Pagi beranjak di hari cerah ini. Aku berangkat sekolah seperti biasanya. Lorong sekolah sudah lumayan ramai saat aku tiba. Aku melangkah gontai masih merasa sangat mengantuk. Aku memaksakan kakiku untuk terus melangkah menuju kelasku.
“Pagi semua,” sapaku pada keempat sahabatku yang lain yang sudah berkumpul di meja Shinta. Mereka hanya membalas sapaanku dengan senyum. Aku langsung meletakkan tasku di atas meja lalu ikut bergabung bersama mereka untuk bahasan apa pun yang sedang mereka obrolkan.
Tak lama kemudian bel berbunyi dan murid-murid bergegas kembali ke tempatnya masing-masing. Guru Biologi kami datang dengan diikuti dua orang murid di belakangnya. Aku memerhatikan mereka dengan saksama.
Yang satu murid perempuan dengan pandangan mata jail seperti Indri dan rambut sedikit pirang yang dikucir rapi ke belakang. Poninya dibiarkan menutupi pandangannya. Dia menyunggingkan senyum manisnya di depan kelas.
Mataku beralih pada seorang anak laki-laki yang berdiri di sampingnya dengan kaku. Kacamata dengan frame abu-abu membingkai wajahnya. Tatapan matanya dingin, mungkin lebih dingin dari es dalam kulkas rumahku. Rambutnya sedikit pirang seperti gadis di sebelahnya dan dipangkas pendek. Jaket kulit hitamnya disampirkan ke lengannya. Tak ada senyum sama sekali dari wajahnya. Dia tampan, sekaligus terlihat misterius.
Aku memerhatikan mereka berdua sekali lagi dan baru kusadari bahwa ada kemiripan di antara mereka. Anak kembar?
“Anak-anak, kita kedatangan murid baru hari ini. Sebenarnya sangat terlambat untuk perpindahan murid di tahun ajaran akhir seperti ini, tapi saya rasa belum amat terlambat untuk mereka bergabung di antara kita. Silahkan perkenalkan diri kalian.” Guru itu berjalan ke tempat duduknya dan mengeluarkan barang-barangnya dari dalam tas jinjingnya.
“Hai, semua. Nama gue Arini Rastafaro, kalian bisa panggil gue Arin.” Dia tersenyum menatap kami semua dengan mata berbinar.
“Gue Aditya Rastafaro, kalian bisa panggil gue Adit,” ucap cowok di sampingnya datar tanpa senyuman alih-alih sapaan ramah seperti Arin.
“Kalian kembar?” tanya salah satu murid dengan bodohnya.
Arin terlihat menghembuskan napasnya dengan berat. “Begitulah. Kalau boleh gue minta tolong, jangan anggap dia kembaran gue lah. Dia terlalu dingin untuk disandingin sama gue,” ucapnya memelas. Adit menyipitkan matanya menatap Arin dengan sangar.
“Oke, kalian boleh pilih tempat duduk kalian,” ucap guruku melihat pertengkaran yang mungkin akan terjadi kalau didiamkan lebih lama.
Mereka berdua berjalan untuk menghampiri bangku yang masih kosong. Satu di sebelahku dan satu lagi di belakangku.
“Boleh gue di sini?” tanya Arin sambil tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya dan mengangguk. Dia langsung meletakkan tasnya di meja dan duduk dengan rapi sambil mengeluarkan buku untuk mulai mencatat.
Aku menoleh ke belakang sebentar dan melihat Adit telah membuka bukunya untuk mengikuti pelajaran. Dia yang sadar diperhatikan olehku langsung menoleh. Mata kami bertemu pandang. Aku bisa melihat mata cokelat gelapnya di balik bingkai kacamatanya.
Aku tersenyum sambil mengangguk padanya untuk salam perkenalan. Tapi dia menatapku garang dan mengalihkan pandangan dengan tak acuh. Aku melongo sesaat. Aku tahu aku memang tak cantik, walaupun beberapa cowok bisa mengatakan kalau aku manis. Tapi sikap apa tadi yang ditunjukkannya padaku? Mengabaikanku? Ya ampun, dia satu-satunya cowok yang bisa mengabaikanku dan itu justru membuatku tertarik.
***
Jam istirahat pun tiba. Tadi aku sudah sempat berkenalan dengan Arin di tengah pelajaran. Teman-temanku menghampiri mejaku untuk ikut berkenalan dengan gadis itu.
“Hai, gue Indri,” ucap Indri memulai.
“Arin,” ucapnya ramah.
“Rin, yang ini Shinta, Alza, Ana. Mereka semua sahabat gue,” ucapku sebelum mereka mengenalkan diri satu persatu yang hanya akan memperlambat waktu. “Kita mau ke kantin, Rin. Gabung sama kita aja, yuk,” ajakku kemudian.
“Boleh?” tanyanya ragu.
