Minta Kawin 2

1.9K 70 4
                                    


Pemuda berkaus hitam berbadan cungkring itu masuk ke dalam rumahnya yang tepat di pinggir jalan raya. Sore hari, halaman rumah berukuran lima kali tiga meter itu akan berubah menjadi warung penyetan. Masakan Bu Sri, emak Sani sudah terkenal kelezatannya.

"Maak  ... emak di mana ..., aku mau ngomong!" Sani berteriak, ia melemparkan sandal sekenanya waktu masuk.

"Di dapur, Le. Lagi nyuci ayam!"

Pemuda berhidung sedang itu langsung menuju dapur. Tampak beberapa bak kecil berisi terong, kubis, kemangi, aneka macam bumbu, tahu dan tempe yang sudah dipotong, serta lele tanggung sudah bersih siap diolah.

Ia berdiri di samping emaknya, membantu mencuci beberapa kilo ayam.

"Mak, aku mau ngomong. Tapi jangan di marahi ya. Janji."

"Iya, iya. Ngomong aja, Nak."

"Aku nggak mau nerusin sekolah, Mak. Mau ngawinin Lina."

Sejenak, Sri menghentikan aktifitasnya. Hampir saja paha ayam meloncat dari genggaman. Bibir tipisnya komat-kamit entah membaca apa. Ia kenal betuk watak jejaka satu-satunya itu.

"Lina siapa, Le?" Sri meneruskan pekerjaannya, padahal hati ibu muda itu penuh gejolak. Ingin menjejalkan potongan ayam ke dalam mulut Sani.

"Itu, Mak. Pacar Sani anak panti depan sekolah. Dia baik, cantik, salatnya nggak pernah bolong, Mak."

"Apa kamu sudah siap menikah, Le? Umurmu baru genap enam belas tahun lima bulan lalu."

"Siap, Mak! Malahan aku takut dosa kalau enggak segera nikah. Sani nggak mau kayak teman-teman lain. Mereka parah, Mak. Sampai ada yang hamil, lo."

Kali ini, Sri benar-benar mencengkeram potongan ayam sampai dagingnya penyet. Wanita berbadan sintal itu mematikan keran. Lalu memandang manik hitam putranya. Tajam.

"Hamil katamu?"

"Iya, Mak. Si Indah anak kampung sebelah. Dia dikeluarkan dari sekolah."

"Kamu nggak macem-macem sama anaknya orang, kan, Le?" Sri menyentuh tangan jejakannya.

"Nggak lah, Mak. Aku kan nggak mau nama emak tercemar. Makanya aku minta ijin buat kawin."

Kapala Sri mendadak pusing. Ia senang sekaligus prihatin dengan masalah yang dihadapi putranya.

Senang karena Sani mau jujur, sekaligus sedih karena Sri tidak tahu jalan keluarnya.

"Sebentar, Nak. Kamu teruskan mencuci ayam. Emak akan segera kembali." Perempuan montok itu menyambar kerudung oranye, ia tergesa keluar rumah.

Ayah Sani yang bekerja puluhan tahun pada perusahaan ekspedisi telah meninggal sebelas bulan lalu. Motornya ditubruk truk pengangkut pasir. Tewas seketika. Kalau dikatakan kematian membawa berkah, itulah yang dirasakan Sri.

Kematian suaminya membawa uang tunai sebesar dua ratus juta. Berasal dari uang asuransi, uang pensiun, uang jasa marga dan uang-uang lain yang Sri pun tidak tahu namanya. Bahkan sekolah Sani biayanya ditanggung oleh perusahaan ekspedisi, itu pun setiap bulan masih  sisa dua ratus ribu. Mereka berjanji akan membiayai Sani hingga lulus kuliah kemudian merekrutnya kerja di sana.

Sri membeli rumah yang selama ini dikontraknya untuk usaha jualan penyetan dari wak Soleh, seorang pengusaha di bidang properti yang disegani di kampung. Kontrakan rumah dan kostnya luar biasa banyak. Dia memberikan harga murah pada orang tak mampu yang menyewa. Dia tidak mau dipanggil Gus atau Kyai. Padahal dari keturunan trah pesantren.

Tujuh belas tahun lalu, Sri yang baru lulus SMP menikah dengan suaminya yang tak jauh berbeda usianya. Mereka merantau ke kota, mencoba berbagai peruntungan. Akhirnya menetap di kampung Kenanga ketika kandungannya berusia delapan bulan sampai saat ini.

"Jangan meniru emak yang nikah muda, Le." bisik Sri pada dirinya sendiri.

Wanita berwajah bulat itu masuk ke dalam pagar hitam. Mengucapkan salam keras-keras dan di sambut seorang perempuan paruh baya. Istri pertama Wak Soleh.

Sri mencium tangan Umi Nayah. Lalu mereka masuk rumah. Wak Soleh sedang menikmati secangkir kopi.

"Tumben ke sini, Sri? Ada yang bisa kami bantu?" Lelaki berperut gendut itu membuka pembicaraan.

Dengan cepat, Sri menceritakan tentang keinginan anaknya.

"Bagaimana ini, Wak. Saya bingung."

Wak Soleh dan istrinya tersenyum simpul.

"Dunia memang sudah edan, Bagas, putra sulungku yang berusia hampir empat puluh tahun saja belum berani menikah. Lha ini, bocah bau kencur sudah ngebet kawin." Wak Soleh terkekeh, "tenang saja, Sri. Serahkan urusan ini ke aku. Asal kamu manut saja dan nggak usah bertanya-tanya."

"Iya, Wak. Kuserahkan Sani sama Wak Soleh."

"Kamu pulang saja sekarang, dan suruh Sani ke sini."

"Baik, Wak. Umi, monggo ...."

Sri berpamitan, kembali ke rumahnya dengan hati setengah tenang. Dia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Wak Soleh pada putranya.

"Sani, Wak Soleh guru ngajimu mau bertemu denganmu sekarang, Le."

"Pasti emak nih cerita sama Wak Soleh," tuduh Sani.

"Nasibmu kuserahkan sama Wak Soleh, Le. Kalau dia setuju kamu kawin maka emak juga setuju. Ayo segera temui sana!" Sri menendang bokong Sani.

Pemuda berbibir tipis itu merengut. Berjalan gontai sambil menggaruk leher yang tidak gatal. Dia lumayan keder berhadapan dengan guru ngajinya sejak kecil itu.

Bersambung

Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di HazerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang