Bagian 2.3 Duel Penyihir

189 35 11
                                    

"Pada zaman dahulu, Normar berada di ambang kehacuran karena terus menerus diserang oleh naga, orc, goblin, troll, dan monster lainnya. Namun ketika bangsa penyihir muncul ke permukaan, para Normar juga ikut aman. Itu merupakan bukti kalau sihir adalah kekuatan dari umat manusia itu sendiri." Dengan keras, tegas, lamun perlahan, Demian menjelaskan pemikirannya padaku.

Tak kalah tenang, aku berdiri dari dudukku dan berputar menghadap Demian. "Seandainya para penyihir tak muncul, aku yakin para Normar akan tetap bertahan. Mereka cuma butuh waktu. Manusia bukanlah makhluk yang bodoh. Kendati lambat, mereka terus berkembang. Senjata berteknologi modern akan bermunculan untuk menambah kekuatan manusia."

Demian menggelengkan kepala. "Selama tak ada bukti, perkataanmu hanya sekadar hipotesis belaka. Mari coba lihat fakta saja. Kastel megah ini, Istana Kekaisaran Agung, jalur perdagangan, transportasi, komunikasi, dan kemiliteran, itu semua dibangun menggunakan sihir. Tidakkah hal tersebut membuktikan kalau peradaban manusia tidak bisa maju tanpa sihir?"

"Justru itu membuktikan kalau manusia terlalu bergantung pada sihir," timpalku sengit. "Kendati tanpa sihir, manusia masih bisa membangun bangunan megah, menciptakan jalur perdagangan, membuat transportasi, berkomunikasi jarak jauh, dan membuat kekuatan militer."

"Dengan cara apa?"

"Dengan akal mereka. Sudah aku bilang, manusia adalah makhluk yang berkembang. Ketika memiliki kebutuhan, manusia cenderung berpikir, kemudian menciptakan suatu inovasi."

"Lalu, kenapa sampai sekarang inovasi itu tidak ada?"

"Karena semua kebutuhan manusia telah ditutupi oleh sihir. Mungkin ini cukup kasar, tapi menurutku, sihir adalah faktor yang membuat manusia mengalami stagnasi peradaban."

Demian memejamkan mata, lalu menghela napas. "Mr. Redforest, pemikiran Anda terlalu objektif. Anda mesti sadar. Hanya karena Anda payah dalam sihir, Anda tetap tak boleh menciptakan teori penenang hati yang cocok denganmu."

Seketika, aku terdiam. Bukan karena kehabisan kata-kata, tapi karena suatu perasaan tak menyenangkan, merangkak masuk ke dalam dadaku. "Noblesky... tarik kembali kata-katamu."

Aku bilang begitu, tapi Demian tak menggubrisnya. Dia malah memasang wajah kasihan yang amat menjijikkan. "Mr. Redforest, jujur, aku sangat menghormati kecerdasanmu. Aku juga kagum padamu yang berusaha menciptakan alat-alat pengganti sihir—meskipun aku yakin itu mustahil. Jadi, aku mohon untuk berpikir lebih bijak lagi soal hal ini."

"Noblesky! Apa yang kau tahu soal diriku?!"

"..."

Tanpa sadar, aku mulai melangkah keluar dari bangku-ku dan berjalan ke arah Demian. "Manusia memiliki potensi selain sihir. Itu pasti adanya. Sihir bukanlah berkah Tuhan. Sihir bukanlah kekuatan tertinggi umat manusia. Sihir adalah penghambat kemajuan teknologi!"

Tiba-tiba, aku terhenti. Ada sepasang tangan pria yang menahanku. Rupanya si Gildwalk. "Redforest! Kau sudah keterlaluan. Keluar sekar..."

"Duel..."

"...?!"

"Demian Noblesky! Aku, Fafner Redforest, menantangmu dalam duel penyihir!"

#

Dalam sekejap saja, berita soal aku yang menantang Demian pun tersebar ke seluruh akademi. Bukan hanya di kalangan murid, melainkan di kalangan guru juga. Yang menjadi wasit adalah Gildwalk. Pertandingan akan dilaksanakan pada Sabtu pagi, pukul 9, di arena duel Akademi Tinggi Sihir Roftor.

Sore harinya, di kamarku, aku kedatangan dua tamu tak diundang: Hannah dan Anna.

"Bodoh! Kau itu memang benar-benar bodoh, ya?! Apa yang sebenarnya kau pikirkan, sih?!" tanya Hannah dengan menggebu-gebu. "Kau tak akan menang melawan Demian! Cepat batalkan duel ini!"

Scientist in Magic AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang