Just One Part

34 2 1
                                    

Halloooo.
Setelah sekian lama jadi pembaca di wattpad dan menulis untuk hiburanku, akhirnya hari ini aku beranikan mengupload ceritaku. Semoga sukaa. Jangan lupaaaaa vote, komen okee. Oh iyaa minta saran dan kritiknya.
Busseet dah panjang amat gue ngomong
Langsung aja check it out
***
Hujan telah berhenti sekitar setengah jam lalu, saat aku masih dalam suasana pelajaran Bahasa Inggris yang cukup membosankan. Udara lembab masih terasa. Genangan air juga tersebar di taman depan kelas. Daun pohon masih meneteskan satu dua titik air yang tersangkut. Aku masih enggan beranjak pulang mengingat tempat parkir masih penuh sesak siswa yang ingin segera pulang.
“Ayo Nob, cepetan.” Ucap seseorang sambil menepuk bahuku.
Aku menoleh ke arah seseorang yang tadi menepuk bahuku. Dia sahabatku Laevigata atau sering dipanggil Levi. Aku dan dia sering pulang bersama mengingat rumah kami yang searah.
“Ngapain sih buru-buru lagian tempat parkirnya juga ramai?” tanyaku santai.
“Ayolah. Please.” Ucapnya sambil memelas.
“Okelah. Teman-teman aku duluan ya.” Pamitku kepada teman-teman yang masih tinggal di sekolah.
Aku melangkah berdua dengannya. Menyusuri koridor yang sudah agak lengang dari siswa. Saat disudut koridor, tiba-tiba ia memintaku berhenti. Aku bertanya-tanya apa yang sedang dia lakukan karena sudah beberapa hari terakhir ia selalu meminta berhenti di tempat ini selama beberapa menit padahal ia ingin pulang ke rumah dengan cepat. Walau masih penuh dengan teka-teki aku menuruti apa kemauannya.
Kamipun terdiam beberapa saat. Aku mengamati tingkah lakunya. Ia tetap berdiri di tempat ia berhenti. Matanya memandang sesuatu di tempat parkir. Pipinya mulai muncul semburat merah. Aku semakin bingung dengan tingkah lakunya dan akhirnya kuberanikan untuk bertanya.
“Lihat apaan Vi?” tanyaku sambil ikut memandang ke arah yang sama.
“Eh enggak kok.” Katanya sambil mengalihkan pandangan dan pipi yang semakin memerah.
Disaat yang sama aku menemukan seorang cowok yang tengah duduk di atas motornya. Entah apa yang ia lakukan, yang ku tahu ia hanya diam dan melamun. Lalu tak lama ia pergi pulang. Sesaat setelah cowok itu pergi aku mendengar Levi mendengus pelan.
“ayo Nob kita pulang.” Ucapnya sambil menarik tanganku sesaat setelah cowok itu pergi.
Akupun menurutinya. Bergegas ke motorku. Lalu pulang.
Keesokan harinya.
Aku bergegas keluar kelas untuk pulang. Sebelum itu aku menunggu Levi keluar kelas. Saat ia keluar kelas sepertinya ia sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Layaknya kemarin, ia tetap memintaku untuk berhenti diujung koridor. Kejadian kemarin terulang lagi. Sama persis dan tak berubah. Aku semakin yakin ia sedang mengamati cowok yang sama seperti kemarin. Cowok itu bernama Dexter Lovio Moedra. Cowok pendiam kelas sebelah.
“jadi tiap hari diam disini Cuma mau mantengin Dexter?” tanyaku.
“hah.. k..kamu ngomong apa sih?” tanyanya sedikit tergagap, hal ini dilakukan saat ia kaget.
“ngaku aja deh. Tuh anak udah pergi noh. Ayo balik.” Kataku sambil menarik tangannya.
Semua itu berlagsung hingga beberapa bulan. Levi terus saja berdiam diri ditempat yang sama untuk mengamati Dexter. Ia tak pernah sedikitpun memiliki niat untuk mencoba bertegur sapa dengan Dexter karena ia selalu saja terserang grogi akut saat dekat dengannya.
Awal bulan Maret.
