Minta Kawin 9

979 67 4
                                    


Asem! Asem! Damput! Untung saja Mas Bagas melarangku nonjok cowok belagu itu, kalau tidak, bisa hancur mukanya kena tinju ini. Ingin rasanya memotong tangan yang menggerayangi tubuh indah Lina, merobek mulut yang nyosor sembarangan.

Kemarahan kulampiaskan pada kendaraannya. Lumayanlah bisa nendang motor jelek! Huh huh! Rasakan tendanganku! Eh kaca spionnya bengkok, bagaimana ini. Nggak ngurus, ah. Biar dia dimarahi sama orang tuanya, kalau perlu biar dia dipecat jadi anak. Enak saja merebut adinda Lina.

Setelah menendang motor sampai terjungkal, aku berjalan jumawa. Uap panas terasa mengepul dari ubun-ubun. Sakit hati sedikit terobati. Awas kamu, Dinda! Tunggu pembalasanku. Berani-beraninya selingkuh di belakangku. Kalau di depan bukan selingkuh, tapi pendaftaran. Aseeem!

"Sani, ayo ikut aku." Mas Agas memerintah. Lelaki macho itu memberi kode supaya aku masuk mobil.

Kendaraan segera meluncur entah ke mana. Aku tidak memerhatikan karena sibuk dengan kemarahan. Mas Bagas nggak bawel, dia ngerti banget kalau di saat seperti ini kaum lelaki hanya butuh ketenangan.

***

Kenangan bersama Lina menerjang seperti air bah, semua terekam jelas di otak pintar ini. Dia teman sejak SD. Waktu kecil, kami saingan nilai. Lina selalu mendapat ranking pertama, aku yang kedua, ehem, dari bawah. Ia seorang gadis manis yang selalu dikucir dua, serta cantik meskipun anak yatim piatu. Waktu itu aku tidak paham apa artinya, pokoknya harus dapat mengalahkan ranking Lina itu! Bagaimanapun caranya.

Semua buku pelajaran kulahap habis, waktu kugunakan untuk banyak belajar sedikit bermain, tapi ya nggak nyambung-nyambung. Ngaji tetap nomer satu. Kalau berani bolos, alamat ulekan emak bakal mampir di mulutku. Iiih jahat. Tujuan hidupku hanya satu. Ingin mengalahkan Lina.

Akhirnya doa dan usaha membuahkan hasil. Nilai lumayan ujian nasional dalam genggaman. Bebas masuk sekolah mana saja dengan tes. Eleh. Anehnya, aku malah nggak bahagia ketika melihat Lina menangis tersedu sambil memegang kertas ulangan. Nilainya anjlok. Ingusnya mengalir deras, lalu disedot sedemikian rupa. Lalu mengalir lagi, disedot lagi, begitu terus sampai negara api menyerang. Haaah.

Itulah pertama kalinya aku jatuh cinta. Dia begitu manis kalau menangis. Kecuali cairan hidung, itu sudah asin dari sononya.

Lina memutuskan masuk Madrasah Tsanawiyah. Aku dengan sadar mengikutinya. Padahal sebenarnya cita-citaku ingin masuk SMP negeri favorit. Tapi demi cinta, apapun rela kulakukan. Eaaa.

Gayung belum bersambut. Semasa MTS, Lina menjadi sombong. Dia nggak mau ngomong sama aku. Wajahnya selalu judes bila nggak sengaja tatapan kami bersirobok. Padahal satu kelas.

Ujian semester satu, aku mengalah. Sengaja menjawab beberapa soal dengan ngawur. Nilaiku anjlok meskipun masih tiga puluh besar. Lina tetap rangking dua. Tapi sikapnya masih jutek. Apa dia nggak tahu pengorbananku? Dasar gadis manis! Eh.

"Lin, aku mau ngomong sama kamu," ujarku waktu jam istirahat.

Waktu itu baru saja beberapa hari masuk kelas dua. Kucegat di depan kelas.

"Ngomong apa!" judesnya sambil mengibaskan kerudung.

"Aku mau jujur sama kamu. Sebenarnya aku ... aku ... su ...," belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, Lina berlari sambil menutup telinga.

Secara reflek, aku segera mengejarnya. Jadilah kita seperti film India yang berlarian mengelilingi taman, eh halaman sekolah.

"Lina! Tunggu! Aku suka kamu Liiiin. Lina ...!" teriakku sepenuh hati, tak memedulikan pandangan geli warga sekolah.

"Nggak! Nggak mau ... aku nggak suka kamu Sani! Berhenti! Jangan mengejarku ...!" balasnya sambil terus berlari, mengangkat rok biru panjang.

"Berhenti, Lin! Aku suka kamu!" kaki ini akhirnya bisa menyusul Lina.

Aku menyesuaikan kecepatan lari. Kita berlari beriringan. Sangat romantis.

"Enggak! Enggaaak! Aaah!"

Karena terlalu fokus padaku, keseimbangan Lina hilang. Dia terjerembab mencium paving. Dasar gadis keras kepala! Sudah tahu telapak tangannya berdarah tergores semen beton, dia tetap tidak mau menerima pertolonganku.

"Pergi ...!" Lina teriak menolak uluran tanganku.

Kakinya menendang-nendang liar. Menyingkap sedikit rok. Betis berbulu halus terlihat, pemandangan itu menancap kuat di sanubari. Ingin sekali mengelusnya. Aaaah! Sempat-sempat aja berpikiran jorok.

Guru olahraga mendekati kami, dia menyerobot kesempatan emas. Seenaknya saja memapah Lina ke ruang UKS, meninggalkan aku yang masih dalam posisi setengah membungkuk. Baru kusadari, sekeliling halaman sekolah penuh anak yang bertepuk tangan, bersuit bahkan julurin lidah. Emangnya permen mau dijilat. Wuek.

Tapi Sani ini tak patah arang. Dengan modal ponsel hasil ngerengek tiga hari dua malam pada emak, kutanya pada mbah google cara mencuri hati gadis idaman. Si embah memberi tips yaitu memberi kejutan kecil.

Saat itu juga, aku mendadak rajin membantu emak berjualan. Padahal biasanya paling anti melayani pelanggan. Nggak gratis, sih. Sehari nodong gaji dua puluh ribu.

Sebulan sekali uangnya kuambil buat belikan Lina sogokan. Hadiah pertama tas ransel jeans bergambar teddy bear, selanjutnya baju, celana, pokoknya banyak. Nggak ingat lagi apa saja yang pernah kubelikan buat gadis impian. Dia tidak pernah menolak pemberian. Barulah pada kelas tiga semester dua, cinta ini diterima. Wuaaah dunia mendadak surga.

Tapi apa balasannya?! Dasar cewek semprul! Kudoain apes tujuh turunan.

***

Mas Agas mengajak ke Mall. Lho? Nggak salah? Apa dia mau belanja? Aku hanya pasrah mengikuti langkahnya. Ternyata dia berhenti di arena game zone.

Lelaki bercambang kasar itu mengeluarkan uang dan membeli banyak koin.

"Kamu bebas bermain apa saja. Aku yang traktir." katanya sambil menepuk bahuku.

Wuaaah. Asiiik. Seumur-umur baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Biasanya mentok aku main game online di warnet. Seringnya numpang wifi gratis di Taman Kenanga.

Benar-benar keren! Mataku bingung mau menuju ke mana. Semuanya terlihat asik, kecuali odong-odong. Itu sih, buat anak kecil. Nggak level.

Aku mengikuti Mas Agas yang menuju permainan tembak teroris. Ah, dari pada bingung. Ngikut Mas Bagas saja.

Lina benar-benar terlupakan. Sejenak.

Bersambung

Jangan pelit vomen, Gaes. Yuhuu.

Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di HazerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang