13. Pergolakan (Oh, Stefi)

21 4 0
                                    

Pagi ini kembali aku membuka mata dengan perasaan tak tentu. Mengingat semalam Stefan kembali berusaha menghubungiku lewat chat. Berharap aku mau kembali lagi padanya. Sungguh tak ada dosa dirinya. Batinku.

Apa memang dia sendiri tidak menyadari kesalahannya atau bagaimana. Sampai dia seolah tak memiliki beban ketika memintaku kembali padanya. Dengan semua hal yang pasti aku sadari akan dilakukan lagi olehnya. Haruskah aku kembali? Tanyaku dalam hati sendiri. Berharap menemukan jawaban itu pada nuraniku.

Tapi toh nyatanya tak juga aku temukan kepastiannya. Selain dari rasa terombang-ambing untuk kembali atau memutuskan menyudahi. Sekalipun keduanya sama berat, tidak juga aku temukan keduanya baik. Sebab semuanya menuntut diriku remuk dalam konsekuensinya.

Maka aku merasa harus segera mandi dan berbenah diri. Berharap sejenak aku mendapat perasaan tenang dari sejuknya air yang akan mengguyur tubuhku. Barangkali aku akan sedikit menemukan kata kunci penyelesaian masalahku. Batinku.

Lalu aku segera bergegas menghidupkan kran kamar mandi dan mulai membasahi diri dengan air. Sembari memikirkan omongan Rere semalam.

"Kalau kamu merasa apa yang menjadi prinsip hidupmju itu baik. Kamu harus membuat dia melihat itu dalam dirimu. Bukan sebagai syarat agar bisa hidup denganmu. Tetapi karena dia menyadari bahwa hal itu layak untuk dihidupi." katanya.

Entah kenapa aku tiba-tiba teringat kata-katanya. Juga tambahan kalimatnya.

"Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang bisu. Sekedar berjalan berdasarkan program otak tanpa pernah mempertanyakan satu dengan yang lain kemana kita akan melangkah? Kenapa tidak coba kamu bertanya pada dirimu apa yang sebenarnya ingin cari dalam pernikahanmu. Sebelum kamu memutuskan apa yang akan kamu lakukan setelah ini." katanya lagi.

"Bahkan sekalipun kamu pada akhirnya akan memutuskan untuk mengakhiri. Pastikan betul bahwa keputusan itu akan menjadi jawaban klimaks dari permasalahanmu. Tanpa nantinya akan meninggalkan penyesalah pahit dari benih yang saat ini dipercayakan padamu."
Ungkapnya sembari menatap lurus pada perutku yang terus membuncit.

Lalu aku kembali mengoleskan busa sabun pada bagian perut sembari terus memikirkan kata-kata Rere. Membuat aku semakin mempertanyakan arah langkahku. Sekarang ini aku ingin kemana? Rasanya belum juga aku menemukan arahannya.

Disamping itu juga jujur saja, aku sedikit heran dengan Rere. Dia belum rumah tangga tapi pemikirannya sangat mengena. Terkadang, aku hanya menyayangkan dirinya yang masih memutuskan sendiri, dan berpikir apa trauma masalalunya terlalu dalam? Sampai dia begitu betah sendiri atau memang dia memiliki standar tinggi dalam penilaiannya pada laki-laki? Sampai saat ini aku masih merasa itu semua misteri.

Cit...
Suara kran kamar mandi berdecit saat aku mematikannya. Sedang tanganku langsung menyambar handuk yang aku gantungkan. Segera aku melangkah keluar dari kamar mandi. Menyelesaikan salah satu ritual pagi.

Sampai tiba-tiba saja terbesit dalam benakku untuk mencoba salah satu cara yang agak beresiko. Tetapi aku kira memang jalan penyelesaiannya hanya begini.

Maka dengan sedikit ragu terus aku kuatkan hati menempuh jalan ini. Sekalipun berat, aku berdoa semoga ini yang terbaik. Yaitu dengan mengajak Stefan bertemu dan mempertanyakan permasalahan ini.

Karena aku sadar hanya dia kunci permasalahan ini, dan harus dengan dia penyelesaiannya. Jadi aku langsung saja menelponnya, tidak lagi mengirim pesan text. Berharap bisa segera mendapat respons cepat darinya. Semoga dengan ini segera aku bisa menemukan jalan penyelesaiannya. Doaku selalu dalam hati.

Pernah mengalami hal serupa? Atau ada sanak sodara yang ngalami hal serupa? Vote dan komen untuk kelanjutannya.......

Filosofi Pasangan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang