3. Pindah

9.1K 431 32
                                    

[Tiga puluh menit sebelumnya.
Kamar Mawar nomor 10]


"Nah, itu ayah kalian, kan?" tanya si dokter sambil menunjuk seorang pria yang terlelap. "Pergilah!" seru si dokter, lalu meninggalkan kakak beradik itu bersama ayah mereka yang belum sadarkan diri.

Alina kembali mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu di sana. Alcina mengangguk dan membiarkan sang kakak keluar.

"Papa, Kakak akan mengelualkan kita. Cina tahu Papa pacti juga tidak cuka di cini, kan. Dillon juga akan membantu Kakak, dia kan cangat cepat kalau bawa mobil. Cina juga pengen jadi pembalap cepelti Dillon hihihi." Alcina berbisik tepat di telinga Arya.

Alina sempat tersenyum melihat kelakuan adiknya. Ia membuka sedikit pintu ruang rawat Arya lalu mengawasi pergerakan di luar. Ada dua polisi yang berjaga. Kalau ia keluar sekarang, mereka akan menanyainya. Ia butuh pengalihan.

"Sina, kemarilah," kata Alina.

Alcina mendekat, kemudian Alina membisikkan sesuatu. Detik berikutnya sang adik mengangguk, lantas membuka pintu kamar rawat. Alina sembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka itu, mendengar perbincangan sang adik dengan si polisi.

"Kenapa, Nak?" tanya si polisi.

"Loh, pak polici cuma cendili? Temannya mana?" tanya Alcina.

"Oh, pak polisi yang satu lagi sedang membantu pasien lain. Ada kecelakaan, dan pasiennya banyak. Kalau mau sesuatu, bilang sama Bapak saja."

"Oh, aku mau makan. Lapal sekali."

Pak polisi sedikit ragu meninggalkan kamar rawat tanpa penjagaan.

"Huwaa... Aku cangat lapal tapi pak polici tidak mau belikan makanan..." Alcina menangis sejadinya, meraung-raung.

Pak polisi tak punya pilihan lain. "Baiklah, ayo." Ia kemudian menggandeng tangan Alcina dan berjalan di koridor.

Alina memakai kesempatan itu untuk lari dari pengawasan. Ia mulai memeriksa setiap kamar dari ujung koridor, lalu membuka pintu, untuk melihat pemilik ruangan.

Mulai dari ruang Mawar nomor 09 lalu ke sebelahnya lagi, dan lagi.

Ruang Mawar nomor 08.
.
.
.

Ruang Mawar nomor 07.
.
.
.

Ruang Mawar nomor 05.
.


.

.

Ruang Mawar nomor 1.

Tidak ada mamanya di setiap kamar yang saling berhadapan itu. Ia bingung. Jika Papanya dirawat di sana, kenapa mamanya dipisah? Bukankah sama-sama terluka?

Alina kemudian bersembunyi di dekat seorang bapak-bapak badan besar yang tertidur dengan posisi duduk, di bangku tunggu depan kamar Mawar nomor 1saat mendengar dua dokter mendekat. Ia sedikit mencuri dengar perbincangan keduanya.

"Banyak siswa kelas XI yang tewas terbakar..."

"Bawa mereka langsung ke kamar mayat...."

Lily  [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang