14. Pergolakan (Stefan)

19 4 0
                                    

Aku kembali meruntuki apa yang tengah terjadi. Mengingat keputusan Stefi untuk pergi dari sisiku. Membuat diriku semakin mengutuki diriku sendiri. Juga semua hal yang terjadi.

Kenapa juga dengan diriku, aku seperti tidak bisa menerima keadaan sehingga. Aku kembali menyakiti dirinya. Karena iya, aku sungguh sadar bahkan sangat sadar dengan apa yang aku lakukan. Semuanya hanya akan menyakiti Stefi lebih lagi, dalam pertengkaran kami. Kalau memang mungkin stefi terus disampingku.

Sampai aku sempat berpikir mungkin ini memang klimaks dari ceritaku dengan Stefi. Disaat dia akan memutuskan meninggalkan diriku dengan penyakitku yang suka meninggalkan lebam biru di tubuhnya. Hal itu membuatku semakin meyakinkan diri, barangkali memang itu jalan terbaik bagi Stefi untuk bahagia. Dia tak seharusnya tetap berada bersama pria yang selalu menyakitinya, dalam artian fisik yang sesungguhnya.

Karena sejujurnya dalam hatiku pula aku menyadari. Sudah terlalu lama Stefi berusaha menyimpan segalanya, dan aku merasa benar-benar menjadi laki-laki egois. Bila aku terus memaksa Stefi tetap bersamaku, sedangkan aku selalu menyakiti dirinya.

Meskipun sebenarnya, aku masih belum bisa merelakannya. Karena aku masih sangat sayang dan berharap dia masih mau bertahan sedikit saja. Tetapi jika aku pikir lagi. Apakah aku masih pantas mengharapkan hal itu? Sedangkan Stefi selalu tersakiti dalam wujud sakit yang selalu kasat mata kalau terus bersamaku. Aku memang selayaknya pantas ditinggalknnya. Pikirku dalam-dalam.

Sampai aku melihat ponselku berdering. Lamunanku mengenai arti keberadaan Stefi buyar. Tetgantikan sebuah harapan kalau dia masih membuka kesempatan itu lagi. Walaupun sejujurnya aku tak lagi ingin banyak berharap kalau itu adalah tanda dari Stefi mengirim kabar. Mengingat sudah betapa tebal mukaku masih sanggup memintanya bertahan sedikit untuk diriku. Aku merasa benar-benar menjadi orang bodoh jika terus berdoa seperti itu. Maka aku memutuskan dengan asal saja aku membuka ponselku dengan agak malas. Bosan terjebak harapan yang tak menentu arahnya ini.

Tetapi sungguh, kalau aku dibuatnya sulit untuk percaya. Ketika tanganku sudah menggeser pengunci ponselku. Mataku langsung terbelalak dibuatnya kehabisan rangkaian kata-kata. Jika ada satu pesan yang masuk untukku itu, sungguh-sungguh berasal dari Stefi! Astaga, apa aku tidak sedang bermimpi? Kalau memang iya tolong jangan hentikan aku. Batinku.

Lalu tak sabar rasanya menunggu, samapai segera aku membuka pesannya dan membaca pesan yang dikirm Stefi untukku. Meskipun mendadak aku dibuatnya agak merasa lemas tidak percaya. Stefiku akan kembali ke pada orang tuanya begitu pekerjaannya selwsai. Begitu aku usai membaca pesan yang dikirim olehnya. Bahwa Stefi kembali ingin mempertanyakan apa yang sebenarnya kami cari dalam pernikahan kami. Sebelum dia memikirkan lagi, apa yang seharusnya kami perjuangkan dalam mahligai rumah tangga ini.

Sungguh aku dibuatnya sulit percaya, jika serenta itukah keadaan rumah tangga kami? Sampai sekali lagi kami harus mempertanyakan akan bagaimana selanjutnya kami akan melangkah. Apakah itu tetap bersama atau justru memilih berpisah menjalankan panggilan hidup masing-masing.

Rasanya permintaannya untuk hal ini sungguh berat. Karena aku sendiri merasa belum sanggup, barang kali sekedar membayangkan kata perpisahan darinya. Aku yang tak sanggup mengimajinasikan keadaan itu.

Membawa diriku menimbang-nimbang secara pasti keputusan yang akan kubuat. Sampai pada titik jenuhku, maka aku memutuskan menemuinya. Dengan harapan dirinya akan membuka hatinya lagi untuk diriku. Semoga......

Filosofi Pasangan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang