the snake

2.3K 258 48
                                    

The Snake

BTS fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

Minyoon

.

.

.

Aku belum lama mengenalnya. Baru sejak aku pindah rumah ke sisian kota yang agak jauh dari keramaian. Dua bulan lalu. Rumah kami berbatas sebuah danau kecil dan lingkaran ilalang juga rerumputan liar. Dari belakang rumahku, aku bisa melihat rumahnya kokoh berdiri. Terkadang aku mengitari danau itu dengan berjalan kaki, terkadang juga aku menggunakan perahu yang selalu teronggok di tepian danau itu untuk pergi ke rumahnya di seberang sana. Aku lebih sering memilih yang kedua, mendayung untuk menemuinya. Menemui dia yang sudah kuanggap seperti kekasihku sendiri.

Kami memang tak bernah bertukar kata cinta. Dia bahkan tak banyak bicara. Dia tipe yang pendiam, hanya senyum sedikit ketika ada yang membuatnya senang; atau ketika ada yang lucu. Tapi walau begitu dia menerimaku dengan baik. Dia mau mengenal aku yang tetangga baru di lingkup danau itu. Dia mau duduk bersamaku menyesap teh hangat yang dia suguhkan. Dia mau bercengkrama denganku meski tak banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Yang terpenting, dia tak menolak ketika aku membisikkan kata-kata rinduku di telinganya.

Hari itu langit mendung. Seperti biasa. Meski bukan musim penghujan, daerah tempat tinggalku yang baru ini memang hampir selalu mendung. Julukannya saja kota mendung. Udaranya lembab, ditambah lagi karena rumahku begitu dekat dengan danau, senyap dingin itu makin terasa. Aku mendayung, menembus kelambu kabut tipis yang sedikit menghalangi penglihatan. Sesekali aku melirik ke kanan dan kiri, melihat bagaimana ilalang-ilalang itu jika tertutup kabut akan membentuk bayangan garis-garis panjang vertikal yang tak beraturan. Sepi, tapi inilah kota mendung itu. Memang ditujukan untuk orang-orang yang bosan dengan hiruk-pikik metropolitan.

Sampai di tepian danau, aku mengikat perahuku pada titian kayu. Kusebut itu dermaga, tempat aku berlabuh. Aku melangkahkan kakiku menginjak tanah gembur yang sedikit basah. Kurapatkan jaketku karena dinginnya terasa menusuk; dingin yang tertiup angin. Walau lemah, tapi hembus itu cukup membuatku merinding.

Kulihat jendela rumahnya di lantai dua sana masih nampak terang karena lampu yang kekuningan. Mungkin karena mendung juga jadi dia perlu terus menyalakan lampunya. Kuturunkan arah pandangku pada pintunya yang besar kecokelatan. Tertutup, dan ketika kupijaki tiga anak tangga untuk masuk ke beranda rumahnya aku mendengar bunyi derit pintu yang dibuka. Lalu dia muncul dengan seulas seyumnya yang menawan.

"Bagaimana kau tahu aku akan datang?" tanyaku.

"Aku melihat ada sebuah perahu yang melaju sendiri ke arah rumahku," candanya. Aku tergelak.

Lalu dia mempersilakan aku masuk. Kutanggalkan sepatuku yang kotor di mulut pintu. Hanya bersisa jari-jari kakiku yang telanjang. Tapi kemudian dia berikan padaku sepasang sandal rumah untuk membungkus kakiku. Supaya aku tidak kedinginan, katanya. Tapi dia memang begitu. Tiap kali aku bertandang, aku selalu diberinya sandal. Berlainan dengan dirinya yang nampak santai saja meski tak mengenakan alas yang membungkus kakinya yang seputih kertas itu.

Dia berjalan ke arah dapur untuk menuang teh hangat. Aku tahu kebiasaannya yang satu itu karena tak pernah terlewatkan secangkir teh dia suguhkan padaku tiap aku masuk ke rumahnya. Kususul langkahnya yang anggun, lantas aku menangkapnya dalam sebuah pelukan. Dia sedikit tertawa geli ketika kukecupi lehernya yang mulus.

Aku suka menyentuhnya. Aku suka mengecupnya. Bukan karena birahi, tapi memang lelaki menyalurkan perasaannya lewat sentuhan. Dan beginilah aku. Kadangkala akan kucium ranum bibirnya bila aku benar-benar merindu.

Lalala [minyoon ff]Where stories live. Discover now