We met for a reason, either you're a blessing or a lesson.
.
.
.
BUTIRAN - BUTIRAN salju berjatuhan menghiasi indahnya kota Tokyo. Musim dingin telah tiba, pertanda bahwa saat ini masyarakat Tokyo harus menggunakan sweater yang cukup tebal untuk membalut tubuh mereka agar tetap merasa hangat.
Suara lalu lintas, klakson mobil, kayuhan sepeda, orang menelfon menghiasi malam nya kota Tokyo. Malam ini angin bertiup lebih kencang dari biasa nya, membuat gadis ber sweater hitam itu mempercepat langkahnya. Ia menggigil karena rasa dingin yang perlahan-lahan masuk ke dalam baju hangatnya. Sesekali gadis itu mengretakkan gigi - giginya.
Gadis itu bergegas memasukkan kakinya ke pintu lift di apartemen bergaya Mediterania itu. Sangking tergesa - gesanya gadis itu tidak sadar bahwa ia telah menabrak dada bidang seseorang.
Hangat, itulah perasaan yang sedang Riana rasakan. Tapi rasa hangat itu tidak bertahan lama, saat tangan besar dan kokoh itu mendorong Riana kesamping.
Riana meringis pelan, lalu menatap badan tegap yang tadi mendorong nya, "Gak pake dorong - dorong berapa ya mas?" merasa tidak disahutin gadis itu berguman cukup keras, "Dasar cowo aneh."
Badan tegap itu membalikkan badan nya lalu menatap Riana malas, "Dasar cewek cabul." Setelah mengucapkan beberapa kata yang bisa membuat Riana terdiam, cowok itu melangkah kan kakinya keluar lift dengan menyinggung senyuman kemenangan.
Hello, apa dia bilang, gue cewek cabul? Gue, Abriana Pratista seorang cabul? Ew to the you, EW. Gak level kali.
Riana memutar bola matanya kesal, pasalnya harga dirinya sebagai seorang wanita di injak - injak oleh seorang cowo yang nggak jelas asal nya dari mana.
Setelah beradu cukup lama dengan batinnya, Riana menyadari sesuatu yang hilang. Gadis itu memejamkan matanya geram,
"DASAR COWO ANEH."
***
Riana membaringkan tubuhnya diranjang berwarna putih, rasa penat di kepalanya direndam kan perlahan - lahan. Hari ini banyak perkerjaan yang harus ia selesaikan, apalagi kalau bukan deadline buku-nya. Riana adalah seorang penulis dan asissten webtoon yang cukup terkenal dengan karya - karya nya yang sudah tidak asing di dengar. Gadis berusia 25 tahun itu sedang merevisi novel terbarunya yang akan diterbitkan minggu depan. Hal itu cukup membuat Riana kekurangan tidur dan terus menyesap kafein, bagaikan candu.
Riana melangkahkan kakinya kearah komputernya, ia meletakkan bokongnya dikursi sambil mengetik kalimat yang sedang ia revisi. Riana mengambil gelas berisi coklat panas lalu menyerupnya perlahan - lahan. Hanya dengan coklat panas ini, Riana bisa merasa tenang dan hangat. Apalagi di sesuaikan dengan dingin nya cuaca, cukup merasakannya membuat Riana menarik nafas dalam - dalam, menikmatinya.
Riana membuka email dari Cella, editor tempatnya bekerja sekaligus sahabat karibnya. Tetapi, saat melihat - lihat mata Riana terhenti saat ia melihat email tanpa nama yang mengiriminya pesan.
Riana menyeritkan keningnya bingung, lalu membuka email tanpa nama itu.
untuk Abriana Pratitsta.
Saya sangat menyukai karya kamu. Apalagi beberapa kutipan kamu di bab XI di halaman 126."Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan."
ibaratkan kopi itu seperti masa lalu, sepintar apa-pun kita menghilangkan rasa terhadap masa lalu, tapi kalo hati kita tidak bergeming, kita tidak bisa menghilangkan rasa pahit itu dari masa lalu.
kerlap-kerlip.
Riana kembali menyerup coklat nya hingga tandas. Ia kembali memikirkan kata-kata penggemarnya yang terus saja terlintas dipikirannya.
kenangan masa lalu,
Entah mengapa, Riana merasa bahwa orang itu cukup mengerti perasaan nya. Tiba - tiba bayangan seminggu lalu, tentang sosok cowok yang ia tabrak kembali bernari - nari di kepalanya.
Akhir - akhir ini Riana sering memikirkn sosok cowok bertubuh tegap itu, ada rasa penasaran yang cukup menjanggal tentang sosok itu.
***
Jangan lupa untuk vote dan comment🍫
A/n : Mungkin kalau saya dapat ide nanti saya usahain langsung saya tulis dan publish.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories in winter
ChickLitPada musim dingin kala itu, butiran - butiran salju berterbangan menghiasi indahnya kota Tokyo. Pertemuan kita dimulai di awal Desember di musim dingin. Awalnya aku kira pertemuan kita hanyalah pertemuan sesaat yang tidak ada artinya. Tetapi semua...