33. Dilema hati

1.9K 129 2
                                    

Memang benar, otak yang memegang kendali penuh dengan perilaku manusia. Memang benar, akal sehat lah yang berkuasa mengatur sikap pemiliknya. Namun jangan lupakan hati, hati juga turut andil dalam merasakan semua rasa.

Ketika otak tak mampu lagi berpikir harus apa, maka hati lah yang akan mengambil alih semuanya. Ikuti kata hati, karena hati selalu tau apa yang diingankan oleh sang pemilik.

Cinta itu ibarat sebuah tali tipis yang panjang melintang di atas jurang. Ketika melintas diatasnya, harus ada keseimbangan antara hati dan pikiran.

Ketika sebuah rasa terlalu diumbar sesuai hati tanpa harus mengikuti arahan otak, maka jurang dibawah sana siap menanti untuk menelan.

Ketika sebuah rasa terlalu lurus harus mengikuti akal sehat tanpa merasa dengan hati, maka jatuh lah yang akan dirasa.

Dan ketika sebuah rasa terlalu keras ditekan, maka sama saja memutus tali pijakan dibawah kaki dan langsung terjun dalam jurang tanpa batas.

Keseimbangan, yang dibutuhkan untuk tetap berdiri di atas tali adalah keseimbangan antara hati dan pikiran.

Memang hati yang merasakan semua rasa, namun otak harus tetap berperan menentukan langkah.

Karena hati dan otak adalah satu kesatuan yang diciptakan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling mendominasi.

Ketika sesuatu sudah menjadi kebiasaan, maka seseorang tak akan tahu bahwa sebenarnya sesuatu itu sudah menjadi candu. Semuanya akan jelas terlihat ketika sesuatu itu menjauh.

Bahkan sepasang sepatu sekalipun akan terasa aneh jika sebelah diantaranya menghilang.

Mungkin akan lebih baik jika Siska tidak terlalu mengekang hatinya dalam-dalam. Sekuat hati dia menyuarakan untuk tidak peduli, namun nyatanya dia sudah jatuh sejatuh-jatuhnya dalam lubang yang ia gali.

Siska menatap seseorang di sana, seseorang yang sudah beberapa hari ini menjadi asing baginya. Siska tau, mungkin dia terlalu keras mendorong Alno menjauh. Siska tau, dia terlalu sombong hingga menganggap Alno tak akan pergi ketika dirinya masih menggantung hatinya tinggi-tinggi.

Salahkan dirinya yang terlalu menentang emosi asing yang menyelundup dalam hatinya. Salahkan dia yang terlalu sibuk berkamuflase menutupi semuanya ketika dia pikir itu berhasil mempertahankan diri dari serangan.

Nyatanya, Siska terlalu sibuk untuk menolak kata hatinya daripada mendengar hatinya bersuara. Bahkan Sinta lebih faham apa yang ia rasa dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Dan yang lebih menyedihkan dari itu semua adalah penentangan yang ia ciptakan masih berjalan hingga sekarang.

Jujur, dia tidak suka diganggu seperti biasanya. Namun diabaikan juga masuk kategori yang ia benci. Siska tidak suka Alno menjauh, namun dirinya juga tidak suka jika harus balik mengejar. Itu sama sekali bukan gaya seorang Siska Fiorenza.

Hey ayolah, bahkan mengucap maaf pada Sinta saja susah untuk ia lakukan. Ia lebih memilih berselisih paham selama bertahun-tahun seperti kemarin. Walaupun Sinta berpemikiran sama sepertinya, namun tetap saja itu menunjukkan bahwa Siska bukan tipe orang yang akan mengejar walau ia ingin.

Intinya, Siska terlalu gengsi untuk mengungkapkan apa yang ia rasa sebenarnya. Dia terlalu sombong dengan berpemikiran bahwa Alno lah yang akan selamanya mengejar dirinya.

Bahkan ketika Sinta bertanya sekalipun, dirinya akan tetap berdalih dengan mengatakan tidak punya perasaan apapun pada Alno. Nyatanya semua itu bohong! Semua itu sia-sia karena Sinta bahkan sudah tau bagaiman watak Siska sang kembaran.

Kembar yang Dikembar-kembarkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang