Hunted: Chapter 35 (Musuh alami Shania)

605 68 7
                                    

Gracia yang hendak menyelamatkan Shania dari tendangan Devi, malah mendapatkan serangan kejutan dari Michelle yang dengan sigap menjaga punggung rekannya tersebut. Pukulannya yang masih dapat ditahan Gracia, setidaknya membuat lawannya tersebut terhempas mundur sehingga memberikan ia sedikit waktu untuk merencanakan sesuatu.

“Ho, makasih, Le.” Ujar Devi.

“La, Le, La, Le. Itu hati-hati!” seru Michelle yang langsung menarik Devi ke arahnya ketika melihat Shania yang bangkit sambil mengayunkan lengannya ke arah Devi.

SRRSHH!

Ayunan lengan Shania, hampir saja menggoreskan luka di wajah Devi jika saja Michelle tidak bergerak cepat. Beberapa helai rambut Devi menjadi korban dari tebasan lengan Shania, padahal tidak ada senjata yang ia pegang, ataupun bentuk lain dari auranya yang menyerupai senjata. Hanya tangan kosong yang memancarkan cahaya.

“Elemen cahaya emang beda ya.” geram Devi yang tidak tinggal diam.

Ia langsung melancarkan serangan balik. Dibantu dengan rekannya, mereka berdua menyerbu Shania yang masih dalam posisi siaga.

“Oi, oi. Jadi Aku dicuekin, gitu?!” seru Gracia.

Ia mengepalkan kedua tangannya dan dengan keras, menghantam permukaan tanah dengan tinjunya hingga bumi di sekitar mereka bergetar cukup kencang. Membuat Devi dan Michelle kehilangan keseimbangan mereka.

“Sekarang, Kak!” seru Gracia berlari menerjang mereka.

Melihat kesempatan yang diberikan Gracia. Shania langsung bereaksi mengikuti apa yang seharusnya ia lakukan. Dengan kedua tangannya yang terlihat semakin terang, Shania berlari mendekati mereka hingga tepat saat ia berada di hadapan Devi, ia kembali mengayunkan lengannya. Kali ini, cahayanya berhasil menggoreskan segaris luka di dahi lawannya. Cukup panjang, dan juga dalam.

Sementara Michelle yang berada beberapa langkah di belakang Devi, tidak dapat memberikan banyak bantuan karena dirinya sendiripun mendapat serangan brutal dari Gracia. Duri-duri yang terbuat dari lapisan tanah keras yang muncul dari dalam tanah yang ia pijak, kemudian hujan batu yang entah darimana asalnya, lalu ditambah dengan pukulan-pukulan Gracia yang tidak ada hentinya, membuat Michelle benar-benar kerepotan, bahkan beberapa serangan Gracia berhasil membuat luka di tubuhnya.

“Tunggu… sedari tadi… mereka hanya menggunakan aura hitam? Kenapa? Apa mereka belum sampai ke tahap aura putih?” pikir Shania.

BUAK!!!

Kali ini, Shania dikejutkan oleh pukulannya sendiri yang berhasil ditahan dengan mudah oleh Devi. Serupa tapi tak sama, begitulah keadaan kedua tangan Devi yang terlihat begitu gelap. Senada dengan keadaan hutan di sekitar mereka, dan begitu kontras dengan apa yang diperlihatkan oleh kedua tangan Shania.

“Halo, musuh alami.” Gumam Devi diiringi seringai mengerikan yang memperlihatkan taringnya yang kecil mencuat.

BLASSH!!!

Shania terlempar seketika itu juga seolah sesuatu dengan tekanan yang begitu hebat, menghantamnya dengan keras.

“Le! Sembunyi!” seru Devi.

Srrrrsshh~

Seiring dengan seruan Devi, daerah sekitar mereka mulai bertambah gelap, bertambah pekat, membuat penglihatan Gracia seolah ditutupi oleh sehelai kain hitam di tengah malam. Tidak ada secercah cahayapun yang terlihat. Termasuk cahaya dari kedua tangan Shania. Semuanya ditelan kegelapan.

“Argh! Sial! Gelap---“

BUAG!!!

Satu pukulan berhasil mendarat di pipi kiri Gracia, ditambah satu pukulan lagi di sebelah pipi yang lain, lalu di punggungnya, di perutnya. Di tengah kegelapan, Gracia kini menjadi bahan bulan-bulanan, entah itu oleh Michelle ataupun oleh Devi.

“Cih! Bagaimana ini? Di mana Kak Shania? Aku butuh penerangan!” geram Gracia.

