November 17, 2017. Food Court, ASIA PLAZA.
Suasana Food Court ramai, seperti biasanya. Orang-orang berlalu lalang disana, beberapa dari mereka duduk berkelompok sambil bercerita. Begitu pula dengan Adam dan kawan-kawannya. Mereka duduk di salah satu meja dengan santai, obrolan remaja SMA mengalir diiringi tawa.
"Oi Adam, tuh lihat cewek itu!" Seru salah seorang temannya, jarinya menunjuk seorang gadis berseragam penjas SMA layaknya seorang siswi yang sedang membolos jam perlajaran. Gadis itu sedang duduk diam. Beberapa meja jauhnya dari meja Adam.
"Memangnya, jam segini murid SMA IT Al sudah bubar ya? Bukannya swasta itu fullday?"
"Ah, paling lagi mabal. Dari penampilan, kelihatan banget tukang bolosnya. Seragamnya saja belum dilepas. Ya nggak, Dam?"
Alih-alih menjawab, Adam malah memerhatikan gadis itu. Matanya membelalak, selintas dalam pikirannya, Adam seperti pernah bertemu—ah tidak, 'bertemu' terkesan singkat. Lebih tepatnya, Adam pernah memiliki momen bersamanya. Dia ingat gadis itu. Gadis yang dulu satu SD dengannya, si Idiot yang pernah menyukainya.
Apa kabar? Senyum tersungging di bibirnya. Refleks, Adam beranjak dari bangkunya.
"Ah, permisi dulu gue." Sahut Adam. Dia pergi begitu saja, meninggalkan teman-temannya yang kebingungan. Setiap langkah mendekati gadis itu, Adam teringat kejadian-kejadian konyol dulu, betapa konyol gadis itu pernah menyatakan perasaannya, tidak bisa mengerjakan soal pembagian, nilai-nilainya yang hancur, dan sekarang, Adam mendapatkannya sedang membolos.
"Hey," Adam menyapanya, ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengannya. "Bolos lagi?" tanya Adam bahkan sebelum sapaannya sempat dijawab.
"Oh, hai." Gadis itu menatapnya, mencari informasi dari perawakan Adam, lima detik. Sampai akhirnya berseru, "Adam!"
"Masih lola juga otak lo?" Adam terkekeh, "Gak berubah ya,"
Gadis itu tertawa pelan, "Yah, beginilah adanya, seorang Ann akan selalu menjadi Ann. Rupanya, kamu yang banyak berubah." Melihat Adam yang kurusan tentunya hal yang janggal. "Gimana kabarmu?"
"Baik, dirimu sendiri?" tutur Adam.
"Baik." Jawabnya, "ah iya, sedang apa di sini?"
"Yah, jalan-jalan biasa bareng temen. Dirimu gimana? Bolos ya?" Adam balik bertanya, "jam seginikan SMA Al Fullday School belum bubaran."
"Mm, dibilang bolos sih boleh. Tapi inikan bolosnya elit! Malah, direkomendasikan oleh sekolah," kata Ann.
"Emang ada yang begitu?" Adam tertawa garing.
"Ya adalah, diperbolehkan untuk orang-orang kasta satu," canda Ann. "Nggak gitu juga sih, sekedar informasi, murid-murid yang mengabdi mengikuti lomba boleh belajar setengah hari. Karena itu, sekarang kami sedang mempersiapkan diri, perbekalan untuk lomba nanti."
Pffth, "Kau ikut lomba?" Adam memastikan, "lomba apa?"
"Kompetisi Fisika."
Detak jantung Adam seolah tak terasa lagi, sejak kapan? Karena yang ia tau selama ini, Ann tidak mungkin mengikuti lomba apapun, Ann bahkan tidak bisa mengerjakan soal bagi kurung. Ataukah ini hanya kegilaan Ann yang biasa dilakukannya? Benar, Ann-kan memang suka mencoba hal menantang.
"Oh?" tapi tetap saja, lidah Adam tak bisa banyak berkata, "sepertinya cukup menantang ya."
"Pastinya, tapi guru yang menyarankan pun bilang kalau aku tidak perlu khawatir." Ucap Ann dengan teguh.
"Oh, gurumu toh yang menyarankan untuk ikut lomba?" Karena tidak mungkinkan? Guru menyuruh orang bedebah untuk mengikuti lomba. "Kamu anak emas guru fisika ya?"
Ann tertawa mendengarnya, "Aku justru sering mendebat guru fisika di sekolah."
"Wah, padahal konek aja nggak sama pelajarannya, kok bisa ya mendebat guru?" Adam tertawa gentir.
"Aku juga menyesal sudah mendebat guru, tapi masa sih gurunya bilang kalau mencari momen gaya itu harus pada sudut tegak lurus!? Padahal kan dari rumus awalnya pun memang Tau sama dengan gaya dikali jarak dot sin theta! Dan itu adalah basis paling basis yang ada di bab kesetimbangan benda tegar. Pokokny..." melihat ekspresi Adam, Ann berhenti mendumel, "Aduh, maaf. Jadi keterusan. Begitulah kira-kira."
Adam menghela nafas, lalu tersenyum. "Tidak apa, anggap saja bertukar ilmu. Mm.." Dia melirik jam tangannya, "phew! Sudah dulu ya, senang berjumpa denganmu."
Mereka bangkit dari duduknya, saling berjabat tangan dan berpisah. Namun, meski raga mereka sudah berjauhan, pertemuan singkat tadi membuat Adam termenung. Ia tidak mengenal sosok yang baru saja ia ajak bicara. Seperti bukan Ann, dari caranya menyapa, dari caranya berbicara, bahkan dari caranya menjabat tangan. Tapi yang paling terasa adalah bobot bicaranya, Ann yang Adam tau tidak mungkin bicara tentang logika fisika.
"ARGH!!" penat memikirkan orang, Adam pun menyerah. Peduli amat.
Selama ini, apa yang telah kuperbuat? Dalam perjalanan pulang, Adam berdiam diri, apa yang telah kupertaruhkan? Karena selama ini, Adam tidak memfokuskan diri pada bidang apapun, kenapa si tengil itu bisa berubah banyak? Sedangkan Adam, masih berdiam diri di titik awal, belum mengusahakan perpindahan apapun.
Ya, apa yang selama ini Adam lakukan? Ketika si bodoh saja bisa melesat begitu, kenapa Adam tidak bisa melebihi akselerasinya? Padahal, dari awal, Adam terkenal lebih pintar darinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Adamann
Short StoryBacalah pertemuan singkat kami, untuk mengungkap empat tahun perpisahan itu. Catatan: Cerita ini hanya fiksi semata. Apabila ada kesamaan nama atau peristiwa merupakan sebuah ketidak sengajaan.