Sejenak melupakan penat, melupakan kebisingan yang tak kian berhenti, melupakan segala keteraturan yang ada di kelas. Dan di sinilah mereka berada, Brian, Karel, dan Tito, seperti biasa, di tempat sepi nan sejuk ini mereka menghabiskan jam istirahat mereka untuk sekedar menghirup udara segar atau hanya sekedar mengusir bosan dengan bermain game, dan tempat itu tak lain tak bukan ialah rooftop.
"Weits! Gimana-gimana?" menyadari kehadiran Rafa, Tito langsung terkesiap.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Rafa tersenyum sombong seraya menaikturunkan kedua alisnya dengan sombong.
Berjalan dengan santai kemudian berakhir duduk tepat di sofa yang Tito duduki.
"Woohoo!" seru Tito dengan meninju tangannya ke udara.
Dengan bersemangat, Tito lantas bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Karel yang sedang mengembangkan senyumnya sama seperti yang Tito lakukan.
"Gercep," cibir Rafa tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponselnya.
"Wah, jelas dong. Selagi ada rejeki, nggak boleh disia-sia in, Raf! Nanti nyesel di belakang loh," kata Karel seketika menjadi melow.
"Halah, kencing kuda!" jitak Tito yang langsung mengenai kening Karel.
Sudah bersiap pada posisinya masing-masing, Tito dan Karel saling berhadapan dengan mata yang saling beradu. Tangannya bergerak untuk menaikkan lengan bajunya agar terlihat otot-otot yang tak seberapa itu dengan tanpa mengalihkan pandangan keduanya.
Dan permainan pun dimulai.
Satu!
Dua!
Tiga!
"GUE MENANG!" teriakan heboh pun tak bisa dihindarkan dari mulut Karel, karna baru saja ia mengalahkan Tito yang pada dasarnya memang selalu kalah darinya dalam suit jepang.
"Curang lo," pundak Tito pun melorot saat itu juga, padahal sejak tadi ia sudah banyak berdoa serta berusaha keras untuk bisa fokus mengalahkan Karel, tapi ternyata usahanya belum seberapa dan ia berjanji akan terus belajar demi mengalahkan Karel tanpa ampun nantinya.
"Apaan curang, udah lo nggak usah ngelak, kalah mah kalah aja," kata Karel acuh. "Raf! Traktir kita mie ramen level 4!" ucapnya kemudian.
Refleks Tito langsung menoyor kepala Karel yang memang posisinya sangat dekat dengannya. "Lo stres!?"
"Apaan si, Tit!"
"Tito!"
"Ah bodo amat, 'kan gue yang menang, lo nggak boleh protes lah kudanil!"
"Ya tapi kan-"
Rafa bangkit dari duduknya, hal itu sontak membuat keduanya menatap Rafa sejenak, bahkan ucapan Tito terhenti secara spontan.
"Spesial hari ini, kalian bebas mau makan apa aja," ucapnya seraya memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, kemudian ia berjalan mendahului ketiganya untuk menuju ke kantin.
Sepersekian detik kemudian Brian menyusul dengan tanpa bersuara.
"Raf, ah! Hayati nggak ikhlas!" rengek Karel seperti anak kecil yang permintaannya tak dituruti.
"Sabar ya, tupai! Nasib lo hari ini lagi jelek!" ledek Tito kemudian pergi menyusul Brian dan Rafa.
Menghembuskan nafas panjang, Karel pun pasrah, mau tak mau ia harus menurut. Dengan gontai iapun menyusul ketiganya, walaupun ada perasaan tak rela karna gagal mengerjai Tito, Karel masih bersyukur karena hari ini dapat makan gratis.
***
Senyum bahagia tercipta dari bibir ke empat perempuan ini saat kaki mereka sudah memijak lantai kantin. Tujuan mereka pergi ke kantin pada jam-jam dimana waktu istirahat mendekati habis, ialah hanya karna mereka tak mau berdesak-desakan oleh ratusan siswa juga mereka tak mau makan sambil berdiri mengingat banyaknya siswa yang sudah memenuhi meja.
"Akhirnya!" seru Naura ketika bokongnya sudah mendarat mulus di kursi.