Indri tertawa melihat wajah polosnya. “Ya, boleh, lah. Kenapa enggak? Yuk!” Kami berjalan keluar menuju kantin. Aku berhenti sesaat dan memandang ke belakang mejaku. Adit masih terdiam di sana.
“Dit? Mau ikut sama kita juga?” tawarku.
Dia mendongak menatapku dingin dan berdiri dari tempat duduknya untuk berjalan menghampiriku. Tidak, ternyata aku salah. Setelah dekat, dia melewatiku begitu saja. Aku melongo bingung. Cowok itu berhenti di sampingku dan berbisik di telingaku.
“Jangan pernah ganggu gue, jangan sok dekat karena lo gak tau siapa gue,” bisiknya. Aku menoleh menatapnya heran dan dibalas tatapan tajam darinya. Dia berjalan menyenggol bahuku lalu pergi menjauh melewati keempat temanku yang menatap kami bingung dan Arin yang memasang ekspresi datar.
“Sorry, ya, Dey, atas sikap kembaran gue. Dia emang kayak begitu,” ucapnya dengan nada menyesal.
Aku berusaha memaksakan senyumku walau rasa kaget atas perlakuan Adit masih bisa aku rasakan. “Gak apa-apa, kok. Nanti kalau dia udah kenal pasti dia gak akan sedingin itu.”
Dia menatap mataku ragu. Aku bisa melihat ada sesuatu yang sedang ditutupinya. Ku pikir apa pun itu dia ingin membaginya pada kami, tapi dia terlihat ragu dan membalikkan badannya berjalan keluar kelas diikuti yang lainnya dari belakang. Untuk sesaat topik tentang Adit yang memperlakukanku dengan dingin menguap.
Kami memesan makanan dan minuman kami lalu mengambil tempat duduk di pinggir ruangan.
“Jadi, kalian kembar? Terus siapa yang lahir duluan?” tanya Indri penasaran.
Arin menyeruput es jeruknya sebentar sebelum menjawab, “Adit. Dia kakak gue. Pengennya sih gue lahir duluan dan dia gue tinggal di dalem, tapi sayang gak bisa. Dia lahir lima menit lebih dulu.”
“Enak gak, sih, punya saudara kembar?” tanya Alza.
“Hmm, enak sebenarnya, tapi enggak enak juga sih. Tergantung lo liat dari sisi mana. Enaknya karena kita jadi kayak dua jiwa dalam satu sosok. Gue bisa tau apa yang ada di hatinya sama seperti dia tahu apa yang ada di hati gue.”
“Terus gak enaknya?” tanya Ana karena Arin tak melanjutkan penjelasannya.
“Gak enaknya karena kalau dia sakit, gue juga ikut sakit. Seperti gue bilang, kembar itu dua jiwa dalam satu sosok,” lanjutnya lagi.
“Oh, gitu… tapi kalian beda banget ya? Adit keliatan lebih dingin, kalau lo terlalu bersahabat. Hmm, sejauh ini keliatannya begitu, sih,” ucap Shinta.
Arin menghentikan gerakan makannya dan seketika termenung. “Dia gak sedingin itu. Seenggaknya dulu enggak begitu, sebelum beberapa bulan lalu cewek sialan itu merubahnya, merubah Kakak gue…” ucapnya menerawang jauh. Semua mata memandangnya penasaran.
“Adit patah hati?” tanyaku baru bisa bicara.
“Patah hati? Sepertinya itu lebih baik daripada apa yang baru aja dia alami beberapa bulan yang lalu. Kejadian itu sempat bikin gue khawatir kalau dia harus gak naik kelas cuma karena cewek itu,” ucapnya sedikit bergetar.
“Kalau bukan karena patah hati, terus kenapa?” tanya Indri.
“Cewek itu, dia…” Arin menunduk terlihat enggan melanjutkan. “Bahas topik lain aja. Adit gak suka kalau gue cerita masalahnya ke orang lain apalagi orang yang baru kita kenal,” ucapnya.
“Oh, sorry, kita gak maksa kok kalau kalian belum mau cerita,” ucapku sedikit membuatnya santai. Sejujurnya aku ingin dia menceritakan semua karena aku penasaran apa yang membuat cowok itu sedingin salju. Cewek macam apa yang tega membuatnya seperti itu?
Kami pun mencoba membahas topik lain tanpa menyinggung persoalan apa pun menyangkut Adit maupun cewek yang diceritakan Arin tadi. Sepertinya aku harus mengubur rasa penasaranku untuk sementara waktu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 4 | Love Stuck in The Past
Teen FictionBagi Dea, hidup itu terlalu indah untuk dilewati. Baginya semua masalah bisa terselesaikan. Tersenyum dan memiliki banyak teman adalah keharusan bagi jiwanya yang ceria. Gadis periang yang mudah dekat dengan semua orang ini pun menjadi incaran banya...