Hari ini sudah aku bulatkan tekat bulat-bulat. Bahkan sudah disertai doa dengan sungguh-sungguh, bahwa ini adalah jalan terbaik. Setidaknya yang masih mampu aku perjuangkan sebagai seorang istri. Aku hanya berharap memang itulah jalan terbaik yang memang bisa menjadikan segala sesuatunya jelas.
Ditambah aku meminta Rere sahabatku untuk mendampingi selama aku mencoba penyelesaian ini. Aku sangat mengharap jika segala sesuatunya tetap terkendali. Mengingat keputusanku untuk menemui Stefan kembali sungguh sangat beresiko, dengan kemungkinan bisa saja berakhir kalap diakhir.
Tetapi aku masih mencoba berpikir positif tentang keputusanku ini. Semoga dengan ini hatinya bisa terbuka, dan kami bisa memperbaiki bersama. Karena memang masalah ini tidak bisa kami selesaikan secara sepihak.
Jadi, aku nyatakan pada diriku sendiri. Bahkan kemungkinan terburuk pun harus siap aku terima. Walaupun, itu berarti aku gagal dan tidak bertanggung jawab atas keputusanku.
Tapi, toh berspekulasi terlalu dini itu tidak baik. Karena itu berarti aku tidak benar-benar menyerahkannya pada yang seharusnya menggariskan jalannya. Bukankah yang seharusnya aku lakukan adalah melakukan bagianku dengan sangat baik. Supaya dia sendiri bisa melihat kalau itu bukan syarat untuk bisa hidup bersamaku, namun dia bisa melihat itu sebagai sesuatu yang layak dihidupi dari kesaksian hidupku.
Sembari terus aku mengingat janjiku untuk tetap setia dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sehat maupun sakit. Sampai maut memisahkan kami berdua, yang mana itu dengan sendirinya menuntut diriku memberi yang terbaik untuk dirinya. Bukan menuntut dia memahamiku. Karena memang itu panggilan hidupku dalam hidupnya ketika aku berani memutuskan mengikrarkan janji pernikahan di depan altar. Kenangku selalu ketika aku berusaha menguatkan diriku sendiri.
Aku benar-benar berusaha menenangkan diriku sendiri saat ini. Begitu sosok Stefan muncul menuju ke arahku. Sebagai konfirmasi kalau dirinya bersedia bertemu denganku.
"Hai..." sapanya begitu sampai didepanku dan langsung mengambil kursi untuk duduk.
Aku hanya tersenyum menyambut kedatangannya.
"Duduk dululah Stefan. Aku ingin kita sedikit berbincang." kataku akhirnya memulai.
"Baiklah, tapi jadinya sekarang.... Bagaimana Stefi, apakah ini berarti kita akan kembali pulang?" tanyanya dengan nada penuh harap tanpa basa-basi. Ya, aku sangat mengenal wataknya.
"Stefan, aku rasa kau keliru jika maksudku disini berbincang hanya sekedar menyerahkan diriku kembali pergi. Aku ingin mengatakan sesuatu." kataku akhirnya.
"Baiklah... Aku siap mendengarkan." katanya akhirnya.
"Stefan, kau tahu aku sangat mencintaimu. Aku sangat berharap bisa kembali pulang bersamamu sebagai seorang yang bisa berbagi dan berjuang bersama dalam setiap masalahmu. Termasuk masalah yang kita hadapi terakhir, dapatkah kita memperjuangkannya bersama. Tanpa meninggalkan bekas luka yang nampak sakat mata?" tanyaku to the point.
"Stefi kau tahu aku tak pernah bermaksud melakukannya. Aku hanya.... Ya terbawa emosi." katanya lagi dengan nada melemah.
"Stefan...." kataku lagi. "Aku percaya kau orang yang baik dalam sudut hatimu, aku bisa merasakannya. Termasuk ketulusanmu memintaku kembali aku menghargai. Tetapi sejujurnya aku menghatapkan lebih dari ini. Karena aku ingin kita bisa saling terbuka dan menerima penyebab kau memutuskan memilih penyelesaian yang selama ini membekas biru pada diriku." kataku
"Lalu apa yang kamu harapkan agar kita bisa kembali lagi?" tanyanya.
