“Aku mengharapkan kamu ada tetapi, kamu seolah menganggapku tiada.”
***
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, hingga kini detik lebih cepat berganti menit. Seiring jantung berdetak jarum jam itupun ikut bergerak tanpa henti seperti denyutan nadi. Rasanya baru kemarin aku naik ke kelas XII tetapi, sekarang sudah waktunya aku harus mengasah otak oleh materi-materi yang selama ini dipelajari.
Sekarang sudah bukan waktunya untuk bersantai seperti waktu kemarin, karena sudah banyak tugas yang menunggu untuk segera diselesaikan. Belum lagi praktek dan ujian yang sebentar lagi dilaksanakan, maka dari itu mulai dari sekarang aku harus mempersiapkan mental dan otak yang cukup untuk menghadapi semua itu agar aku bisa masuk ke perguruan tinggi yang ku impikan.
Seluruh murid pun juga sudah dipusingkan oleh tugas-tugas yang menumpuk beberapa hari ini, seperti saat ini Bu Andin menyuruh semua murid XII Sastra 3 untuk ke perpustakaan dan memberikan tugas kepada kami untuk mencari ciri-ciri majas beserta contohnya.
Dan disinilah aku sekarang, duduk manis dikursi perpustakaan sembari membolak-balikan buku novel dan mencari majas atau gaya bahasa yang terdapat didalamnya. Jemariku sibuk menelusuri setiap kata dalam novel itu, bola mataku bergerak kekanan dan kekiri, mulutku komat-kamit membaca setiap kalimat yang tersusun rapih.
Helaan napas panjang dapat ku dengar dari seorang gadis yang sedang duduk disamping kiriku, aku menoleh kearah gadis itu, sedari tadi ia sama sepertiku. Membaca buku dan mencatat ke buku tulis apa yang dianggap penting. Gadis itu menatapku, wajahnya tampak lelah—seperti sudah menyerah dengan tugas majas ini.
"Za, bantuin kek. Capek gue dari tadi baca tapi baru satu yang ketemu." ucapnya sendu seraya menatapku.
"Sama, gue juga baru ketemu beberapa doang, Zah." balasku tersenyum tipis.
"Hm, yaudah ah segini aja dulu nanti diterusin lagi," Zahra menutup buku tulisnya. "Ini juga udah jam istirahat, gue mau ke kantin dulu. Laper, lo mau ikut gak?" ajaknya yang kubalas gelengan kepala.
"Enggak deh, gue bawa bekal."
"Oke, gue duluan ya." Zahra bangkit dari duduknya dan menghampiri Sinta dan Dinda yang juga sudah menyelesaikan tulisannya.
Selepas Zahra, Sinta, dan Dinda keluar dari perpustakaan aku celingukan kekanan dan kekiri, melihat siapa saja teman sekelasku yang masih berada di dalam perpustakaan. Ternyata hanya tersisa beberapa murid saja, sedang yang lain sudah pergi ke kantin ataupun ke tempat lain.
Rentinaku jatuh tepat pada sosok tubuh jangkung itu, dia masih sibuk membaca tulisan dalam buku, sedang aku disini terpaku padanya sang sosok kelabu. Aku berpikir keras, apakah aku harus menghampirinya atau tidak? Aku menggigit bibir bawahku seraya menimbang-nimbang. Ah, perasaanku mengapa jadi gamang begini sih?
Entah, keberanian darimana, tanpa banyak berpikir tubuhku terangkat dari kursi yang kududuki dan melangkah mendekatinya.
Ku tempelkan bokongku tepat disamping cowok yang kini menoleh kearahku, aku tersenyum tipis seraya menetralkan pasokan oksigen yang kian menipis.
"Hai Dam, b--boleh ga-bung?" tanyaku seraya menyembunyikan nada gugup dalam setiap katanya.
Kulihat Adam sedikit menarik sudut bibirnya keatas, membuat raut wajahku seketika lega. "Oh, boleh, gabung aja." jawabnya santai lantas kembali fokus ke bukunya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silent
Teen FictionDalam diam aku menyimpan, sebuah kata yang sulit untuk ku ucapkan. Dalam diam aku memendam, sebuah rasa dalam rangkaian aksara. Dalam diam aku menyembunyikan, sebuah harap yang terpendam tanpa terungkap. Dalam diam aku menyebut namamu dalam setiap d...