harapanmu masih ada

75 20 3
                                    

“Hmm, kamu udah belajar untuk besok?”
“Belajar apaan?”
“Kamu nggak tahu apa? Besok akan ada ulangan matematika loh? Aku aja semalam udah belajar. Kemarin juga aku sudah belajar.”
“Emang harus belajar ya? Kamu udah belajar berapa kali?”
“3 kali dari beberapa hari yang lalu.”
“Aku sih nanti malam aja belajar.”
Jeje akan menghadapi ulangan matematika esok. Dia belum sama sekali  belajar. Pikirannya masih dipenuhi dengan rasa ingin bermain puzzle yang baru diberikan oleh pamannya dari Bogor. Puzzle itu menurutnya sangat menarik. Jeje memang menyukai tantangan yang kental akan permainan logika. Tapi dia sendiri dikenal pemalas oleh orangtuanya dalam hal pelajaran. “Ahh, ulangan harian doang. Jangan terlalu dipikirkan lah,” gerutunya. Malam ini Jeje disibukkan dengan kumpulan rumus matematika yang menyebalkan. Dia harus bermain keringat mengingat belum ada persiapan untuk ulangan besok. Tidak biasanya dia makan malam pukul setengah tujuh.
BUUKK… BUUKK….
Buku-buku berjatuhan di meja belajarnya. Terdengar jelas dari kamar ibunya.
“Jeje, kamu kok tumben belajar lebih awal?” tanya Ibu.
“Besok ada ulangan matematika Bu. Aku belum belajar dari kemarin.”
Ibu sudah tahu persis kebiasaan anaknya yang selalu menggunakan sistem kebut semalam. Besoknya ulangan, malam ini baru belajar. Ibunya sudah berkali-kali memperingati Jeje agar jangan dibiasakan kebut semalam. Namun, Jeje tidak peduli. Yang penting belajar, dan dapat nilai bagus. Secepatnya.
Pagi ini Jeje ditemani dengan mata kuyu dan leher pegal-pegal karena belajar keras semalaman. Seragam yang rapi namun terlihat agak aneh kembali diperlihatkannya. Dikatakan aneh karena ukuran seragam yang ia kenakan tidak sinkron dengan ukuran tubuhnya yang terkesan mungil. Hampir tiap hari kelasnya dibuat heran dengan Jeje.
“Tuhan maha adil kok. Aku kan udah belajar keras. Jadi aku berhak dong dapat nilai yang bagus. Setidaknya rasa malasku udah hilang ditelan awan,”
“Ya aku mengerti. Tapi, coba pikirkan seberapa usahamu untuk belajar?” Fiko menimpali.
“Fiko, aku ini semalaman sudah belajar. Apa itu masih kurang? Bukankah aku sudah menuruti saranmu untuk menambah buku referensi? Kurang apa lagi coba?”
“Suatu saat kamu akan mengerti kok,” ujar Fiko tersenyum.
Ulangan matematika berlangsung. Semua siswa terlihat hening, tak terkecuali Pak Yasir. Sosok tenang namun paling ditakuti saat mengawas suatu ujian di kelas. Suara batuk dan sejenisnya saja sudah membuatnya curiga. Begitu juga dengan suara pulpen jatuh. Perawakan wajahnya mungkin masih terlihat kalem. Tapi ketika dia sudah mengambil langkah untuk berkeliling di sekeliling kelas, jantung para siswa mulai berakselerasi cepat. “Kemarin di kelas sebelah, sudah kejadian. Ada yang tertangkap basah saling berbisik. Langsung saya bikin nol di buku nilai. Saya harap kelas ini bukan yang berikutnya,” jelas Pak Yasir sembari membenarkan saku bajunya. “Gila! Suara bisikan saja dia masih bisa dengar?” gumam Jeje dalam hati. Dia mulai tidak tenang.
“Gimana Je? Menyenangkan bukan ulangan edisi hari ini?”
“Hmm, menurut kamu?”
“Oh ya, ini untuk pertama kalinya Pak Yasir membuat soal pilihan ganda. Bisa kan?”
“Yah lihat saja nanti,” jawab Jeje malas.

Jeje menikmati permainan puzzle sembari ditemani Fiko. Tangannya begitu lihai. Jari-jemarinya sangat gemulai menari dengan puzzle. Pemandangan langit sore membuatnya sedikit tenang dari beban matematika. Apalagi di pinggir danau yang menjadi langganan mereka di waktu senggang. Sinar oranye matahari menjadi kesukaannya. Jeje termasuk penyuka warna oranye. Terlihat dari warna dominan yang paling sering ia  gunakan.
“Menurutmu, menyusun puzzle ini mudah nggak?”
“Aku aja belum pernah menyentuh puzzle, apalagi mengotak-atik. Gimana sih kamu,” balas Fiko dengan senyuman singkatnya. “Makanya belajar dong, hehehe,” canda Jeje.
“Fiko, kira-kira nilai matematika punyaku berapa ya?”
“Menurutmu? Tadi waktu mengerjakan, merasa gampang nggak soalnya?”
“Namanya saja matematika, butuh otak yang encer untuk mengerjakannya,” kata Jeje sedikit kesal.
“Menurutku tadi lumayan kok. Karena aku udah belajar. Eh bentar, emang dalam menyelesaikan puzzle itu kamu merasa otakmu encer gak?”
“Simpel banget sih jawaban kamu? Emang strategi harus belajar?” Jeje mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Saat ini aku hanya bisa menjelaskan padamu bahwa kamu harus belajar! Lagian kamu kalau aku jelasin panjang lebar, ekspresimu kayak gak ada arahnya gitu. Sok begolah. Satu lagi, aku belajar dari minggu yang lalu, malam tadi aku gak belajar. Aku main game. Karena aku nggak mau membuang banyak tenaga sebelum perang,”
“Oh, lihat aja nanti nilainya.”
Hari ini nilai ulangan diumumkan. Fiko meraih nilai tertinggi, yaitu 97,5. Bukan hal baru karena Fiko dikenal paling master dalam hal matematika di kelasnya, bahkan seluruh penjuru SMA-nya. Ulangan matematika kali ini memang dibuat sedemikian rupa sehingga para siswa selain dituntut paham rumus, juga harus menggunakan logikanya. Nilai yang menyentuh angka 90-an hanya ada empat orang. Jeje lagi-lagi harus tertipu dengan dugaannya. Dia merasa mengerjakan soal dengan tipe pilihan ganda adalah yang paling sulit. Ini kekalahan yang kesekian kalinya. Angka 40 tertera rapi di lembar jawaban yang dia terima. Deretan tulisan angka yang dia tulis secara manis rasanya seperti kertas yang siap dibakar. Tulisannya sama sekali tak bermakna. Seakan-akan upaya penuh keringat semalaman waktu itu hanya sebatas skenario belaka. Tidak berarti sedikit pun. Rasanya Jeje ingin sekali menangis.
“Sudah kamu lihat hasil jerih payahmu?” tanya Fiko.
Jeje terdiam. Dia tidak menjawab. Pikirannya dipenuhi dengan perasaan ingin menangis.
“Jadi, apa kamu ingin mengulanginya lagi?”
Jeje hanya membisu. Namun ia sedikit menggelengkan kepala.
“Terus, apa impianmu selanjutnya?”
“Maafkan aku Fiko, aku memang salah. Tapi, aku sudah berusaha. Aku ingin lebih baik,” jawab Jeje dengan muka dukanya. Sesekali ia mengusap matanya yang sedikit mengeluarkan air.
“Aku mengaku salah. Aku tidak menuruti nasihatmu, dan aku tak berguna,” tambahnya.
Fiko menarik napas panjang. “Sejujurnya aku simpati sama kamu. Aku tak tega melihatmu selalu mendapat nilai yang mengecewakan. Hari-harimu di sekolah sungguh terlihat bahagia. Hari-harimu di rumah juga terlihat bahagia. Tapi, saat ujian datang, senyum yang biasanya selalu kamu curahkan pada orang lain, seakan hilang diterpa angin kesialan. Kenapa sih kamu selalu sial saat ulangan, ujian, dan tiap ada tes. Apa orangtuamu tidak membenarkan semua kesalahanmu? Apa mereka tidak peduli lagi? Atau kamu yang selalu mengabaikan semuanya dari mereka? Kamu itu temanku, sahabatku. Bahkan ku anggap seperti saudaraku sendiri. Apa kamu tidak menyadarinya?” Air mata Jeje luruh. Wajahnya basah. Semua kata yang ke luar dari Fiko terlihat bersemayam tajam di relung hatinya hingga luluh. “Ya aku salah. Aku sungguh tidak mengerti harus bagaimana lagi,” kata-kata pasrah yang biasa Jeje keluarkan pun mengalir juga dari bibirnya.
“Je, nilai-nilai yang telah kamu peroleh sungguh tak satu pun yang tak berarti. Termasuk nilai yang buruk di mata siapa pun. Dengan adanya kesalahan bisa menjadi pengalaman bagimu. Dengan kesalahan mungkin kamu akan menyesal. Kata pepatah itu menyesal tiada berguna. Memang itu benar, karena menyesal tidak akan membalikkan keadaan. Namun, pentingnya menyesal walaupun hanya setitik mungil adalah saat itulah kamu sadar, hatimu masih berfungsi manakala kamu telah sadar jika kesalahan sudah diperbuat. Dengan menyesal kamu akan berjanji untuk tidak mengulangi lagi. Hanya saja pedihnya sesal adalah selalu ada di ujung perjalanan. Tapi yakinkan olehmu bahwa ini bukan yang terakhir. Kesempatan dan peluang masih ada di depan jalanmu. Kamu akan menemuinya jika kamu yakin.”
“Aku mengerti apa yang seharusnya kamu perbaiki. Aku mengeri kamu salah. Tapi, semuanya tergantung bagaimana cara menyikapinya. Aku sudah menghargai jerih payahmu. Walaupun itu masih salah. Semuanya butuh proses. Di sini aku tidak ingin mencari kesalahanmu, tapi aku hanya ingin mencari apa yang menjadi kelebihanmu dan itu harus kamu kembangkan supaya kedepannya jauh lebih baik seperti yang diharapkan. Kamu sudah mengerahkan seluruh tenagamu. Di ujian sebelumnya, nilaimu dapat 20. Dan ujian ini, nilaimu naik menjadi 40. Ini bukan ironi. Tapi ini kemajuan yang sudah tampak nyata terpampang dari dirimu sendiri. Apalagi kamu tidak berbuat curang. Kamu sudah lebih baik. Dan ingat! Jangan menyebut dirimu tidak berguna! Selagi kamu punya kesempatan menghirup damainya hidup di dunia, kamu masih berguna. Semua karyamu akan ditunggu. Semua tenagamu masih akan dibutuhkan,”
Fiko melanjutkan ceritanya, “kesadaranku sudah berbicara pada diriku sendiri jika apa yang selalu menjadi kebiasaanmu bisa menjadi uang berharga di waktu kelak. Kamu pintar bermain puzzle. Sedangkan aku sama sekali tidak memahaminya. Kamu sudah cukup lincah dengan tanganmu yang menari-nari elok di sela-sela puzzle yang begitu menguras energi otak. Aku mengerti kamu awalnya tak mengerti apa-apa dari puzzle itu. Tapi strategimu yang selalu kamu tanamkan yaitu kamu selalu membiasakan diri berlatih, berlatih, dan berlatih sehingga lambat laun tanganmu terbiasa dengan puzzle. Kamu berbakat. Coba terapkan dalam belajarmu. Dan jangan lagi mengucapkan jika kamu tidak ada harapan lagi. Aku udah lihat di media sosial punya kamu. Dan hindarilah perkataan yang menjurus untuk mengutuk dirimu sendiri. Percayalah!”
Jeje tersadar apa yang dikatakan Fiko benar. Dia menyesali kebiasaannya dalam belajar yang selalu menunggu. Dia juga memahami kebodohannya dalam menerapkan sistem kebut semalam yang sama sekali tidak efektif. Hanya saja pengakuan kejujuran terhadap dirinya sendiri masih perlu dibangun. Dia sudah paham apa yang telah dikatakan Fiko apabila semua kelebihan pada dirinya harus dikembangkan lagi seperti lelakon dirinya yang terus berusaha mendapatkan hal baru tanpa kenal mundur. Selama ini Jeje hanya menganggap dirinya boneka yang selalu dimanja dan wayang yang selalu mengikuti apa yang dunianya inginkan. Dia mulai tergerak setelah sadar akan pentingnya diri sendiri untuk kehidupannya.
Bahkan orangtua Jeje pernah bilang kalau anaknya selalu ingin dimanja dan tampak tidak memiliki bakat apa pun hingga akhirnya Jeje beranggapan bahwa semua impian dalam benaknya hanyalah skenario belaka. Namun pasca obrolan berharga dari Fiko yang telah menjelaskan jika dirinya masih punya banyak kesempatan dan peluang untuk merebut dunianya dari cengkeraman dunia luar yang begitu membunuh. Segala sesuatu pasti ada baik dan buruknya. Tapi, ambil saja apa yang baik. Jangan disia-siakan. Semuanya akan bermanfaat. Tergantung bagaimana cara kita mengelolanya.
Saat ini Jeje tidak lagi menanamkan konsep belajar instan sesaat yang intinya hanya mengincar nilai dan menginginkan banjir pujian. Belajar adalah proses, bukan kunci pintas. Jeje tidak mengutuk dirinya sendiri yang selalu disibukkan dengan permainan puzzle yang baginya menggiurkan dan menurut ibunya akan merampas waktu belajarnya, bahkan dia akan terus melatih pikirannya dan mengaplikasikannya dalam belajar akademik di sekolah. Dia akan menggunakan konsep bermain puzzle yang belajar terus menerus tanpa mempedulikan hasil akhir, namun hal baru apa yang harus dia peroleh dari aturan main ini. Baginya, bermain puzzle sama halnya dengan mencari kebenaran. Dia akan terus berlatih dan mencari agar puzzle itu dapat di otak-atik sebagaimana mestinya tentunya dengan berbagai cara hingga tidak membosankan. Fiko mengakui bakat Jeje.
Jeje berjanji pada dirinya sendiri. Hidupnya bukan untuk semata mengejar segala keinginan dalam dirinya, namun untuk mencari siapa dirinya dan untuk apa dia sesungguhnya. Jika Jeje harus berprinsif hidupnya untuk mengejar segala keinginannya, rasanya terlalu dini dan nyaris mustahil. Karena segala keinginan itu memang harus berasal dari dirinya sendiri. Dirinya saja belum bisa dia temui, bagaimana dengan keinginannya? Bangunlah dirimu, Jeje!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

harapanmu masih adaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang