Mendaki Tiga Puncak Bukit

54 2 10
                                    

"Aku duduk di sebelah atas ya. Dan seperti biasa, aku pasti menang!" teriak Randai pongah, sambil memanjat ke puncak batu hitam yang kamu duduki. Batu sebesar gajah ini menjorok ke Danau Maninjau, dinaungi sebatang pohon kelapa yang melengkung seperti busur.

"Jan gadang ota. Jangan sampai bicara besar dulu. Ayo buktikan siapa yang paling banyak dapat ikan," sahutku sengit. Aku duduk di bagian batu yang landai sambil menjuntaikan kaki ke dalam air danau yang jernih. Sekeluarga besar ikan supareh seukuran kelingking tampak berkelebat lincah, kerlap-kerlip keperakan. Dengan takut-takut mereka mulai menggigit sela-sela jari kakiku. Geli-geli.

Hampir serentak, tangan kamu mengayun joran ke air yang biru. Bukan supareh yang kami incar, tapi ikan yang lebih besar seperti gariang dan kailan panjang. Randai sedang libur panjang dari ITB dan aku baru tamat dari pondok Madani di ponorogo. Saat ini menikmati kembali suasana kampung kami: langit bersih terang, Bukit Barisan menghijau segar, air Danau Maninjau yang biru pekat, dan angin danau yang lembut mengelus ubun-ubun. Waktu yang cocok untk lomba mamapeh atau memancing, persis seperti masa kecil kami dulu.

"Dapat lagi... dapat lagi!" Teriak Randai sambil melonjak-lonjak. Itu ikannya yang ketiga. Dia menggodaku sambil menjulurkan ikan kailan yang masih meronta-ronta ke wajahku. Hampir saja kumis ikan berbadan seperti belut raksasa ini menusuk hidungku. Amis segar ikan danau yang terkenal lezat ini merebak.

Aku diam saja sambil menggigit bibir. Heran, dari tadi pelambungku dari jeratan sandal jepit merah belum juga bergoyang sedikit pun. Hanya ikan supareh yang masih rajin merubungi kakiku. Apa boleh buat, kalau aku kalah memancing, aku harus mentraktirnya dengan pensi, kerang kecil khas Danau Maninjau. Pensi rebus yang dibungkus daun pisang dan disirami kuah bumbu mampu membuat lidah siapa saja terpelintir keenakan.

"Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, kamu masih tertarik jadi seperti Habibie?" tanya Randai sambil menepuk-nepuk betisnya yang dirubung agas.

Ini dia. Aku tahu betul pertanyaan ini pasti akan muncul juga dari mulut Randai. Langsung menikam perasaanku. Aku menjawab pendek denagn nada yang naik beberapa oktaf, "Tentulah. Aden akan segera kuliah. Kalau aden berusaha, ya bisa."

Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar.

Aku merasakan pangkal gerahamku beradu kuat. Ujung joran aku genggam erat-erat. Tiba-tiba aku payah semangat untuk terus memancing hari ini. Mataku memandang jauh ke awan-awan yang menggantung rendah di pinggang bukit yang melingkari danau. Pikiranku melayang kembali ketika aku dan teman-temanku di PM dulu suka melihat awan dan punya impian tinggi. Waktu itu impianku adalah menjadi seperti Habibie dan belajar sampai ke Amerika. Tapi lihatlah aku hari ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi menggapai cita-citaku. Ketenangan jiwaku pulang kampung akhirnya harus rusak oleh celoteh Randai dan awan-awan yang menggantung itu.

Dengan gampang aku bertanya pada diriku: bagaimana cara mengejar impianku ini? Yang menjawab hanya bunyi kecipak air danau yang dibelah oleh biduk-biduk langsing para nelayan yang sedang mencari rinuak dan bada, dua jenis ikan kecil yang hanya ada di Danau Maninjau, dan teriakan Randai yang lagi-lagi mendapat ikan yang entah berapa ekor. Kini dia kembali mendekat ke dudukku. Siap melontarkan pertanyaan baru.

"Hmm, kuliah di mana setelah pesantren? Emangnya kamu bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?" Pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau. Seperti merendahkan. Rasanya telak menusuk harga diriku. Darahku pelan-pelan terasa naik ke ubun-ubun. Kawanan kera bersorak dari bukit-bukit di sekeliling danau. Suara koor mereka mereka yang magis seperti dibawa angin, melantun-lantun ke segala penjuru danau, seperti ikut menanyai diriku.

My StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang