01. Aluna Sudah Wisuda

371 36 12
                                    

"Bentar, Lun. Kurang dewy."

Aluna mengerang bosan. Sudah sejak dua jam yang lalu Kirana bermain-main dengan wajahnya yang katanya kini sudah seperti manekin di butik langganan Mama.

"Apa, Kak? Kurang duit?" ulang Aluna, tidak paham dengan istilah yang diucapkan kakak iparnya itu.

"Dewy, mengkilap gitu," terang Kirana.

"Lah, mau dipoles pakai apaan sampai mengkilap? Udahan dong, Kak. Pegal."

"Bentar, ah, Lun! Mau cantik nggak sih kamu."

Ya, dialah Aluna Bimala. Yang terus-terusan mendesak Kirana untuk menyelesaikan tugas meriasnya karena sudah mulai gerah.

Hari ini Aluna akan diwisuda bersama ribuan teman-temannya yang lain setelah kuliah tiga setengah tahun lamanya. Waktu yang sangat singkat mengingat Aluna memiliki banyak kegiatan di luar kampus seperti menjadi panitia suatu event, bermain, dan bekerja sambilan sebagai freelance designer di N:ext, sebuah agensi periklanan terkenal di kotanya.

Tidak sulit bagi Aluna untuk membagi waktunya, kebetulan ia tidak malas dan suka menyiksa dirinya dengan pekerjaan. Selalu ada hal yang bisa dilakukannya selama ada waktu.

Terlebih selama setahun terakhir.

Tahun ini Aluna melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Kerja, ngevent, dan skripsi ia lakukan dalam waktu bersamaan sehingga ia bisa mendahului teman-temannya lulus lebih cepat dari jurusan yang mitosnya adalah Azkaban, penjara di serial Harry Potter - yang tidak pernah bosan ditontonnya tiap ada waktu senggang. Kenapa disebut Azkaban? Karena setelah masuk, akan sangat sulit keluarnya. DKV. Desain Komunikasi Visual. Bayangkan saja, jurusan dengan jumlah dan intensivitas tugas yang membuat mahasiswanya menjadi mayat hidup, dan Aluna berhasil keluar dari sana dalam waktu tiga setengah tahun. Keajaiban. Tapi lihat, Aluna pun tidak dapat terhindar dari kutukannya. Yaitu lingkaran hitam di matanya. Tapi, toh Aluna tidak pernah menyesal. Ia melakukan apa yang ia cintai.

"Lun, kok lingkaran hitamnya masih kelihatan aja? Perasaan concealer-nya udah tebal banget," tukas Kirana.

Gadis yang sudah lengkap memakai kebaya modern berwarna biru langit itu mematut dirinya sekali lagi di depan cermin setinggi tubuhnya. Benar juga, batinnya.

"Ya udah, kak. Tambahin aja lagi," ujarnya.


***

Upacara wisuda berlangsung lebih singkat dari yang Aluna sangka. Setelah acara penyematan toga di balairung, wisudawan dan keluarganya dihimbau untuk melakukan upacara kedua di auditorium fakultas, dan yang terakhir, sesi foto. Aluna bisa saja melewati bagian terakhirnya, tapi teman-teman sefakultasnya datang berbondong-bondong memberikannya selamat. Hampir seperti parade, terlebih dengan karangan bunga yang ukurannya tidak main-main. Ia ragu dapat membawa pulang karangan bunga tersebut.

Ucapan selamat yang bertubi-tubi itu berlanjut dengan sesi tambahan yang dibuat teman-temannya, berfoto, dan rencana untuk melemparkan Aluna ke kolam ikan terdekat. Untung saja seorang senior yang baik hati menggagalkan rencana kekanakkan itu.

"Gila lo pada, nggak lucu kalau gue nyebur," omel Aluna. "Harusnya gue diperlakukan seperti putri dong, mumpung pakai kebaya," tambahnya, diikuti tawa teman-temannya.

