Sri sedang mengambil tahu dan tempe di lapak sebelah penjual sayur langganan. Terong hijaunya Cak Jon luar biasa segar, berdaging tebal, dan lebih murah dibanding lainnya. Bila terongnya diiris, digoreng pada minyak mendidih, dicocol sambal tomat buatan Sri, rasanya akan meledak dalam mulut. Campuran manis, pedas, asam bersatu membuat liur terkumpul. Setelah merasakan penyetan Sri, kebanyakan para pelanggan akan kembali lagi.Di pasar tradisional yang berjarak seratus meter dari rumahnya, Sri berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semua lapak langganan sudah menyiapkan pesanan. Janda muda itu tinggal mengambil dan membawanya sedikit demi sedikit ke depan pasar. Di sana, Cak Umar sudah menunggu di atas sadel becak. Sri memang menolak untuk dibantu siapapun, terlebih lelaki beristri. Bisa panjang urusannya bila ada yang cemburu.
Dia berjalan menenteng dua kresek putih. Tetesan air tahu membasahi kakinya yang bersandal jepit biru.
Ibu muda itu tersenyum mengingat keinginan putranya yang mau masuk pesantren. Seperti mimpi saja, padahal sejak lulus SD, Sani sudah disuruh mondok. Almarhum bapaknya bahkan membawa beberapa brosur pondok pesantren yang terkenal bagus. Tapi Sani menolaknya mentah-mentah. Sri sadar, ia tidak bisa mewariskan ilmu agama untuk buah hatinya itu, karena ia sendiri pun belum terlalu paham juga.
Bahagia sekali kalau punya anak yang santun, solih, mengerti ilmu agama dan taat pada orang tua. Sani lah tambatan dan harapan terakhirnya.
"Mbak Sri? Sedang belanja juga?" suara berat menyapa.
Sosok Agas berdiri menjulang di depannya. Di tangan lelaki itu, nampak sesisir pisang ambon super besar.
"Iya, Mas. Tapi sudah selesai. Ini mau pulang, permisi ...."
Sri teringat insiden tadi malam saat dia terjatuh di pangkuan Agas. Sangat memalukan, ia merasa menjadi janda jablay.
"Kubantu membawanya, Mbak ...." Agas hendak meraih kresek di tangan Sri, tapi wanita itu cepat-cepat menghindar.
"Tidak usah, Mas. Mari ...." Sri berjalan cepat menuju becaknya yang sudah menunggu.
Agas memandang tubuh Sri yang hilang dibalik tikungan. Ia tersenyum melihat tingkah wanita itu. Benar-benar mandiri dan menjaga diri.
Semalam, ia langsung diberondong Abah dengan pertanyaan menohok saat bilang mau menikah. Serta merta, Abah dan uminya mengeluarkan koleksi poto beserta nama-nama perawan soliha yang siap dipinang.
Ada Azizah anak kyai kampung sebelah, Khanza yang baru lulus kedokteran, Syifa si hafidz lima belas juz, Malika keponakan sahabat Wak Soleh dan Nirani perawan tua depan rumahnya. Agas bukannya senang tapi semakin pusing dengan pilihan yang bagus-bagus itu. Ia yakin, siapapun pilihan abahnya, pastilah berbobot dan cocok untuk karakternya.
Tapi, di hatinya telah terpatri satu nama. Dia adalah ...
"Gas! Sini, Nak. Tolong bawakan beras jagung ini," teriakan ibunya menyadarkan lamunan.
Wanita tua itu menenteng bungkusan hitam, memberikan kepada jejaka lapuknya. Mereka berjalan beriringan meninggalkan pasar.
***
"Bah, ini pisang kesukaan Abah," ucap Agas sambil memberikan sebuah pisang kepada Wak Soleh yang sedang menikmati kopi.
"Terima kasih, Le. Gimana? Sudah kamu pikirkan siapa yang akan kau jadikan istri?" Wak Soleh membuka kulit buah kehijauan itu. Lalu memasukkan daging buah berwarna putih ke dalam mulutnya.
"Masih bingung, Bah. Semuanya hebat dan cantik. Ehem, menurut Abah, Mbak Sri itu gimana?"
Wak Soleh menatap putra sulungnya lekat-lekat, "Dia wanita yang baik dan bertanggung jawab. Sani juga sudah kuanggap anak sendiri. Kasihan, status janda yang disandangnya membuat Sri jadi gunjingan orang. Para umimu sudah setuju kalau abah menikahi Sri dalam waktu dekat ini."
"A-apa?" Manik hitam Agas seakan mau melompat dari kelopaknya.
Ia terkejut dengan pernyataan abahnya. Apakah sekarang dia harus bersaing dengan ayah kandungnya untuk mendapatkan seorang janda? Agas menggigit bibir. Ternyata, pernikahan tidak semudah yang dibayangkan.
***
Sani dan Memble sampai di rumah sederhana bercat biru muda. Tidak ada pagar besi di depannya. Hanya berpuluh tanaman hias yang berjajar rapi. Membuat halaman tak terlalu luas itu nampak asri.
Seorang gadis berkerudung ungu sedang menyirami bunga melati jepang yang sedang mekar-mekarnya. Dari mulutnya sayup terdengar bacaan AlQuran.
Sani mematikan mesin matiknya. Dia berdehem dan mengucap salam keras-keras.
"Bu Ita ada?" tanya Sani cempreng setelah salamnya dibalas.
"Ya, ada. Maaf dari mana?" suara jernih gadis itu membius kedua makhluk ajaib di depannya.
"Dari sini aja, dekat kok. Eh, kami murid Bu Ita."
"Tunggu ya, silakan masuk. Kupanggilkan Bunda dulu. "
Gadis semampai itu masuk rumah. Sani dan Memble masih berdiri sambil sikut-sikutan di bawah pohon kamboja.
"Gila, Mble. Meskipun dia nggak secantik Lina, tapi pesonanya itu lho, bikin aku pingin sholawatan. Mrinding bulu kudukku."
"Kayak liat Kuntil saja kamu, Ndul. Pake bawa kuduk segala."
"Kuntilmu kali!" sewot Sani.
Mereka tersenyum canggung saat wanita setengah baya muncul dan mengajak masuk ke ruang tamu. Sani dan memble duduk manis di atas sofa berwarna gading.
"Tumben nih, legenda sekolah Madrasah Tsanawiyah Kenanga main ke rumahku," ucap Bu Ita ramah.
"Eem ..., sebenarnya saya ingin mondok Bu. Tapi bingung. Sebaiknya saya masuk pesantren mana yang cocok?" Sani berkata dengan penuh percaya diri.
"Alhamdulillah, nggak nyangka kamu mau mondok, Sani? Beneran niat masuk pesantren?" selidik Bu Ita.
"Bener, Bu. Asli, yakin. Demi Allah." Sani mengangkat tangan kanannya, sikap bersumpah.
"Ah, jangan modus bawa nama-nama Allah. Berat. Kalau niatmu sudah bulat tinggal pilih pesantren. Oiya, harapanmu setelah lulus pondok apa?"
"Kawin, Bu." Memble nyeletuk, secepat kilat jemari Sani membekap bibir tebal itu.
"Kuliah, Bu. Kalau ada biaya."
Bu Ita menoleh ke arah putrinya yang datang sambil membawa nampan berisi air mineral gelas dan beberapa lemper. Ia meletakkan semuanya di atas meja. Saat ingin masuk lagi, ibunya menyuruh gadis berkerudung ungu itu untuk duduk di sampingnya.
"Kenalkan, ini putri bungsuku. Dia seusia kalian, tapi sejak lulus SD dia sudah masuk pesantren tahfidz Quran di Gresik."
"Kenalkan, aku, Kiki," Memble menyerobot omongan.
Dengan gagahnya dia menjulurkan tangan. Tetapi tidak digubris. Gadis manis itu meletakkan kedua tangan yang sudah ditangkupkan di depan dada.
"Aku, Humay."
Wajah Memble yang coklat menjadi abu-abu seketika. Malunya tidak terkatakan. Sani menahan geli sampai perutnya kaku.
"Aku Sani."
"Humay, tolong jelaskan secara singkat tentang pesantrenmu." Bu Ita memberi perintah.
"Pesantrenku visi dan misinya mencetak generasi berakhlak mulia dan mengamalkan Alquran. Di sana setiap hari kami harus setor hafalan lima kali sehari setelah selesai salat. Minimal setengah halaman."
"Di pesantren, harus benar-benar berniat tulus. Kalau hanya melarikan diri dari masalah, biasanya malah akan menjadi sumber masalah. Ada beberapa murid yang baru seminggu dikeluarkan, ada juga yang sampai melarikan diri. Itu karena mereka mondok bukan dengan hati, tapi terpaksa."
Penjelasan Humay membuat kepala Sani agak senut-senut. ternyata, ingin mondok pun tidak mudah. Harus mempunyai tekad kuat. Jangan sampai menyerah di tengah jalan karena akan semakin runyam.
"Lumayan berat ya, ha ... ha ...," sahut Sani garing.
"Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik, Sani," Bu Ita memberi wejangan, "jangan mencoreng nama baik ibumu, Nak. Jadilah kamu anak yang solih. Oiya, ada tempat yang sepertinya cocok buatmu."
Sani penasaran, kira-kira tempat apa yang cocok untuknya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di Hazerain
FanficSani, seorang remaja berusia 16 tahun yang baru saja lulus SMP. Dia tidak mau meneruskan sekolah karena mau menikahi gadis pujaan hatinya. Akankah rencananya berhasil? Atau kah malah melenceng?