Kali ini aku kembali bercerita. Tentang hati yang patah, bukan patah menjadi dua bagian yang biasa kau visualkan dengan gambar manipulatif. Kali ini benar-benar pecah, hancur.
Ya hancur.
Aku takut untuk datang lagi, aku terlalu pengecut untuk mencari seseorang yang mengalihkanku darimu, orang yang membuatku jatuh cinta sejak kau menggoreskan kuas itu.
Bukan. Dia bukan seniman.
Dia hanyalah gambaran tidak sempurna dari manusia namun bedanya dia punya ribuan talenta yang mungkin saja buatmu terpukau, terpana, terpesona, ah terlalu hiperbola.
Jadi kamu kagum karena itu?
Tidak, bodoh. Tentu tidak.
Apa aku butuh alasan yang kuat untuk mencintai dia? Entah? Aku tidak butuh tampannya, tidak butuh talentanya toh rasa cuma rasa.
Cuma rasa?
Kamu pikir dia makanan yang bisa kamu nikmati lalu kamu ganti jika sudah kenyang?
Dia adalah rasa yang tak pernah membuatku merasa bosan mencintainya. Dia adalah senja dimana aku pulang setiap lelah? Itulah mengapa aku menyukai senja, senja yang hangat dengan secangkir teh, obrolan panjang dan bersamamu adalah versi kaki lima berkualitas bintang lima.
Seandainya kita tidak dipertemukan kala itu, mungkin aku bisa sedikit gila. Melepaskanmu tanpa kenangan sedikitpun? Tentu aku tidak mau.
Aku bersyukur masih sempat sebentar duduk dalam jarak 10 meter kurang. Melukiskan bahagiaku terlampau ekspresif hingga membuat orang menilaiku sebagai seorang maniak.
Aku belajar untuk ikhlas meski disela-sela malam, rindu masih kerap datang mengiringi. Kamu telah pergi melepaskan luka dan sakitmu, menyisakan kebahagian abadi dalam senyummu kelak di surga-Nya.