 mdpl.

Hempasan angin terasa cukup kencang di ketinggian sini. Aku memejamkan mata, sesekali kubuka dan kurentangkan tangan menyibak angin yang datang kemudian pergi. Kupejamkan mata lagi, sesekali ku lihat ombak di bawah yang menghantam karang-karang dibawah bukit sana. Sejenak terbersit, akankah tubuhku terhantam ombak atau justru akan terhantam karang yang tajam? Biarlah, kupejamkan mata lagi dan lagi sembari menyibak angin dan mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang pernah kulalui.

***

Mereka bilang dimana ada aku pasti ada dia, dimana mereka melihatku layaknya mereka melihat dia. Bahkan senyum kami sama-sama mengembang, kami pun sama-sama tak banyak bicara. Jika mereka melihat kami mereka akan ikut tersenyum, seolah tak duka tidak kami berikan ruang barang sebentar saja. Mereka bilang kami layaknya Radha dan Krisna pada epos Mahabarata, karena memang dimana namaku disebutkan pasti mereka akan bertanya namanya.

Memang aku Radha dan dia Krisna, meskipun kita bukan seperti pasangan kebanyakan. Namun, hubungan kita cukup unik. Aku bahkan terkadang tidak menganggapnya sebagai pasangan justru dia lebih tepat sebagai guruku. Aku tidak tahu persis kapan Krisna meresmikan hubungan kita. Kita pun tidak pernah merayakan ulang tahun bersama dengan memotong kue dan tiup lilin lengkap dengan hadiahnya. Aku pun hanya mengiyakan dan menyetujui caranya. Aku seperti adiknya yang sering merajuk meminta bantuannya atau sekadar meminta ditemani. Aku sering merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan permen jika dia mengabaikanku karna kesibukannya.

“Kamu itu harus mandiri Ra” kata Krisna pada waktu itu.

“Kan ada kamu, kamu kan yang bilang sendiri bakal selalu ada buat aku”

“Iya, memang aku selalu ada buat kamu, tapi kamu harus tetep belajar mandiri deh” dia berkata sembari tersenyum mengelus kepalaku.

“Iya, aku bakal belajar mandiri, tapi nanti. Selama bareng kamu aku bakal begini aja dulu” protesku dengan nada bercanda.

Entah apa maksud Krisna menyuruhku mandiri pada waktu itu. Aku mengangggap tak perlu mandiri karena dia memang selalu ada buatku. Menjemputku ketika pulang kerja, atau bahkan sekedar menemaniku ketika aku merasa butuh refreshing dengan penatnya pekerjaanku.

***

Suatu sore saat aku pulang kerja dia tiba-tiba sudah berdiri di depan kantorku, padahal waktu itu aku tidak memintanya untuk menjemput. Aku merasa terkejut, ada angin apa dia tiba-tiba datang tanpa mengatakan terlebih dahulu. Padahal sebelumnya aku sudah bilang akan keluar untuk minum teh bersama Grace teman kerjaku. Senyumnya mengembang, aku tak berprasangka buruk padanya. Pikirku mungkin dia akan memberiku kejutan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang