Aku malah masih berpikir, apa yang harus kulakukan ketika tiba-tiba Sagara mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku.
Sungguh, aku benar-benar masih belum mempersiapkan diri untuk bertemu laki-laki ini lagi.
Ada perasaan sakit yang mencubit ujung hatiku.
Nyeri rasanya.
Seolah ada bagian di dalam hati yang sedang ditarik paksa.Membuatku seolah baru memahami bahwa merindukan seseorang rasanya se-menyakitkan ini.
Ada sesak yang dipaksa harus kuat bertahan, meski aku yakin, aku terlihat sangat kesulitan melakukannya.Dan sebelum aku semakin kesulitan untuk memikirkan hal lain yang akan kulakukan di depan Sagara, kuberanikan diri untuk menjabat tangannya.
Aku segera menguasai diriku sendiri dan berpikir, bahwa menanyakan kabarnya adalah ide terbaik yang bisa kulakukan kepada seseorang yang sudah berapa lama ini tidak kutemui.
Dan seolah baru menyadari juga keberadaan Mas Arya disana, secara bergantian aku mengenalkan mereka satu sama lain.
Ada gurat aneh yang kubaca di wajah keduanya.
Sama-sama merasa asing atas satu sama lain, dan seperti ada kesan dingin yang tidak kusukai dari keduanya."...nggak nyangka kita bisa ketemu disini, ya.."
Gila.
Siapa juga yang menyangka kita akan ketemu lagi, Ga..
Out of nowhere, but Jogja?
Aku sama sekali tidak punya ide untuk membalas apa yang dikatakan oleh Sagara.
Apa iya aku harus mengatakan,
"Aku sebenarnya nggak mau ketemu kamu lagi, