***
Percaya adalah bagian penting untuk menciptakan hubungan yang baik dengan individu lain. Setiap manusia punya hak untuk percaya atau pun tidak kepada seseorang. Seringkali hati manusia menjadi sensitif, ia harus meragukan sesuatu lebih dulu agar bisa yakin untuk percaya pada orang lain.
Adrïen dan teman-temannya berhasil menyelesaikan permainan futsal dengan skor tiga banding satu. Tim Adrïen menang, itu membuat Liu dan Chris senang. Adrïen menemui keduanya dengan senyum hangat. "Bukankah aku hebat? Aku mencetak satu gol untuk tim lawan." Adrïen berseru. Liu memegangi dagunya, menatap Adrïen penuh arti.
"Kau memang hebat, Adrïen. Aku bangga padamu." kata Liu. Adrïen cengingiran sehingga gigi putihnya tampak sekilas. "Terima kasih, Liu." Adrïen meminum botol air mineral di tangannya. Ia sangat keren bahkan saat meminum air botol.
Adrïen memandangi Chris yang tidak bicara apa-apa. Adrïen berharap Chris mengucapkan satu kata yang menyenangkan hatinya tapi Chris tidak mengatakan sepatah kata pun. Gadis itu bergeming entah sedang memikirkan apa. "Kau tidak apa-apa, Chris? Apa kau takut pulang malam? Aku akan bertanggung jawab. Aku akan bilang pada orang tuamu bahwa kau terlambat pulang karena aku."
"Bukan begitu, Adrïen. Aku tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa. Aku sudah bilang akan pulang sedikit malam. Daddy mengizinkan aku menontonmu." Seharusnya pertandingan futsal itu selesai sore tadi. Hanya saja waktu istirahat diperpanjang. Nyaris dua jam. Entahlah, permainan futsal macam apa ini. Bahkan permainan futsal punya lapangan lebih sempit dari bola lapangan. Pelatih tim sepertinya mendramatisasi waktu.
"Aku minta maaf, Chris! Aku tidak tahu kalau jadwal permainan akan seperti ini." Adrïen menyesal. Dia tidak seharusnya mengajak Chris setelah dia tahu seperti apa kehidupan Chris di rumah. "Kau tidak harus minta maaf. Lagipula sebuah lomba lebih menyenangkan jika dilakukan malam hari. Aku pernah menonton pertandingan Lacrosse malam hari bersama Alex. Dan itu menyenangkan." Itu sudah enam tahun lalu. Waktu itu Chris hanya liburan musim panas di New York. Alex mengajaknya menonton permainan Lacrosse karena saat itu Alex punya pacar di salah satu anggota tim Lacrosse sekolahnya. Chris tidak terlalu ingat, tapi pada saat itu Alex baik padanya.
"Benar, Adrïen! Chris mengatakan hal yang benar." tambah Liu. Adrïen mengangguk, ia mengajak Liu dan Chris makan sebagai tanda permintaan maaf sekaligus traktiran untuk kemenangan timnya. Liu menyambut dengan semangat, begitu pun Chris. Adrïen memang ramah seperti yang beredar di sekolah. Adrïen bukan cowok songong ganteng.
"Aku tidak mengerti kenapa kalian berteman. Maksudku aku tidak terlalu yakin kalian bisa berteman secepat ini. Aku masih ingat saat pelajaran kimia waktu itu. Kalian bertengkar." Adrïen membuka pembicaraan ketika sampai di kedai makan. Liu menatap Chris seolah berkata tolong jangan katakan sejujurnya pada Adrïen. Dan Chris memahaminya.
"Pertemanan memang rumit. Dan ya, kami berteman sekarang." kata Chris lalu menarik senyum simpul. Liu merasa bersyukur. Chris tidak seburuk yang ia bayangkan. "Aku merasa cocok dengan Chris. Kami berdua tidak populer di sekolah. Kupikir ketika dua orang yang lemah bersatu akan menciptakan kekuatan dahsyat." Adrïen mengangguk-angguk. Ia menyantap sandwich yang ia pesan di kedai yang ditempatinya saat ini. Dia berusaha percaya apa yang dikatakan Liu dan Chris. Ia sedikit lega karena Chris sudah punya teman selain dirinya.
"Oh ya, kau tadi bilang kau dan kakakmu Alex pernah menonton pertandingan Lacrosse. Apa kau menyukai permainan itu, Chris?" Permainan Lacrosse sangat populer, bahkan mengalahkan betapa populernya tim basket dan tim softball sekolah. "Sebetulnya aku hanya menyukai pria yang bermain Lacrosse. Seorang cowok akan terlihat keren saat memakai helm dan kaos tangan ketika bermain Lacrosse." Chris mengakuinya jujur.
"Aku setuju, Chris. Permainan Lacrosse sedikit kasar. Itu permainan untuk cowok berotot. Aku rasa pemain Lacrosse adalah yang terbaik dan paling keren di setiap sekolah." Liu menjelaskan dengan semangat. Tak lama ia menyadari Adrïen menampakkan mimik datar seolah ia sedang berkata jadi aku tidak keren ya. "Maksudku adalah pemain sepakbola juga keren. Permainan sepak bola yang paling terkenal. Kau keren berada di tim sepakbola, Adrïen." ujar Liu cepat.
"Kau tidak usah menghiburku, Liu. Lacrosse memang sedang tren sekarang. Apa aku masuk tim Lacrosse sekolah saja? Aku juga penasaran dengan permainan itu." Adrïen sangat ingin menyenangkan Chris. Mungkin gadis itu akan bahagia jika Adrïen tahu banyak soal Lacrosse. "Kau sudah populer di tim bola, Adrïen! Kalau kau bergabung di tim Lacrosse aku yakin kau hanya akan mendapat posisi cadangan. Itu akan membuat semua cewek New Utrech patah hati. Pokoknya kau harus tetap di tim sepakbola sekolah." Liu menyukai Adrïen karena cowok itu ganteng dan jago main bola.
"Benar, Adrïen. Tak ada bedanya kau masuk tim Lacrosse atau tidak. Kau sudah punya kedudukan baik di sekolah ini." Chris menambahkan. Adrïen mempertimbangkannya. Apa yang dikatakan Chris memang benar. Akan aneh kalau dia masuk tim Lacrosse dengan alasan tidak masuk akal. Lagipula dia sudah terkenal di tim sepakbola.
"Baiklah, aku akan tetap berada di tim sepak bola." kata Adrïen. Liu merasa tenang. Ia tersenyum lebar sampai pipinya yang bulat tampak seperti kepalan tangan. Liu Xiang sangat lahap makan. Tubuhnya semakin hari semakin gempal. "Aku rasa kau harus diet sebelum tubuhmu meledak." Adrïen bercanda. Chris dan dirinya tertawa. Liu murung, lalu kemudian tertawa di menit kemudian.
Tiga puluh menit berlalu, Adrïen mengantar Liu pulang lebih dulu. Setelah itu ia mengantar Chris pulang. Adrïen takut Chris dimarahi oleh ibu tirinya. Ia ingin mengantar Chris masuk rumah. Namun Chris bilang ia tidak apa-apa. Adrïen pulang setelah Chris menenangkannya.
Chris masuk ke dalam rumahnya dengan langkah hati-hati. Ia tidak mau kejadian yang sama terulang kembali. Dia tidak akan membiarkan dirinya di siksa lagi. Chris berada di dalam rumah, dan dia tak menemukan siapa pun di dalam rumah itu. Chris naik ke lantai atas kamarnya. Dan berbaring karena merasa lelah. Tadinya ia mau membereskan rumah tetapi rumah sudah bersih dan rapi.
Chris berbaring. Ia nemandangi kalender yang tertempel di dinding. Ada lingkaran tanda di bulan Agustus. Hari ini adalah hari ulang tahun Alex. Chris melompat dari tempat tidurnya. Dia mengecek ponselnya dan baru menyadari ada dua puluh panggilan tak terjawab dari Zach dan satu pesan dari cowok itu.
"Alex sedang berulang tahun. Pulanglah secepatnya. Kau harus menghadiri pestanya."
Setelah membaca pesan Zach, Chris segera berlari menuju vila di belakang rumah. Chris tersengkal-sengkal. Langkahnya terhenti saat menyaksikan pesta Alex yang meriah. Alex bahagia di sana. Ada Zach yang memeluknya, ada Melissa dan Bruce yang menyemangatinya serta teman-teman Alex yang sesama desainer. Chris merasa ada rasa iri muncul dalam hatinya. Ia melihat pakaiannya yang biasa saja. Chris yakin kehadirannya hanya akan membuat kebahagiaan Alex memudar. Murung, Chris berbalik untuk kembali ke rumah. Tapi Melissa melihatnya dan memanggilnya. Melissa menyuruhnya bergabung.
Chris ragu tapi tetap melangkah mendekati rumah vila. Zach tersenyum padanya. Senyuman Zach selalu membuat Chris tenang. Seolah senyuman pria itu bercampur obat penyejuk. "Siapa dia Melissa? Dia sangat cantik, hanya saja pakaiannya sangat biasa. Seperti tidak sedang mengikuti pesta ulang tahun."
"Namaku Christine--" Chris ingin mengucapkan nama belakang ayahnya namun ia merasa berat menyebut nama itu. "Dia adalah budak di rumahku. Dia berasal dari Asia. Wajahnya memang cukup cantik untuk jadi pembantu. Katakan saja jika kalian butuh sesuatu Chris akan melayani kalian." Melissa tersenyum ramah ke arah teman-temannya.
"Kau baik sekali pada pembantumu, Melissa. Kau memerhatikan pakaiannya. Blusnya terlihat bermerek. Kau pasti merawat Chris seperti anakmu sendiri." Melissa tersenyum anggun. Itu sangat menjijikkan di mata Chris. Betapa Melissa haus akan perhatian orang-orang. Chris mengepalkan tangannya. Dia membenci hidup seperti ini. Terabaikan dan tidak diperlakukan dengan baik. Dia bukan budak.
"Chris, bisakah kau tuangkan bir di dalam gelasku?" Salah satu teman Melissa memerintahnya. Chris tidak bergerak di tempatnya. Ia melirik Ayahnya, berharap ayahnya tak mengecewakannya untuk kesekian kalinya. Nyatanya ayahnya masih orang yang sana, yang mengacuhkannya setiap saat. Ayahnya seolah mengiakan bahwa dia hanyalah pembantu.
Andaikan bukan pesta Alex, Chris akan mengamuk. Dia hanya tidak ingin merusak pesta Alex. Ia bersabar demi Zach. Chris melihat Zach mengangguk padanya seolah memintanya untuk berpura-pura jadi pembantu. Ini menyangkut harga diri, namun Chris melupakan harga dirinya untuk sesaat. Miris, Chris tidak diundang sebagai tamu di pesta kakaknya. Ia di sini sebagai orang paling tidak diinginkan. Hanya pembantu yang tidak pantas dipandang mata. Mungkin tidak ada yang memercayai, Chris.
See u next time!
@erwingg__ dan @sastrabisu
KAMU SEDANG MEMBACA
Havana (Christine Reine) 21+
Fiksi UmumChris (Christine) selalu merasa bahwa Alex (Alexis) saudara tirinya terlahir sempurna. Wajah yang cantik, keluarga yang hangat, dan pacar tampan serta baik hati. Chris menjalani hari-hari sulitnya di New York. Ditindas teman sekolahnya, diabaikan A...