"Aku tak mengharapkan apapun Stefan. Selain dari kesediaanmu terbuka. Menceritakan apa yang membuatmu selama ini tak pernah bisa mengontrol diri. Aku berharap kita sama-sama bisa mencari dan menyelesaikan permasalahan ini bersama. Apa kau bersedia?" tanyaku lagi.
"Jadi, itukah persyaratan yang kamu beri buat aku??" tanyanya.
"Tidak Stefan. Apa yang aku minta ini bukan syarat, karena hal ini akan aku pertanyakan dengan siapa pun aku berharap bisa menjalani sebuah hubungan. Aku menanyakan hal ini padamu alasannya tentu aku sangat berharap bisa menjalani hal ini berdua denganmu. Tergantung apakah kamu akan setuju atau tidak." kataku akhirnya.
"Jadi hanya itu? Apa tidak cukup selama ini pengorbananku? Merendahkan diri untuk memintamu kembali?" tanyanya
"Stefan, ini tidak melulu soal kita. Ketahuilah Stefan, selama ini memang ada yang aku sembunyikan darimu. Yaitu adanya benih yang saat ini dipercayakan hidup dalam diriku. Tidak bisakah kita sama-sama mengajarinya nanti tentang artinya hidup saling mengasihi dalam sebuah keluarga. Tanpa perlu meninggalkan jejak trauma dalam dirinya?" ucapku akhirnya
"Jadi, selama ini...."
"Iya, kamu calon ayah sekarang. Apa selama ini kamu tidak merasa?"
"Aku... Hanya tidak menyangka kalau hal ini akan berlangsung begitu cepat." katanya terkejut
"Tidak ada yang terlalu cepat kalau itu adalah hal yang memang benar-benar kita harapkan."
"Stefi, terimakasih. Kamu sudah mau buat aku jadi ayah yang beruntung. Kalau memang ini jalannya. Aku berharap kita bisa sama-sama menjalani dan aku janji aku akan berubah demi kamu. Juga anak kita....." katanya dengan mata berkaca
"Stefan, aku tak pernah meminta. Aku berharap dengan hadirnya benih dalam diriku saat ini. Bisa menjadi penyemangat kita untuk jadi lebih baik lagi. Terutama aku menyadari memang tak gampang jadi orang tua. Tetapi aku berharap kita bisa sama-sama." kataku
Dibarengi isak Stefan yang mulai pecah perlahan. Saat inilah pertama kalinya aku lihat Stefan mulai mau membuka ceritanya. Tentang trauma masa kecilnya. Juga harapannya untuk bisa menjadi ayah yang sempurna. Mengingat dirinya tidak pernah merasakan sosok ayah dalam hidupnya. Ada kerinduan yang aku lihat dalam hatinya, tentang sebuah harapan baru.
Sekali pun kamu tidak pernah merasakan. Tetapi belum tentu kamu tidak bisa menghadirkan hal itu untuk orang lain. Justru jadikan itu sebagai motivasi untuk membarikan yang terbaik bagi orang yang kamu kasihi. Batinku sembari mengingat semua hal baru yang aku pelajari hari ini.
Yaitu cinta adalah sebuah panggilan untuk membawa orang lain hidup dalam kebenaran. Tak peduli seberat apapun cobaan cinta tidak akan pernah pudar karena akan selalu kamu bakar untuk menjadi penyemangat dirimu. Lebih mengenal arti kebenaran itu, yang nantinya akan kamu ajarkan pada orang yang kamu sayangi. Bukan sebagai syarat untuk hidup bersama. Tetapi sebagai suatu hal yang layak dihidupi dari kesaksian hidupmu........
Hai.... Gimana??? Udah pada baperkah??? Kalau iya vote dan komen ya..... Jangan lupa follow aku juga buat tau update kelanjutan cerita ini.... Bantu share ke temen2 juga yah........
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Pasangan Kopi
ChickLitCerita seru yang bikin nggak berhenti mempertanyakan apa itu cinta. Private acak buat nambah follower. Bersatunya dua insan itu ibarat kopi susu. Kopi mungkin terasa nikmat dengan pahitnya, susu terasa nikmat dengan gurih dan legitnya. Begitu pula s...