Hari-hariku semakin membaik. Kondisi Ibu juga makin memperlihatkan kemajuan. Aku, Ibu, dan Nenek selalu menghabiskan hari dengan bahagia. Kebahagiaan tidak hanya datang dari seberapa besar yang kita punya, atau seberapa tinggi derajat kita. Bahagia itu ketika bibirmu tersenyum, hatimu pun tersenyum pada saat yang bersamaan. Di tambah hubunganku dengan Nino semakin akrab. Dia sering datang ke rumahku dan sekedar ikut makan siang atau berbincang-bincang dengan Ibu dan Nenek hingga petang, kemudian dia pulang. Dia selalu membawa keceriaan di hari-hari kami. Ciri khasnya ketika tertawa, seluruh matanya terhimpit oleh otot pipinya dan lesung pipit di kedua pipinya, dengannya aku merasa seperti memiliki bagian baru.
Hari ini, dia mengajakku untuk jalan-jalan ke tempat yang masih di rahasiakan. Dari pagi dia sudah datang dan merengek minta di buatkan segelas susu coklat panas dan cookies jahe buatan Nenek.
"Nenek, aku lapar! Aku buru-buru datang kesini dan lupa untuk sarapan. Buatkan aku susu coklat panas dan cookies jahe buatan Nenek yang super enak."
"Nenek, jangan manjakan dia! Ingat! Cucu Nenek hanya aku." Aku menyela perkataan Nino jauh dari kamar.
"Hahaha. Semua temannya cucu Nenek, berarti dia cucu Nenek juga." Nenek mencubit pelan pipi Nino kemudian membawa bahan untuk membuat cookies di lemari.
"Dengar itu, Masha!" Nino merasa menang karena mendapat pembelaan dari Nenek.
"Kalo begitu, buatkan juga untukku ya, Nek? Seperti biasa. Berikan taburan gula palm di atas cookies-nya." Aku ikut duduk di meja makan, setelah membereskan semua barang bawaanku.
"Peniru." Gumam Nino.
"Peniru bagaimana? Kamu sendiri yang meniru aku. Kamu ingat kan waktu Nenek memberikan bekal cookies itu saat kita ke perpustakaan? Kamu sendiri yang bilang kalo kamu enggak suka aroma jahe. Tapi kamu sendiri..."
"Shuuuuuuuuttt! Kamu sudah bilang itu berkali-kali. Padahal aku hanya minta sedikit dari bekalmu itu. Hitungan sekali gadis zaman sekarang.. " Sekarang dia menyilangkan kedua tangannya dan memalingkan wajahnya dariku.
"Aku? Hitungan? Ih!"
"Anak-anak! Jangan bertingkah seperti anak kecil. Sejak kenal dengan Nino, Masha banyak perubahan ya, Bu?" Tiba-tiba Ibu datang dengan memberikan mantel padaku.
"Iya. Ibu juga berpikiran seperti itu. Masha akhirnya bisa keluar dari sifat introvertnya. Ini, susu coklat panasnya sudah jadi. Tunggu beberapa menit lagi ya cookies-nya? Nenek harus pergi ke kebun."
"Oke, Nek!" Jawab Nino dengan penuh semangat.
"Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Nino."
"Kenapa? Hahaha. Aku memang masih kecil."
Begitulah Nino. Meskipun sikapnya kadang menggelikan, tapi dia selalu berhasil membuatku tertawa. Dengannya, hidupku serasa begitu ringan.
Di sepanjang perjalanan menuju tempat yang masih Nino rahasiakan, aku terus melihat jalan. Sepertinya aku pernah ke tempat ini. Memang samar-samar tapi aku yakin aku pernah ke tempat ini. Jauh dari kota dan banyak pohon oak di sepanjang jalan. Sekarang musim gugur. Daun-daun yang menguning berjatuhan tersapu angin. Angin menerbangkannya, kemudian aku hanya melihat ke arah depan. Aku pernah ke tempat ini.
"No?"
"Hmm?"
"Entah ini Deja Vu atau apa. Tapi aku merasa aku pernah ke tempat ini."
Nino hanya terdiam. Dia terfokus pada jalanan. Tapi bibirnya tersenyum kecil.
"Kenapa hanya tersenyum? Semakin kita berjalan jauh, aku semakin hafal apa yang ada di depan kita nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Frozen
Fantasy#1 dalam Vika Levina - 3 Maret 2021 #7 dalam Vika Levina - 27 Februari 2021 #1 dalam Avan Jogia - 11 Juli 2019 #2 dalam Avan Jogia - 7 Juli 2019 #11 dalam Avan Jogia - 6 Juli 2019 #96 dalam FANTASY - 13 Januari 2018 Hidup di keluarga yang berantakan...