"Oke, siapa yang pesen hari ini?" tanya Gina langsung, seperti jadwal piket, ke empat sahabat ini memiliki jadwal memesan makanan, satu hari satu orang, sisanya mereka akan memesan sendiri-sendiri.
"Nau 'kan?" Lisa balik bertanya.
"Lho, emang iya? Sekarang hari apa sih?" terkejut karna Naura lupa hari ini hari apa.
"Kamis, Naura sayang," jawab Lisa lembut dengan senyum manis yang dibuat-buat, lama-lama kesal juga karna sahabat satunya itu yang tak pernah ingat hari.
Lantas hanya senyum yang menampilkan deretan gigi-gigi putih yang bisa diperlihatkan oleh Naura dengan sedikit rasa malunya. Tanpa mengulur waktu lagi, ia pun bergegas pergi meninggalkan ketiganya yang masih menatapnya dengan wajah datar.
"Kebiasaan deh," ujar Alda seraya menghembuskan nafasnya.
"Gue ragu si Naura nggak lulus SD," kata Gina spontan membuat Lisa dan Gina tertawa.
"Gue juga, soalnya dia nggak hafal nama-nama hari sih," ucap Lisa disela tawanya.
Sementara di ujung sana, Naura sedang memperhatikan ketiga sahabatnya yang saat ini sedang tertawa riang, firasatnya pun mendadak tidak enak.
"Hey," sapa seseorang membuat perhatian Naura teralihkan.
Terkesiap, Naura pun memutar sedikit tubuhnya. "Ha-iya apa?" buru-buru ia mengangkat kepalanya demi melihat seseorang yang sudah membuat dirinya terkejut, dan pada saat pandangan itu bertemu, Naura kembali terkejut untuk kedua kalinya.
"Punya utang?"
Kedua alisnya menyatu dengan kedua mata mengerjap dua kali, seakan memastikan bahwa omongan Rafa tadi salah di pendengarannya, namun nyatanya tidak karna Rafa tak kunjung berbicara untuk sekadar membenarkan.
"Maksudnya?" tanya Naura meminta penjelasan.
"Daritadi dipanggil nggak nyaut, lagi mikirin utang 'kan?" ucap Rafa dengan alis yang terangkat, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya dengan bajunya yang seluruhnya keluar membuat Naura secara tak sengaja memperhatikannya.
"Sekarang malah beralih jadi mikirin gue?" suara Rafa sontak membuat Naura mengalihkan pandangannya ke arah lain kemudian memutar tubuhnya seperti semula seraya menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinganya demi menutupi kegugupannya.
"Ge-er banget," ujarnya kemudian.
"Mba Naura, ini pesanannya sudah siap,"
"Ah iya-eh eh mau ngapain? Itu punya Nau!" seru Naura ketika secara tiba-tiba Rafa menggeser tubuh Naura dan mengambil pesanannya.
Naura berusaha mengambil nampan yang berisikan 4 mangkok bakso yang berada ditangan Rafa, namun Rafa dengan sengaja meninggikan nampan tersebut sehingga membuat Naura kesulitan mengambilnya. Lelah karena Rafa tak kunjung memberikannya, ia menghentikan usahanya dengan menatap Rafa dengan tatapan tajam.
"Siniin ih! Itu punya Nau! Nggak denger tadi yang dipanggil siapa—eh Raf!" emosi Naura semakin naik ketika Rafa baru saja pergi meninggalkannya tanpa mendengar apa yang dikatakan oleh Naura terlebih dahulu.
Geram, Naura berlari demi menyusul Rafa. Tertinggal jauh dengan Rafa tidak membuat Naura menyerah, ketika sosok itu masih ditangkap oleh matanya, Naura akan terus mengejarnya. Namun seketika, kaki Naura tak lagi tergerak untuk sekedar berlari kecil demi menyusul Rafa. Karna saat ini, Naura mendadak terhipnotis oleh pemandangan di depan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAKER
Teen FictionKehidupan seorang Naura Latisha cukup indah dan tentram, hanya ditemani oleh musik, novel, dan ketiga sahabatnya. Ia bukan tipe siswi yang terkenal dikalangan siswi lainnya, Naura hanya perempuan biasa yang lebih menyukai kesendirian di kelas. Hingg...