Minta Kawin 15

889 59 2
                                    


Wanita berkaca mata tebal itu mengetik sesuatu pada ponselnya. Ia membuat group rahasia tanpa sepengetahuan suaminya. Anggotanya hanya ada tiga. Dia sendiri dan dua orang madunya.

Umi Nayah menamakan diri Ratu Lebah. Istri kedua Madu Hutan, dan Istri ketiga Madu Ternak.

Ratu Lebah : "Perhatian semua maduku, ada hal yang perlu aku bicarakan pada kalian."

Madu Hutan dan Madu Ternak membalas hampir bersamaan : "Siap, Ratu!"

Ratu Lebah : "Besok pagi kalian datang ke sini. Tidak peduli bagaimanapun caranya. Kita gagalkan rencana Abah untuk menikahi Sri."

Madu Hutan : "Kenapa? Bukannya tempo hari kita sudah setuju. Bahkan Ratu hendak melamarkan langsung seperti kita dulu."

Ratu Lebah : "Iya, itu dulu. Ternyata Agas juga menyukai Sri. Lebih baik menjadikannya menantu dari pada Madu Hitam. Aku butuh bantuan kalian."

Madu Ternak : "Nanti kalau Abah marah bagaimana, Ratu? Aku takut. Mana lusa giliran Abah bersamaku. Bisa-bisa ngomel terus dia."

Ratu Madu : "Kalau ngomel dengerin aja kayak biasanya. Nggak usah membantah. Jangan takut Madu Ternak! Kita bersatu tak bisa dikalahkan!"

Madu Hutan : "Siap, Ratu! Lagian Abah juga sudah tua. Kasihan Sri nanti, pasti banyak dibiarin sama Abah. Hihi. Melawan aku saja dia ampun-ampun."

Ratu Lebah : "Na, itu ..., aku ngerti maksud Abah itu baik ingin membantu. Tapi tak semua orang ingin ditolong, kan? Pokoknya besok kutunggu kalian. Malam ini aku mau mulai demo sama Abah!"

Umi Nayah meletakkan ponselnya. Ia mencari Agas yang ternyata sudah berdiri di depan kamarnya. Anaknya itu meraih jemari uminya, mengecupnya lama.

"Mi, aku mau kembali. Jaga diri baik-baik."

"Lho, Agas. Kenapa cepat sekali? Umi masih kangen, Nak."

"Lain kali aku datang lagi ke sini. Kalau Abah menikah lagi."

Kesedihan nampak pada raut wajah anaknya, "Kamu nggak ingin berjuang mendapatkan Sri?"

"Bagaimana harus berjuang? Lawanku Abah, Mi. Bukankah anak harus berbakti pada orang tuanya? Aku juga tidak mau menikah tanpa restu Abah."

Umi Nayah menyeret anaknya masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu dengan pinggulnya yang besar. Agas bingung dengan sikap uminya yang mencurigakan. Apalagi saat wanita yang sangat dihormatinya itu mendorongnya duduk di atas kasur.

"Agas, aku sudah meminta bantuan para umimu yang lain untuk meyakinkan Abah agar tidak jadi menikahi Sri. Kamu juga harus berjuang, dong! Jangan lempem kayak terong goreng gitu."

"Tapi, Mi? Umi serius?"

Umi Nayah mengangguk mantap, "Sangat serius. Ayo kita temui Sri dulu. Menanyakan perasaannya padamu."

"Terima Kasih, Umi." Agas memeluk wanita yang melahirkannya itu.

Dari dulu, uminya selalu memberikan kedamaian dan semangat. Ia sangat mengagumi sosok yang sedang menepuk bahunya.

Agas menarik napas. Ia menginginkan wanita yang tegar seperti uminya. Dan dia melihat karakter itu dalam diri Sri.

Cinta memang tidak butuh alasan untuk hadir dalam hati. Tetapi bagi hati yang pernah remuk, sebuah alasan pun bisa menciptakan rasa yang bisa disebut cinta. Meskipun dengan kadar berbeda. Agas yakin, bisa memupuk rasa itu menjadi sebuah cinta yang agung. Dengan seorang janda berwajah manis, Sri Sekar Ayu.

***

Sri baru saja selesai mengupas bawang putih ketika terdengar gedoran pintu. Ia menyambar kerudung hijau tua dan terkejut melihat Umi Nayah dan Agas. Wanita itu mempersilakan mereka masuk.

"Ada apa pagi-pagi sudah ke sini, Umi? Apa mau membantu saya?" canda Sri sambil mencium tangan keriput itu.

"Enggak, Sri. Encokku sedang kumat. Jadi tidak bisa membantu." Umi Nayah duduk di atas sofa.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Sri." Nada Umi Nayah berubah serius, "apakah kamu siap menikah lagi?"

Sri terkejut mendengar perkataan orang yang bersahaja itu, matanya membulat. Pipinya merona.

"Ah, Umi. Siapa yang mau sama janda seperti saya. Umi ini ada-ada saja."

"Kalau Abah ingin menikahimu, apa kam mau?"

"Apa?" Sri takut salah dengar.

"Kalau Abah melamarmu, apa kamu mau?" Umi Nayah melambatkan suaranya.

Sri tercengang. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang tidak pernah terbayangkan. Ia melirik Agas yang menggerak-gerakkan kaki maju-mundur seperti menjahit.

"Ah, mana mungkin, Umi. Abah itu sudah kuanggap seperti guru. Saya sangat menghormatinya dan tidak pernah membayangkan menjadi istri Wak Saleh. Umi jangan bercanda, ah."

"Oke. Berarti kamu nggak mau sama Abah, ya. Ehem! Kalau sama ... Agas?"

Sri semakin bengong. Mulutnya sampai bergetar menahan hentakan yang tiba-tiba menghujam dada.

"M-Mas Agas?" getaran itu sampai pada telinga Agas, dia melihat betapa Sri salah tingkah. Jemari tangannnya bertaut gelisah.

"Kalau aku ingin menikahimu, apa kamu mau, Mbak Sri?" meskipun lirih, tapi bagi Sri, suara agas bagaikan geledek.

Wanita itu bingung harus menjawab apa. Ingin ia berteriak 'mau!!' sambil koprol keliling rumah. Namun mulutnya seolah terkunci. Ia malah menunduk sambil menggigit bibir.

"Diamnya perempuan berarti iya. Kamu mau kan, Sri?" tegas Umi Nayah.

Sri mengangguk sangat pelan. Seperti gerakan lambat pada film. Agas tersenyum, tak sadar ia mengepalkan tangan ke atas lalu ditarik ke bawah sambil berucap "Yes!"

Rasa senangnya luar biasa. Melebihi ketika ia memenangkan tender membangun gedung dan ruko. Rasa yang dulu sekali pernah menyapa. Lalu secepat kilat terberangus bersama penghianatan.

"Alhamdulillah," Seru Umi Nayah.

"Emak mau kawin?"

Tiba-tiba Sani datang. Ia berdiri di depan pintu. Wajahnya memerah, sepertinya remaja itu marah.

Bersambung

Minta Kawin (Completed) Telah Terbit Di HazerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang