Ratih, begitu gadis berusia 17 tahun itu dipanggil. Sebelumnya gue tidak pernah berfikir untuk dekat atau mendekatkan diri dengan siapapun, selain orang yang memang sudah gue kenal.
Sampai suatu hari, takdir membawa gue untuk bertemu dengan gadis berekspresi sendu itu.
Hampir tiga tahun, gue bergabung dengan lembaga pendidikan ini untuk membantu dan menyumbangkan tenaga serta ilmu yang gue miliki.
Sampai salah seorang teman, meminta gue untuk belajar lebih peka dan memberikan kesempatan pada gadis itu, untuk kembali bersekolah.
Dengan alasan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi, gadis itu terpaksa berhenti sekolah hanya sampai jenjang SMP.
Dia anak bungsu dari 8 bersaudara, beberapa diantara saudaranya ada yang sudah meninggal dunia, dan yang lainnya masih bisa bernafas sampai saat ini.
Kedua orangtuanya juga sudah sangat tua, kisaran usia 70 tahun, dan baru-baru ini sang ayah menjalani operasi katarak yang diadakan oleh sebuah yayasan masyarakat secara gratis, tapi naas, mungkin karena penyakit katarak yang diderita sudah sangat parah, membuat operasi yang dijalani pun tidak bisa mengembalikan penglihatannya.
Sementara sang ibu, dia bekerja serabutan diusianya yang sudah renta. Dengan alasan memperjuangkan keinginan sang anak untuk sekolah, sekedar untuk memberikan uang jajan untuk anaknya, dia bahkan rela menggarap beberapa bidang sawah sampai sore, hanya dengan upah Rp. 40.000 per kotakan sawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIH [True Story]
Short StoryBersyukur untuk apapun yang kamu miliki hari ini.