Heran dengan kelakuan anak jaman sekarang. Masih bau batako eh kencur saja sudah berani main belakang. Itulah yang membuat aku tidak bernyali untuk menikah. Trauma sepuluh tahun lalu masih menyisakan luka. Undangan sudah di sebar, dia kabur bersama lelaki lain. Malunya sampai ujung dunia.Mental Sani termasuk tangguh. Untuk ukuran remaja, dia sangat keras kepala dan kalau bisa aku bilang sedikit -ehem- keren. Dia mengerti konsekuensi yang akan dihadapi bila menikah dini. Rata-rata para remaja bila ditantang untuk bekerja pasti langsung jatuh menyerah.
Sani benar-benar anak yang langka. Seperti emaknya. Eh kok jadi terbayang wajah natural Mbak Sri waktu terbelalak melihatku setengah telanjang. Aaah ... entah kenapa tatapannya yang sedikit melirik bawah pusar itu begitu ... menyenangkan. Hus! Hus! Tidak baik menghayalkan wanita terhormat seperti ini. Sadar Agas, sadar!
Kalau ditotal, sudah seratus ribu lebih kuhabiskan bermain game. Cahaya di wajah Sani sudah kembali. Aku senang melihat senyumnya yang lebar. Seperti tidak ada beban. Dasar masih anak-anak. Dengan mudah bisa mengalihkan perhatian dari permasalahan seberat apa pun. Iri sekali aku padanya. Seandainya sedikit saja sifat teguh Sani kumiliki, pasti sekarang aku sudah mulai merajut hubungan dengan seorang gadis.
Bertahun-tahun kerja dengan para tukang dan kuli yang kasar, kehadiran Sani di rumahku semacam keindahan tersendiri. Watak periang, bicara blak-blakan dan pertanyaan yang tak biasa membuat aku langsung menyayanginya.
"Mas, kalau nggak kawin, trus lagi pingin apa Mas juga onani?" Sani bertanya tanpa tedeng aling-aling.
Aku langsung tersedak ludah. Sangat tidak sopan. Namun mata beningnya menyiratkan kepolosan, seperti seekor anak kucing yang menemukan induknya. Aku sadar, Sani sudah tidak punya ayah. Dia dewasa sebagai pria dengan bimbingan lingkungan dan teman sebayanya. Kasihan.
"Sperma akan keluar sendirinya dalam waktu kurang lebih tiga hari, jadi nggak perlu dikeluarkan paksa. Ha ... ha ...," jawabku sambil mengacak rambut tebalnya, "memang kamu sering onani? Jangan pernah melakukan itu di toiletku ya!"
"Udah terlanjur weeek!" Sani terpingkal, "Mas, kalau lihat perempuan apa yang pertama kali dipikirkan? Kalau aku kok penasaran ukuran dadanya berapa, ya, Mas. Sama itu ... bentuk yang ada di bawah. Hihihi."
Wah, dasar bocah. Sangat tidak sopan. Apa memang begini abege jaman sekarang? Tidak tahu malu. Aku yang mendengar saja risih.
"Aku jarang lihat perempuan dan nggak kepo kayak kamu."
***
"Mas, aku haus. Udah sore lagi, belum salat Ashar. Mana bajuku masih dinas kuli. Ayo pulang saja, Mas."
"Iya, kubelikan es teh dulu. Kamu duduk saja di situ," tunjukku pada kursi panjang.
Baru selangkah berjalan, aku melihat seorang anak balita yang sedang berdiri sambil menangis mencari mamanya. Dia kebingungan, matanya nyalang mencari orang tuanya.
"Cari siapa, Dek?" tanyaku sambil berjongkok.
"Mama ... mama ...," air mata dan ingus menjadi satu.
Sani mendekat, dia menggandeng tangan gadis kecil itu, mengajaknya duduk di kursi.
"Tenang, Dek. Kita tunggu mamamu di sini saja. Nanti pasti ketemu. Mas belikan minuman dulu aja, aku akan menjaganya."
Heran. Aku kok nurut sekali dengan perkataan Sani. Siapa sebenarnya yang dewasa di sini.
Tiga gelas es teh sudah di tangan. Kuberikan pada Sani dan gadis kecil yang bernama Arumi. Bisa saja Sani mengorek cerita darinya. Satu lagi kelebihan remaja itu, dia disukai bocah. Pantas saja kebelet kawin, rupanya sudah cocok menjadi ayah.
Kira-kira lima menit kemudian, terlihat seorang ibu gembrot celingukan mencari sesuatu. Dia memunggungiku. Siapa tahu wanita itu mamanya Arumi. Aku mendekat dan menyentuh bahu gempalnya. Ketika berbalik, dunia seakan runtuh.
"Mas Agas?"
"Kinar?"
Lama kami saling bertatapan. Gadis yang dulu ramping sekarang berubah menjadi tumpukan lemak. Kecantikannya yang terpatri erat dalam sanubariku, perlahan lenyap. Rasa penyesalan, cinta yang terpendam hilang cling tak terasa lagi. Apakah sekarang aku sudah terbebas dari sosok yang terus menghantui selama ini?
"Kamu mencari siapa, Kinar?"
"Anakku, Mas. Dia tadi bersama kakaknya, tapi tiba-tiba hilang."
"Apakah namanya Arumi?"
"Iya, iya. Itu namanya. Tapi, Mas Bagas kok tahu?"
Aku menunjuk pada gadis kecil yang sedang menyeruput es teh. Bumi seakan terguncang. Perempuan berbadan jumbo itu langsung berdebum menuju putrinya. Ia memeluk dan menciumi wajah gadis berkucir dua.
"Adeeek!" teriak bocah lelaki berbaju merah. Itu pasti kakaknya. Di belakangnya, sosok tambun berwajah seram mengikuti.
"Dasar istri bodoh! Disuruh jaga anak saja tidak becus!" suami Kinar mengumpat di depan anak-anaknya, "ayo pulang! Bikin sumpek!" dia menggendong Arumi dan berjalan cepat menuju pintu keluar.
Aku menghela napas. Berat. Dulu Kinar lari dariku demi memilih lelaki kasar itu. Lucu sekali. Sangat menggelikan. Pasti hari-harinya lebih berat dari pada yang kurasakan.
"Sani, apa kamu mau kuantar pulang ke rumah ibumu?"
"Oh ya? Rencananya aku abis Magrib nanti juga mau pulang, Mas. Sudah nggak ada gunanya bekerja. Lebih baik sekolah dulu aja. Males sama makhluk yang bernama perempuan."
Aku tersenyum, bukankah anak ini menakjubkan? Hidupku hari ini juga ajaib. Sepertinya aku akan menerima tawaran abah untuk menikah. Hmmm ....
Bersambung
Yuk voment, Gaes. Yuhuu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di Hazerain
FanfictionSani, seorang remaja berusia 16 tahun yang baru saja lulus SMP. Dia tidak mau meneruskan sekolah karena mau menikahi gadis pujaan hatinya. Akankah rencananya berhasil? Atau kah malah melenceng?