"Tapi gue amazed gitu, Lun, lihat lo pakai kebaya," celetuk Umar.

"I know, right? Biasanya gembel," sahut Esa. Ia berhenti sebentar sambil mengisap rokoknya sekali lalu mengembuskannya,

"Tapi kalau bentuknya kayak begini, nih," Esa memperhatikan Aluna dari atas ke bawah, tangannya bergerak mengikuti lekuk tubuhnya, dan dengan tak tahu malu berkata, "boleh lah. Yuk, Lun, sama abang." Esa mengerling.

"Hahaha, brengsek." Aluna membungkuk melepas heels-nya, seperti hendak melempar Esa dengan benda itu.

Barisan bubar jalan, menyisakan tawa dan Aluna yang sedang memakai heels-nya kembali. Esa kembali menghampirinya, "Eh, tadi Raka datang, nggak?"

"Apaan lo, tiba-tiba Raka." Aluna tertawa hambar. Sebal rasanya harus teringat Raka lagi.

"Dateng apa nggak, gue tanya," ulang Esa.

Esa adalah satu dari sekian temannya yang tahu tentang dirinya dan Raka. Tidak diceritakan pun ia akan tahu dengan sendirinya. Itu adalah nilai plus dan minus Esa. Plusnya, ketika Aluna bersedih atau mendapat masalah, maka ia akan langsung mengerti tanpa bertanya. Dan Esa adalah tipe teman yang suka menawarkan bantuan.

Minusnya, ia jadi membahas sesuatu yang tidak ingin dibahas Aluna. Seperti saat ini. Aluna yakin Esa mengerti kalau ini bukan bahasan yang disukai Aluna, tapi sekali Esa penasaran, ia tidak akan menyerah menanyakannya.

"Nggak datang. Emang gue siapanya?" balas Aluna akhirnya, jengah.

Teman-teman Aluna kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Kata teman-temannya, mahasiswi di fakultas seni rupa dan desain tidak banyak dan jarang ada yang cantik. Kebanyakan dekil, tentunya karena tugas.

Memang mulut mereka hobi sekali menyulut protes.

Tapi katanya, Aluna berbeda. Aluna bagaikan fatamorgana di tengah gurun pasir. Benar-benar seperti fatamorgana. Pertamanya indah, dan membawa harapan untuk manusia yang haus akan keindahan. Makanya laki-laki mendekatinya. Mau melakukan apa saja untuknya. Namun setelah didekati, keindahannya lenyap. Hanya ada gurun pasir kosong yang panas.

Ya, Aluna cantik. Tapi kikuk dan ceroboh.

Ia tidak bodoh, tidak pula lambat, bagaimana menjelaskan kikuk, ya?

Di hari pertama orientasi, kakinya terantuk kaki meja dan ia hanya meringis malu. Belum ada satu jam, ketika hendak mengeluarkan pulpen dari kotak pensilnya, ia malah merusak risletingnya dan menjatuhkan semua isinya.

Aluna cukup berkesan dan menarik perhatian pada waktu itu.

Seakan tidak ada habisnya, setiap membuat portofolio mingguan, selalu ada insiden cat tumpah.

Belum lagi kertas atau kanvas yang robek.

Siapa lagi kalau bukan Aluna.

Untung cantik.

Dan beruntungnya, teman-temannya pun mau mengerti dan bersedia membantunya.

Namun sial bagi teman-temannya, yang dibantu justru lulus lebih dulu.

Aluna melihat ke sekeliling kampusnya sambil tersenyum. Ingatan hari pertama dia menginjakkan kakinya di sini masih tergambar dengan jelas di dalam benaknya. Ketika Aluna mengedarkan pandangannya ke tempat lain, ingatan-ingatan itu terus berlanjut seperti gulungan film. Dan matanya kini terpaku pada sebuah sudut yang familiar.

Aluna menghela napas, lalu mengangkat bahunya tidak peduli. Ia harus segera kembali ke mobil, keluarganya sudah menunggu.

Alluring AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang