"Papa harus jual rumah itu Na, Papa udah nggak punya uang lagi buat bayar perawatan Mama kamu yang sinting itu. Memangnya kamu pikir biaya buat obatin Mama kamu itu murah? Ditambah lagi sekarang dia sakit-sakitan begitu," ucap pria paruh baya kepada gadis yang tengah duduk di hadapannya.
Suasana koridor rumah sakit cukup sepi. Semilir angin sore berhembus perlahan memainkan anak rambut si gadis yang tak ikut terkuncir.
"Terus aku harus tinggal di mana Pa? Aku mampu kok bayar biaya pengobatan Mama, aku bisa cari kerjaan sampingan. Yang penting Mama sembuh. Papa boleh pergi lagi, Papa boleh nggak sayang lagi sama Mama tapi tolong jangan jual rumah milik Mama, Pa."
"Tau apa kamu Na. Anak kecil macam kamu tau apa urusan orangtua? Kamu tau? Mamamu sinting itu karena punya anak yang susah diatur kayak kamu dan adikmu. Papa harus kerja banting tulang buat kalian dan kalian nggak hargain kerja keras Papa selama ini, rumah itu milik Papa, bukan milik Mama kamu." Nada bicara pria itu naik beberapa oktaf.
Gadis itu terdiam, lekat-lekat ia pandangi wajah pria yang selama beberapa tahun meninggalkannya itu.
"Open your mind Na, kamu pikir selama ini yang biayain kamu kuliah siapa kalau bukan Papa, hah?"
"Aku memang anak kecil Pa. Okay, mungkin Papa memang masih menganggap aku sebagai anak kecil yang nggak tau sama sekali masalah apa yang terjadi di keluarganya. Tapi aku tahu, Mama sakit jiwa itu gara-gara Papa, ini bukan salah aku atau almarhum Deo. Ini salah Papa," ucap si gadis sambil terisak.
Dada gadis itu terasa sesak, rindu yang selama bertahun-tahun ia simpan untuk Papa tercintanya lenyap tak berbekas, yang tersisa hanya rasa benci yang teramat sangat. Emosinya memuncak, darahnya seolah mendidih dan jika ia tak mengingat bahwa pria yang di hadapannya kini adalah ayah kandungnya mungkin saja ia sudah melakukan sesuatu hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menghajarnya sampai meregang nyawa dan menyusul Deo di akhirat misalnya.
"Papa pergi ninggalin Mama malam itu, walaupun Papa tau Deo belum tidur Papa masih aja marahin Mama di depan Deo, kan? Dia masih kecil Pa, dia masih enam tahun. Nggak pantes denger pertengkaran kalian yang nggak ada ujungnya. Papa pergi meski Papa tau Deo lari ngejar Papa sampai akhirnya dia ketabrak mobil di depan komplek, kan? Aku emang nggak ada di rumah hari itu juga tapi aku tahu." Gadis itu menarik napas mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Hati seorang ibu mana yang nggak sakit ngeliat anaknya meninggal gara-gara ngejar Papanya yang brengsek? Gara-gara ngejar Papanya yang pergi ninggalin keluarganya demi wanita perusak rumah tangga orang? Itu yang ngebuat Mama sakit Pa. Itu yang ngebuat Mama sakit jiwa setelah ditinggal pergi suami brengseknya Mama juga harus ditinggal mati anak bungsunya."
Plakk.
Tamparan keras mengenai pipi kanan mulus milik si gadis dengan sukses membuatnya tertunduk lemas.
"Dasar anak nggak tau diuntung kamu ya! Saya ini Papamu. Jaga omonganmu."
Gadis itu menatap si pria paruh baya dengan tatapan pilu, ia tak menemukan sosok Papa yang ramah dan hangat di tubuh yang berdiri di hadapannya. Dipegangnya pipi yang terkena tamparan tadi dengan tangan kanannya. Terasa panas dan perih, namun tak hanya sampai di sana rasa sakit itupun menjalar ke dalam hatinya.
Pria itu pergi meninggalkan si gadis yang masih terisak. Gadis itu hanya bisa menatap punggung ayahnya sebelum menghilang di kelokan lorong rumah sakit. Setelah kepergiannya selama bertahun-tahun ternyata sikap Papanya itu malah semakin kejam terhadapnya.
Ia beringsut ke lantai dan menengadah. Dosa apa yang ia lakukan hingga hidupnya berantakan seperti itu?
"Papa bahkan nggak ada waktu buat jengukin Deo, Papa bahkan nggak ada dipemakamannya Deo."
Gadis itu mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meghapus sisa air mata yang tadi mengalir dengan lancang di pipinya.Dengan pandangan yang sedikit buram karena matanya yang basah ia seperti melihat sesosok pemuda yang tengah berdiri di depan pintu ruangan seberang memperhatikannya sedari tadi.
Pandangan mereka bertemu, baik si pemuda mau pun si gadis itu tak bersuara, mereka hanya saling tatap selama beberapa menit hingga tiba-tiba mereka di kagetkan oleh suara pemuda lain yang memanggil nama si gadis sambil mengusap wajah gadis itu.
"Cia, Cia. Are you okay? What happened?" tanya pemuda yang baru datang dengan nada khawatir sambil membopong tubuh gadis itu ke kursi terdekat.
"I'm fine," jawab gadis itu dengan suara parau.
Pemuda yang baru datang tadi merengkuh tubuh lemas si gadis, membawanya dalam pelukannya yang hangat dan menenangkan.
"No, you're not."bisik pemuda itu.
Antara si gadis dan pemuda yang baru datang itu tak pernah tahu bahwa ada seseorang yang diam-diam memperhatikan mereka. Seorang pemuda yang masih berdiri di depan pintu ruangan seberang.
"I want to hug you too, just as he hugged you. But, I dunno who are you and I dunno what really happened to you, Maafkan aku karena melihat apa yang seharusnya tak kulihat," ucapnya lirih setengah berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warrior Or Worrier?
Teen FictionI gave more than I should, I gave all that I could, But to you it was nothing, When I gave everything. Should I give up? Should I keep fighting for you? but I'm so tired. I'm afraid of losing you, even though I wasn't ready to admit it to myself. W...