Kini koridor penuh dengan lalu kakak kelas yang tengah sibuk dengan ujian. Walau waktu sudah menunjukkan jam pulang sekolah, mereka masih saja berkutat dengan lembaran-lembaran soal atau bahkan buku tebal. Tak jarang mereka saling menabrak satu sama lain karena tak melihat jalan sangking sibuknya. Begitu pula dengan Levi yang berulang kali tertabrak kakak kelas. Hasil benturan itu tak mengganggu hal yang tengah dilakukan oleh Levi saat ini. Ia tengah menghadap salah satu sudut tempat parkir. Tak ada lagi rona merah yang menghiasi pipinya seperti biasa. Guratan kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca melengkapi ekspresi sedih wajahnya. Kejadian ini terus saja berlangsung setiap hari sejak 3 bulan lalu.
Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang akhir semester gasal dan tahun baru. Aku dan Levi menjalani awal hari seperti biasa. Saat upacara berlangsung, Levi beberapa kali menoleh ke arahku sambil menaikkan salah satu alisnya seolah berkata “kamu lihat Dexter?” Aku mengankat bahuku sambil menggeleng.
“mungkin ia telat.” Kataku tanpa suara.
Ia kembali mencoba untuk tertib berupacara. Dalam sikap sempurnanya kutemukan ekspresi kecemasan dari wajahnya. Aku mencoba tak peduli dan tetap melanjutkan upacara.
***
Bel berbunyi 3 kali. Saatnya istirahat. Tiba-tiba aku mendengar beberapa murid menyebutkan nama Dexter berulangkali. Akupun berusaha untuk masuk dalam obrolan itu, mencari informasi untuk dibeberkan kepada Levi.
“ada apa sih sama Dexter?” tanyaku menyeruak kurubungan itu.
“dia pindah keluar kota.” Jawab salah satu diantaranya. Tanpa sadar aku menahan nafas saat mendengar cerita itu. Kabar ini pasti sangat membuat Levi terpukul. Mengingat ia selalu mengharapkan apabila suatu saat nanti Dexter menyadari ada seseorang yang selalu mengamatinya setiap pulang sekolah.
Matahari mulai meninggi. Hari ini sekolah memulangkan siswanya lebih awal mungkin masih terbawa hawa liburan kali ya, jadi pulang pagi. Tiba-tiba Levi sudah berada disisiku. Dengan muka sembab, cuping hidung memerah dan sesenggukan. Ketika aku menghadapnya ia langsung menumpahkan semua hal yang menyebabkan ia menangis. Acara curhat itu juga diwarnai air mata yan terus saja keluar tak peduli sudah banyak tisuku yang sudah ia habiskan. Dan inti cerita itu sama seperti awal bayanganku. Semua karena kepindahan seorang Dexter Lovio Moedra.
Tahun-tahun telah berganti, kini aku tengah berada di tempat yang berbeda dengan tahun lalu. Aku tengah berdiri di salah satu koridor sebuah universitas negeri favorit. Aku tengah memandang sepasang muda-mudi yang tengah asyik berdiskusi sambil bercanda di area taman. Tak jarang mereka sibuk berdebat. Tak jarang pula mereka asyik menjitak dahi lawannya. Setelah cukup lama mengamati akhirnya kuputuskan untuk mendekat.
“hey what’s up Lev, Dex?” kataku sambil mengambil duduk di dekat mereka. Ya mereka adalah Laevigata dan Dexter Lovio Moedra. Kami dipertemukan kembali di bangku kuliah, bahkan Levi dan Dexter di jurusan yang sama.
“good.” Jawab Levi masih asyik membaca.
“sendirian aja kamu Nob?” tanya Dexter basa-basi.
“emangnya kalian berdua yang kayak perangko sama surat nempel mulu kemana-mana. Mentang-mentang udah pacaran aja kayak gitu.” komentarku agak dongkol mengingat Levi sudah jarang berdua denganku semenjak mengambil kuliah arsitektur plus jadian sama Dexter. Ya mereka jadian. Penantian, air mata, kesedihan Levi terbayar saat Dexter juga menyukainya sejak masa SMA dulu. Aku ikut bahagia mengingat perjuangan Levi saat menjadi ‘pengamat’ yang ‘ulung’.
SELESAI
Yuuhuu jangan lupa vote dan komen yaaa butuh kritik dan saran ini.

Pengamat UlungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang