Falling? In what?
Love? Seriously?
Ok, aku jatuh dalam jeratan abangku. Bukan hanya dalam sirkuit, tetapi dalam ranjang dan cinta sekaligus.
Abangku, berpejam mata dengan torso yang polos; hanya memakai boxer mahal bermerk Clain Kevin. Dengan satu tangan yang tersingkap di atas kepalanya, dia terlihat tampan. Tubuh penuh peluh dan nafas masih memburu saat dia membuka mata serta melirik kearahku. "Tidurlah." Katanya sambil mengapit tubuhku dalam pelukan
Marc Marquez Alenta. Pembalap dalam Moto GP. Tujuh kali gelar dunia, enam di antaranya adalah peringat satu. Salah satu penggemar dari seorang Valentino Rossi. Ambisi untuk mengungguli sang idola pun kini sudah tercapai. Dengan semua kegigihannya dalam berlatih untuk menyabet gelar Baby Alien, dia banting tulang dalam lintasan balap; terus melaju kala hujan badai merusak lintasan yang membuatnya selalu terjatuh dan cedera. Tak peduli kala motor hancur lebur, dia tetap berdiri dan melanjutkan latihan.
"Tiga minggu lagi sirkuitnya di Sepang, Malaysia." Kataku, "dan kudengar Vale sudah sembuh dari patah kakinya. Kau tidak ingin berlatih?" Ya, dua pekan idolanya tidak mengikuti balap karena patah tulang kaki akibat kecerobohannya dalam latihan pribadi.
"Ya, nanti. Aku lelah." Katanya dan mulai melihat kearahku, "kau tidak lelah?" tangan itu menyibak rambut basahku yang terkena peluh dan mengusap sayang.
"Aku lebih lelah jika dianding denganmu, kak," kataku dengan menelusukkan kepalaku dalam dada bidangnya. "Aku yang diatas, dan aku jauh lebih lelah daripada kau."
Marc Marquez Alenta adalah panutanku. Abangku adalah idolaku. Jika bukan karena dia, aku tidak akan menyabet klasemen terkahir dengan podium satu dalam Moto3 tiga tahun lalu. Melihat abangku gigih dalam berlatih untuk menyaingi idolanya pun yang membuatku mempuyai ambisi sama dengannya; aku harus mengungguli idolaku sendiri dalam sirkuit.
Sebagaimana pohon saja, jika dia semakin tumbuh besar, semakin kencang pula angin yang akan membuatnya roboh. Namun dia adalah orang yang tidak patah akan semangat, dengan melihat baju kebanggaannya yang tergantung rapi di kamarnya. Kamar penuh dengan kenangan saat dia menang dalam sirkuit terpampang jelas disana. Awalnya medali dan piala yang didapatnya dia taruh rapi dalam jejeran lemari, sebelum papa dan mama berkata, "Bagaimana jika kemenanganmu dipajang di depan ruang keluarga saja? Itu akan membuat semua keluarga bangga akan prestasimu, nak." Dan dibalas senyum oleh abangku. Kini kamarnya hanya berisi apa yang biasa anak laki-laki punya, buku komik, poster idola yang ditempel di dinding, dan—tali kekang. Tali itu digunakan jika dia terjatuh atau tidak bisa melanjutkan balapan di sirkuit. Dia akan pulang dengan keadaan marah dan pasti akan membatingku dalam ranjangnya, lalu mengikat tali pada seluruh tubuhku.
Seperti saat ini.
Dimulainya dengan kata-kata manis dan halus dia akan sedikit demi sedikit mengikatku dengan kencang. "Kau tahu," katanya, "aku kesal. Mengapa motorku bisa jatuh saat lintasan basah?"
Aku mengerang, "A-aku tidak—" dia menjeratku. "Tidak tahu, k-kak."
Lampu kamarnya yang bersinar terang menusuk mata saat dia membalikkan tubuhku. Bingkai-bingkai foto terpajang dari ujung hingga ujung kamarnya. Foto-foto itu menunjukkan betapa dekatnya aku dengan abangku dulu, dan foto-foto itu pula yang menunjukkan betapa renggangnya hubungan kami sekarang. Saat abangku mulai mengejar karirnya, dia memfokuskan segalanya untuk motor dan sirkuit. Meninggalkan aku yang masih berada di bangku sekolah dulu. Aku juga menyukai arena balap motor pun karena dia. Dia yang akan menyalakan tv dengan volume kencang hanya untuk melihat Vale melintas laju dalam sirkuit dan akan mendapatkan podium satu. Dua minggu sekali, acara itu di tanyangkan langsung dari televisi swasta. Dan satu jam sebelum acaranya mulai pun abangku sudah akan duduk manis di depan tv dengan remote yang selalu digenggamnya.
Gorden tersibak saat angin dari luar berhembus masuk kekamar. Memberi udara untukku bernafas saat kakiku dibuka lebar-lebar.
Kurasakan jarinya menumbuk titik nikmatku. Dan sudah kesekian kalinya aku merengek untuk orgasme, namun tetap tidak digubris. Dia masih asik memaju mundurkan tangannya yang panjang tanpa tahu perasaanku. Bagaimana jika aku yang melakukan ini semua kepadanya. Apakah dia akan berubah pikiran saat bersetubuh denganku lagi?
Hingga akhirnya aku benar-benar dipuncak dan melepas orgasme, dia baru memberiku lumatan halus di mulut. "Maafkan aku," akhirnya dia bicara. "Maafkan aku." Ucapnya seraya melepas semua jeratan yang dia perbuat.
Aku masih mengatur nafas karena melepas semenku saat dia mulai menjilati cuping dan leherku, lagi. "Maafkan aku, sekarang, maukah kau buat Daddy senang?"
Kuanggukkan wajahku dan dia mulai bermain halus. Sentuhannya yang lembut membuatku kembali tegang. Aku bisa berkali-kali orgasme jika dia sedang melampiaskan amarahnya kepadaku. Namun, sungguh sangat sulit untuk mendapatkan orgasmenya saat dia sedang naik pitam.
"Blow Job, mungkin?" kataku, "agar cepat selesai dad, maaf, aku lelah selepas balapan tadi lalu kau langsung mengikatku."
"Baiklah, karena kali ini Vale tidak ada, maka sangat membosankan—walau aku harus tergelincir karena hujan sialan itu." Katanya dengan wajah yang sudah mulai bisa diajak bicara. "Apa? Tidak ingin melanjutkan?" tanyanya kala aku memandanginya.
"A-ah, maaf."
Kini posisi terbalik, dia dibawahku dan aku diatas. Perlahan aku turun ke pangkal pahanya. Kini batang tegak itu tepat di depan wajahku. Walau sudah sering kali kulihat dan kukulum, entah mengapa aku selalu tersipu jika posisinya seperti ini.
Kumulai dengan mengecup untuk perkenalan, lalu kujilat dari ujung pangkal hingga naik keatas yang tumpul. Kumasukkan semua bagian batang itu sedikit demi sedikit. Hingga sebelum klimaks dengan sengajanya dia menjambak rambutku dan memaju mundurkan pinggulnya agar penisnya masuk sempurnya kedalam tenggorokkanku. Terus hingga aku benar-benar tersedak. Untuk ketiga kalinya aku tersedak dan dia baru melepas semennya di dalam mulutku.
Jika kalian sudah terbiasa dengan sex dan bau semen, mungkin sudah mafhum dan bodo amat dengan rasanya. Tapi aku tidak. Jika setiap semennya keluar dan memenuhi rongga mulutku, aku tidak pernah suka. Karena selain baunya yang tidak sedap, rasanya pun anyir. Belum lagi dengan matanya yang mengisyaratkan agar aku untuk menelannya.
"Sudah, ya, kak?" kataku.
"Aku masih ingin, tapi—baiklah, kau adik kesayanganku. Maafkan aku karena telah memaksamu, walau aku tahu bahwa kau lelah karena lintasan balap sialan itu. Baik, mari kita tidur. Ah—kita lanjutkan nanti saat aku terbangun, bagaimana?"
Abangku adalah orang yang ramah dan ceria. Terbukti jika kami sedang melakukan sex jika ada waktu luang. Dia benar-benar akan melakukannya dengan lembut dari awal hingga akhir permainan. Dan saat bangun keesok harinya pun dia akan benar-benar menjadi kakak idaman bagi siapa pun. Karena, dia yang akan menyiapkan semua apa yang mau dan apa yang kau butuhkan. Sesusah apa pun dan serumit apa pun permintaanmu, sebisa mungkin dia melakukan yang terbaik.
Aku selalu berpikir bagaimana jika kedepannya orang tua kami mengetahui hubungan yang menyimpang seperti ini. Aku belum sempat bertanya kepadanya, karena mungkin, dia akan memikirkannya hingga berlarut-larut. Dia adalah tipe orang yang akan menuntaskan apa yang harus dan menurutnya akan dituntaskan. Aku tidak ingin membebaninnya dengan pertanyaan sepele namun membuatnya frustasi. Mungkin nanti pun pertanyaan ini dapat mengganggunya saat di sirkuit.
Aku menyayangi abangku bukan hanya karena kami bersaudara, aku menyanginya sebagai apa pun. Termasuk sebagai panutan dan sebagai idola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother of Marquez
FantasyFalling? In what? Love? Seriously? Ok, aku jatuh dalam jeratan abangku. Bukan hanya dalam sirkuit, tetapi dalam ranjang dan cinta sekaligus.