Harry dan Ron. Bahaya.
Adrenalin kembali memicu di dalam diri Grace. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menyusul Harry dan Ron ke ruangan piala ketika Filch dan Snape di sampingnya? Hal terbodoh yang pernah ada.
"Kenapa kau tak balik sekarang ke asramamu, Evans?" Snape menggerutu sebelum dirinya melirik mata Grace. Saat itu juga, dia seakan-akan tahu segala yang dipikirkan Grace. Dia kemudian membentuk sebuah seringai di bibirnya. Tatapannya bertambah dingin. "Ah, apa semua ini memiliki hubungan denganmu?"
Nadanya berubah. Grace bisa merasakan itu. Bulu kuduknya berdiri.
"Lantas bagaimana kalau kita memeriksanya sekarang, Filch?" Snape menaikkan alis matanya—tertarik. "Aku sungguh penasaran, siapa gerangan tikus-tikus itu?"
Kali ini senyuman kecil yang benar-benar tulus—tak dipaksakannya—muncul di wajah Snape itu dan Grace menelan ludahnya, tahu akan satu hal. Dia harus melindungi mereka—Ron dan Harry—dari Snape.
"Ja-Jangan, Prof'," Grace menarik jubah Snape, membuatnya mendapatkan tatapan tajam dari Profesornya itu. "Profesor Dumbledore sedang menunggumu di kantornya, bukankah begitu, Profesor?"
Snape mendengus. "Ha, Evans. Prioritasku sebagai Profesor adalah menjaga murid dari segala aturan yang akan ditentang mereka—jelas."
"Apa jangan-jangan kau, Evans, berusaha membantu mereka?" tanya Snape dengan nada mengejek lalu mendekatkan wajahnya ke arah Grace, mengancam. Jelas, melihat ekspresi Grace, Snape tahu persis siapa pelakunya. Harry. "Lihat, Evans. Kalau sampai aku tahu, kau—yang kebetulan—tahu akan rencana mereka atau—"
Kali ini Snape mendesis. "Membantu mereka, kau akan tahu akibatnya."
Setiap kata diucapkannya dengan sangat pelan, satu persatu, dan Grace sekarang tahu betapa Snape membenci Harry. Ini juga pertama kalinya Grace merasa takut dengan Snape. Selama ini memang dia sering diancam olehnya, tetapi tak pernah sampai membuat Grace setakut ini.
Snape kemudian menjauhkan wajahnya, sempat melihat mata Grace sekilas. Kehangatan di mata hitam gelapnya hilang, mengingat kalau, Grace, bagaimanapun juga bukan Lily.
Lily sudah tiada. Yang berdiri di depannya, hanya bocah menyebalkan yang benar-benar mirip dengannya. Tak lebih.
Dan dia bodoh kalau dirinya tetap menganggap Grace sebagai Lily—hanya untuk kepentingan dirinya sendiri—untuk setidaknya merasakan kehadiran Lily kembali.
"Baiklah, Severus?" Filch sudah kehilangan kesabarannya, menunggu percakapan di antara mereka berdua selesai. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya hanya bagaimana kalau para pembuat masalah itu berhasil kabur darinya. "Kau mau ikut ke ruangan piala atau tidak?"
"Argus, kau tahu kalau menangkap para pembuat masalah merupakan suatu kebanggaanku." Snape membalikkan badannya dan berjalan menuju Filch, sama sekali tak peduli dengan permohonan Grace tadi. Snape kemudian mendengus.
"Mari kita berharap kalau temanmu itu—Potter—bukan pelakunya, Evans?"
...
Grace langsung berlari secepat yang ia bisa ke arah asramanya sekarang. Mungkin. Mungkin saja mereka belum berangkat. Tapi sayang, yang dia temukan hanya ruangan Gryffindor yang kosong.
Tapi Grace tak menyerah begitu saja pada teorinya. Lebih tepatnya, harapannya. Dia langsung bergegas ke kamarnya—semenjak dia tak diperbolehkan untuk pergi ke kamar para lelaki—untuk mencari keberadaan Hermione.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always.
FanfictionMungkin, bagi Severus Snape, kepergian Lily dari dunia ini sama rasanya dengan kepergian nyawanya sendiri. Kosong. Hampa. Yang tertinggal dari dirinya sekarang hanya tipikal profesor yang dibenci oleh semua orang, kecuali satu, Grace Potter. Ya, tak...