“Gak nyerang balik?” bisik Michelle yang lalu kembali melayangkan sebuah tendangan tepat di punggung Gracia.

“Kurang ajar! Aku tidak dapat membalas serangan mereka, pun mendeteksi keberadaan mereka. Sial! Sial!”

“Gracia!” seru Shania entah dari mana karena kegelapan tidak menunjukkan keberadaan asal suara tersebut.

Meski begitu, tiba-tiba saja secercah cahaya menandakan di mana tepatnya Shania berada. Dengan cepat, Gracia berlari menghampiri cahaya tersebut. Namun sayang, kedua lawannya tidak memberikan kesempatan, juga tidak membiarkan Gracia untuk mendekati Shania.

“Mau ke mana? Udah di sini aja sama Aku.” Bisik Michelle yang kemudian menghilang, digantikan oleh pukulan yang kembali mendarat di perut Gracia. Membuat Gracia tidak dapat lagi menahan sakitnya hingga ia memuntahkan darah.

Sementara Shania, ia masih belum beranjak dari tempatnya. Berharap Gracia dapat melihat kilau cahayanya yang mungkin tidak akan terlalu terlihat di tengah pekatnya gelap yang menelannya sedari tadi.

“Kak, jangan mainin yang terang-terang gitu deh. Bahaya.” Ucap Devi yang kini berdiri di hadapan Shania dengan tangannya yang terlipat angkuh dan tatapannya yang merendahkan.

“Kau!” geram Shania yang langsung melepaskan pukulannya ke arah Devi meski lawannya tersebut masih dapat menghindarinya.

“Masa cuman segini sih, Kak? Padahal Aku baru mau serius lho.” Ujar Devi yang dengan cepatnya telah berada tepat di belakang Shania.

DUASSH!!!

Pukulan Devi masih terlalu lambat untuk menembus refleks Shania yang dengan sigap menahan serangan Devi dengan kedua tangannya. Mereka saling berhadapan bertatap muka.

“Aku bener-bener baru liat loh elemen cahaya kayak gini. Kirain gak ada.” Ucap Devi tenang sambil masih menekan Shania.

“Aku juga baru liat elemen kamu loh.”

DRAASHH!!!

Intensitas cahaya yang terpancar dari kedua tangan Shania menjadi sangat menyilaukan dalam sekejap, dan hal itu memberikannya sedikit celah untuk mendaratkan tendangannya tepat di perut Devi yang terkejut akan silaunya cahaya yang berada di hadapannya.

“Haduh… sakit lah. Lumayan. Hmm… Kakak bukan tipe petarung, ya?” tanya Devi setelah sedikit menepuk-nepuk perutnya seolah tengah membersihkan debu yang mengotori bajunya.

“Tidak mempan?! Mustahil! Padahal kan tendangan tadi kulepaskan dengan bantuan dorongan elemenku!” geram Shania.

“Yah, kayaknya sih bukan.” Lanjut Devi.

“Oh, sebelum Aku melanjutkan pertarungan ke tahap yang lebih serius, ijinkan Aku memperkenalkan diri sebagai junior yang baik di hadapan seniornya. Namaku Devi, dan seperti yang sudah Kakak lihat, elemenku adalah ini semua. Kegelapan.” Sambungnya dengan senyum sinis mengerikan.

“Hah! Kegelapan? Anak kecil juga tau kalau kegelapan kalah lawan cahaya.”

“Begitukah? Kalau kegelapannya tambah pekat lagi, gimana?”

Seiring dengan pertanyaan retorik yang diucapkan Devi, kegelapan yang menyelimuti mereka benar-benar bertambah pekat, bertambah gelap hingga membuat Shania merasakan sesak. Bukan sesak nafas, namun… entahlah. Ia sendiri tidak dapat menggambarkan apa yang tengah ia rasakan.

“Sesak? Bukan. Itu bukan sesak, tapi takut. Setiap orang takut kegelapan, dan itu alamiah.”

WHUSHT!!!

“Apalagi kalau gelapnya tambah menyeramkan kayak gini.” Bisik Devi yang tiba-tiba saja berada tepat di samping kiri Shania.

BUAKK!!!

Tendangannya tepat menghajar tulang rusuk Shania dengan telak. Membuat Shania terbatuk kesakitan.

“Ayo, sekarang kita mulai serius.” Ujar Devi dingin.

DRAAKK!!!

-

-

-

-

-

TBC...

Season 2 Hunted (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang