'Justru seseorang yang tawanya paling besarlah yang berkemungkinan menyimpan luka paling dalam'
¤¤¤
Namaku Quinsha. Quinsha Aurelia Rizki. Nama yang terbilang jarang ditemui. Bukannya pamer, tapi dari TK hingga SMA aku belum pernah menemukan seseorang yang memiliki nama yang sama denganku. Itu menjadi kebanggaan sendiri bagiku. Entah ide dari mana orang tuaku memberiku nama Quinsha , aku sama sekali tidak pernah menanyakannya.
Hari yang dirundung sepi setiap hari kujalani. Bukan berarti aku tak bisa tertawa, jangan salah . Aku selalu tertawa bahkan dikenal periang dikalangan teman-temanku. Yup, tawa yang di buat - buat. Kalian mungkin pernah membaca qoutes
'Justru seseorang yang tawanya paling besarlah yang berkemungkinan menyimpan luka paling dalam'sepertinya rangkaian kalimat itu dapat menggambarkan diriku saat ini.
Sejenak melupakan sepiku, kulirik jam di pergelangan tanganku. Pukul 10:50. Kubersihkan rok sekolahku yang mungkin berdebu dan berjalan santai menuruni tangga hingga sesaat kemudian aku bergumam
"pukul 10.50? Ha? Jam istirahat udah lewat dong? "
baru kusadari jam istirahat SMA Pelita itu 10.15-10.45 .Bagaimana mungkin aku melupakan hal kecil itu.
Tanpa aba-aba aku berlari menuruni tangga penghubung rooftop ini dengan kelas-kelas dibawahnya. Dan lagi kelasku di lantai satu, berapa anak tangga lagi yang harus kususuri untuk sampai dikelas. Dengan nafas yang seadanya ku beranikan diriku mengetuk pintu X Mia 3. Pintu kelasku.
"Masuk"
sahutan itu kudengar dari dalam. Saat kubuka pintu, manik mataku langsung dihadiahi tatapan tajam dari Pak Hans, guru matematika di kelasku. Seketika aku menunduk. Dengan sedikit keberanian lagi aku menghampiri Pak Hans tanpa sedikitpun meninggalkan tatapanku pada lantai.
"Dari mana saja kamu, bel sudah bunyi sejak 10 menit yang lalu. Baru juga 2 minggu sekolah disini sudah berani berulah di jam saya" omel Pak Hans padaku.
Pak Hans ini guru yang terkenal killer di sekolahku. Tanpa pandang bulu, siswa baru sepertiku pun tak luput dari ketegasannya. Tanpa memikirkan bahwa kami baru masuk disini 2 minggu yang lalu. Bejalar pun baru satu minggu. Peduli apa dia,
"aturan tetap aturan,dibuat untuk dipatuhi bukan dilanggar"
itu katanya saat perkenalan di Masa Orientasi kemarin."Maaf Pak, tadi saya ada urusan sebentar"
"urusan apa yang membuatmu berani datang terlambat di jam saya? " bentaknya padaku
Tanpa berani menatap, aku hanya mendengarkan ocehannya kepadaku sambil sesekali melirik teman-teman sekelasku yang menatapku dengan tatapan iba.
"...kalau kamu masih mau belajar di jam saya hari ini, kerjakan soal yang saya berikan ini di papan tulis sekarang juga" Pak Hans mengakhiri omelannya dengan menyodorkan sebuah buku paket dengan soal yang telah ia lingkari nomornya.
Kutatap buku tebal di tanganku,
"eksponen" gumamku.
Tanpa pikir panjang, kuraih spidol dan kukerjakan 2 soal itu dengan sempurna. Meski agak lama.Pak Hans menatap coretanku di papan tulis itu dengan seksama,
"okey, Silahkan duduk" titahnya.Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju tempatku dipojok dan langsung di sambut ocehan dari Azkia, teman sebangkuku.
"gak nyangka, ternyata lo pinter MTK, kenapa gak pernah bilang . Tau gitu kan gue gak perlu cemas mikirin hukuman apa yang bakal Pak Hans kasi ke elo tadi"
"Sans kali Kia, itu masih batas materi SMP kok, masih ingat dikit-dikit lah" balasku padanya.
Azkia Azzahra, teman sebangkuku di X Mia 3 ini. Dia yang pertama menyapaku saat Masa Orientasi kemarin. Aku lebih senang memanggilnya Kia dibanding Azkia, ribet. Dia itu pemalu tapi kalau ngobrol denganku biasanya cerewet banget. Mungkin karena dia udah mulai menganggapku sahabat. Padahal aku sendiri masih enggan mencari sahabat baru di masa SMA .
¤¤¤
Hai readers yang kebetulan mampir diceritaku ini. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. Ini tulisan pertama yang aku post, masih amatir. Silahkan kritik bila ada kesalahan yah. Soalnya aku masih amatir.
Salam manis,
Sarita 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Entah
Teen FictionKetika senyum tak lagi terukir, ketika tawa tak lagi hadir dan ketika hari dihuni sepi.