Di khianati bukanlah hal baru bagiku. Rasanya sudah sering sekali aku merasakannya. Bukan hanya dalam dunia sekolah, keluarga, dan bahkan masalah persahabatan sekalipun. Jadi mustahil aku akan sakit hati mendengar ucapan orang-orang yang mungkin bagiku penting namun aku untuk mereka bukanlah hal penting. Lelah memang, tapi inilah hidup setidaknya aku harus menjalaninya.
Tubuhku mendingin dengan sendirinya. Ucapan Hito barusan seperti menampar kedua pipiku. Seharusnya aku tidak sakit hati, bukankah hal ini sudah biasa ku rasakan? Dalam hal pertemanan, atau hubungan special sekalipun, pasti ada asas manfaatnya kan? Aku memang menyadari semua yang terjadi, tapi aku mencoba untuk menutup kedua telingaku dan mataku. Mungkin dulu, aku belum siap menerima kenyataan ini.
“Kamu kenapa, Lic?” tanya Dinda polos
Hey, masih bisakah kau menanyakan hal sepolos itu? Aku kenapa? Serasanya aku hanya memandangnya kesal. Ya, bisa di bilang aku memang kurang sehat, tapi apa pedulinya? Apa dia takut kehilangan orang yang hanya akan membantu pekerjaannya? Berhentilah! Aku benar-benar ingin berhenti.
Tapi aku tetaplah aku. Aku hanya orang lemah yang tidak ingin semuanya hancur sekarang juga. Perpisahan seperti ini bukanlah yang ku mau. Setahun lagi. Kau harus bertahan setahun lagi, hingga puncak kejayaanmu tiba, dan kau meninggalkan mereka, Lic!
“Bukan kenapa-kenapa. Dia hanya sedang merasa tak enak badan,” jawab Hito seolah ia adalah aku. Tangannya sudah memukul pundakku. Aku menatapnya kesal. Benar-benar kesal. Jika bukan karena dia, mungkin sekarang aku sudah siap memuntahkan diri untuk meminta keluar dari kelompok ini. “Lic, kantin yuk,” ujarnya menarik tanganku lembut. Aku tak menolak dan hanya berjalan melangkah mendekatinya.
“Berhentilah bersikap seperti anak manja! Jangan membuatku merasa bersalah,” ucapnya menyadari bahwa suasana tidak seperti biasanya. Sepertinya dia bingung dengan perubahan sikapku yang seperti ini. “Ah, seharusnya aku tidak mengatakan hal itu kepadamu. Asas Manfaat yang kau sebut biasa kau rasakan,”
“Sudahlah, Toy. Hidup memang begini adanya. Aku hanya bingung, harus menanggapi mereka seperti apa? Bersikap kuat, tapi ternyata lemah. Rasanya aku ingin nangis saat mendengar semua yang terjadi, tapi bukan di sekolah pastinya,”
Bodoh! Aku mengumpat diriku sendiri. Air bening itu tetap saja mengalir. Bukan di sekolahkan? Tapi kenapa sekarang aku menangis? Senyuman tolol ku terasa beku. Dan Hito hanya menatapku kasihan.
“Berhenti mengasihaniku, sobat. Aku tahu, aku bukan orang yang pantas kau kasihani,”
“Siapa yang mengasihanimu? Kau memang bukan orang yang pantas di kasihani. Karena semua orang tahu, bahwa kau adalah orang hebat. Kau kuat. Kau, devil,” katanya sambil menarikku dalam pelukannya. Aku terdiam sesaat. Aku benci keadaan ini. Kenapa dia memperlakukanku seperti ini? Apa dia ingin melihatku menanngis? “Menangislah, selagi kau masih punya pundak ini. Lagipula, bukan haram hukumnya seorang perempuan menangis sekalipun sikapnya macho sepertimu.”
Aku memukul dadanya kesal. Di saat seperti ini, masih saja mengejekku. Tapi sesaat dia semakin mempererat pelukkannya itu, membuatku benar-benar semakin rapuh. Entah sejak kapan pastinya aku sendiripun tidak menyadarinya. Aku sudah menangis, merengek seperti anak kecil yang tidak di beri permen.
Sejam, tidak tepatnya berjam-jam. Kami membolos. Kami menghabiskan waktu di taman belakang sekolah. Kami hanya terdiam menatap langit yang sepertinya enggan untuk bersinar.
“Kau belum mengambil keputusan gegabah itu kan?” tanya Hito menatapku intens seperti berharap sesuatu yang lainnya
“Aku belum memikirkannya, bahkan sangat sulit untuk memikirkannya. Aku masih ingin bersama kalian. Setahun lagi, setidaknya aku pasti bisa,” jawabku jujur. Namun aku merasa kejujuranku seperti hanya sebuah harapan palsu. Benarkah aku bisa bertahan untuk setahun kemudian? Aku bukan orang yang pandai bertahan menghadapi cobaan semacam itu.
“Aku selalu ada di sampingmu, Lic. Sahabat tak akan mungkin meninggalkan sahabatnya,” ucap Hito seolah membaca pikiranku. “Alicia kan, devil, masa hanya karena asas manfaat menyerah? Bukannya di kamusmu, menyerah sama saja artinya dengan mati?”
“Entahlah, Mas. Aku hanya berharap waktu bisa ku putar. Aku ingin mendapatkan teman yang benar-benar teman,”
“Jika waktu berputar ke tempat semula, dan kau memilih takdir lain, itu artinya kita tak bersahabat. Dan aku belum sempat membayangkan hal itu,”
Benar. Aku juga belum membayangkannya. Mustahil aku membayangkan takdir seperti itu. Dan jika waktu ku putar ke kehidupan awal sebelum aku mengenal mereka, apa mungkin aku dan Hito bersahabat baik seperti ini?
Aku telah memilih takdir ini, dan seharusnya aku menikmatinya. Takdirku yang sebenarnya. Pilihan hidupku dari awal aku melangkah. Aku menatap Hito senang. Setidaknya aku masih punya dia. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka. Sahabat yang selalu memberikan pundaknya saat aku akan terjatuh.
Seaurora Bluish
14-04-2014