Aku selalu bermimpi hal sederhana.
Bisa mengajaknya bicara tanpa ada seseorang yang selalu ada di sisi. Sederhana, bukan? Yang jelas mimpiku ini nggak neko-neko sampai meminta pacaran dengannya. Nggak. Tentu sebelum minta itu kepada Tuhan, aku sudah tahu diri. Kalau seorang Naya, nggak mungkin bisa berada di samping Laut selamanya.
Dia Laut. Laudito Al-Hakim.
Sebenarnya, tak ada yang luar biasa dari cowok itu. Semua begitu standar sebelum mengenalnya.
Laut bukan cowok super pintar di sekolah.
Bukan cowok super nakal yang dijuluki pentolan sekolah.
Bukan juga cowok dengan cap ‘tiap tikungan gang ada cewek’.
Laut tidak tampan. Biasa. Hanya saja, dia menang pada kulitnya yang kuning langsat.
Tidak begitu pintar, kecuali pelajaran tertentu seperti kimia.
Nggak begitu friendly.
Bukan cowok yang banyak dikagumi adik kelas.
Semua standar, kubilang.
Tapi itu dulu, waktu aku kelas 10 SMA. Laut yang super biasa saja tiba-tiba jadi berubah begitu aku menyukainya waktu kelas 10 semester 2 menjelang terima rapor. Aku jadi jengkel pada seseorang yang memberi quote ‘cinta itu buta’. Mungkin bukan mataku yang buta, tapi hatiku juga.
Bukan, bukan.
Laut memang berubah.
Terlebih sejak dia punya pacar saat kelas 11. Temannya sendiri. Aku masih ingat namanya Pramudya Resti Rahajeng—atau dipanggil Resti. Cantik sekali dan keturunan keraton apa itu—aku nggak begitu paham. Rambut tebal hitamnya sangat kontras oleh kulitnya yang kuning langsat. Senyumnya juga manis, dan kalau tertawa pasti gingsulnya kelihatan di sisi kiri.
Aku sempat heran, kok bisa Laut punya pacar padahal cowok tinggi itu nggak begitu populer di sekolah. Cuma, yah ... dia ikut ekskul futsal.
Lama-lama aku perhatikan dari jauh, Laut banyak berubah setelah pacaran sama Resti.
Seperti sekarang. Laut yang serba biasa, jadi luar biasa di hadapanku sekarang. Mata cokelat gelapnya begitu hangat ketika menatapku. Tak ada senyum. Hanya matanya yang seolah bersikap ramah.
“Ada keperluan apa?” Laut bersuara. Mungkin aneh kenapa kami nggak bicara dari tadi, dan aku cuma diam di hadapannya.
Aku memang tidak mengenalnya—maksudnya, kami belum berkenalan setelah hampir tiga tahun ada di sekolah yang sama. Dan salahku malah ngejogrok di depan ruang olahraga tanpa cari siapapun. Sialnya, aku ketahuan Laut!
Berkelit, aku mencari-cari alasan.
“Eung...” Ayo, Nay! Pikir! “Apa ya...?”
“Nggak ada?”
Duh! Saat mataku dan matanya bertemu, refleks, kakiku jadi kaku. Jantungku jadi kebat-kebit seperti habis marathon. Asem! Kenapa nggak dari dulu aja sih aku ngomong ke Laut?
Setelah mengambil napas panjang, dan tahu kalau Laut masih menungguku bicara, aku menyiapkan nyali.
Oke, saatnya, Nay.
“Kamu ... Laut?”
Laut mengerutkan kening. Dan wajah kuning langsat serta alisnya begitu kontras. Aku heran kenapa dua tahun bisa merubah semuanya. Laut yang biasa, jadi super luar biasa saat aku jatuh cinta padanya.
“Iya, as you can see.” Ia melirik badge name di dada kanannya.
LAUDITO AL-HAKIM
KAMU SEDANG MEMBACA
A Boy Who Can't Love Me Back
Short StoryCerita Pendek | Selesai Ketika dia yang tidak tahu, bahwa aku telah memberikannya hatiku. Dipublikasikan: 25 November 2017