Aku duduk, memandanginya yang berada di seberang sana. Meski terhalang kobaran api unggun, namun aku masih bisa melihat senyumnya. Dia tengah tersenyum, tangannya begitu lihai memetik senar gitar diiringi Edvan yang bernyanyi sambil menepuk-nepuk tangannya.
Beberapa menit berlalu aku hanya diam mencuri tatap. Namun sebuah bisikan di telinga menyadarkanku seketika.
"Ardan nyanyi... bukan Edvan lagi."
Aku mengerjap, merasa tidak percaya akan apa yang kudengar saat ini. Sampai tepat ketika dia menyanyikan lirik yang mengundang sorakan dari teman-teman semua.
Kuingin menjadi sang bulan... yang kan slalu terangi gelap malammu.
Kuingin menjadi sang bintang.
Yang kan slalu hiasi indah malammu.Tatapanku terkunci oleh tatapannya. Aku terpaku, pada bibir itu. Senyum kecil yang terbesit seperti pelangi pada malam hari, terlihat indah dan benar nyata.
Dia menatapku dengan senyum itu. Bodohnya aku yang justru menunduk, memilih berdiri untuk pergi meninggalkan tempat tersebut.
Aku merutuki diriku sendiri. Bukankah tujuanku ke sini untuk menyelesaikan semuanya? Lalu, mengapa aku justru berlari?
"Aku balik ke Villa duluan ya? Capek," pamitku pada Widi dan Desi. Tanpa menunggu jawaban apakah mereka mengizinkan atau tidak, aku berjalan pergi begitu saja.
Aku tidak tahu apa alasannya. Namun, melihat dia seperti tadi membuat kedua mataku memanas. Perih dan rindu yang selama ini kupendam bercampur menjadi satu.
Merindukannya seperti terhimpit, dadaku terasa sesak tak berujung.
********
Astaga. Aku mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa aku lupa meminta kunci kepada Diana?
Haruskah aku kembali ke sana? Aku menggeleng, menolak untuk tetap pada pendirianku. Menghindari dia sampai besok. Yah.. hanya sampai besok. Akhirnya, pilihan terakhirku adalah menikmati malam sendirian.
Dari depan teras Villa, aku menatap langit malam yang nampak begitu cantik. Jutaan cahaya bintang yang bersinar dan berkedip, ditemani rembulan purnama membuatku sedikit bahagia. Hembusan Angin malam yang berasal dari beberapa pepohonan yang tumbuh di sekitar Villa menyapu permukaan kulitku yang tidak terlapisi kain.
Dingin. Itulah yang kurasakan. Seperti kehampaan yang melanda hatiku selama ini. Seperti sebuah perasaan layaknya kapal terombang-ambing di tengah lautan.Tiba-tiba, seseorang hadir, menyampirkan jaket pada bahuku sambil berkata, "seharusnya pakai jaket. Semakin malam, udara di puncak akan semakin dingin. Nanti kamu bisa sakit," katanya yang kemudian berdiri di samping kanan dengan keadaan tangan terbungkus kantung celana, tatapannya menengadah, menatap jutaan bintang di langit. Rambut hitamnya sedikit menutupi dahinya. Entah mengapa aku merasa semakin terlihat pendek saja berdiri di sisinya seperti ini.
5 tahun bukanlah waktu yang sebentar, selama itu kita tidak pernah lagi bertemu, bahkan benar-benar hilang contact. Dalam posisi seperti sekarang, aku bertanya-tanya dalam hati. 'Apakah ini nyata? Dia di sampingku.'
Namun aku sadar, saat aku melihat jaket yang tersampir pada pundakku. Jaket ini adalah jaket yang dulu sempat aku tukar dengan jaket milikku.
Perhatian kecil yang dia berikan lagi-lagi membuat hatiku mencelos sedih. Kenyataannya sekarang seperti ada jarak yang membentang jauh memisahkan kami berdua. Terkadang aku tertawa miris. Kami yang dulu sedekat nadi, kini justru sejauh langit dan bumi.
"Apa kabar?" Buruk. Ingin sekali lidah ini bersuara. Namun nyatanya terlalu kaku.
"Kamu banyak berubah, ya?"
Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala——konyol.
Karena merasa jika sedari tadi aku tidak bersuara, sekilas dia memandangku, hanya dalam beberapa detik saja.
"Aku harap kamu baik-baik saja selama ini." Kembali dia memandang langit.
Dia tersenyum——ke arah langit malam. Aku terpaku sejenak, melihat sekilas senyum miliknya yang dulu bagaikan hujan membasahi tanah gurun pasir yang kering, walau hanya sebentar, namun air yang jatuh benar-benar sangat berharga untuk beberapa tanaman yang hidup di gurun tersebut. Sudah lama tidak pernah lagi kulihat sejak 5 tahun yang lalu.
Bahkan, aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu, bersanda gurau, sekadar saling sapa. Andai kejadian itu tidak pernah terjadi, andai semua waktu bisa diulang, mungkin sampai sekarang semua akan baik-baik saja.Hingga kemudian dia menoleh-kearahku.
"Ada sesuatu yang ingin kuberikan."
"Apa?"
Dari balik saku celananya, dia mengambil sebuah benda.
"Untuk kamu," ucapnya.
Dia menyerahkannya sesuatu kepadaku. Kunci dari semua pertanyaan yang selama ini menghinggapi kepalaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Bukan Berarti Hujan
Kısa Hikaye"Untuk kamu yang mungkin tidak pernah tahu atau sekadar berpura-pura tidak pernah mau tahu, di sini aku duduk termenung memikirkan cara bagaimana menitipkan rindu ini untukmu." _______Aluna______ Amazing cover by @trooyesivan WARNING: BEBERAPA PART...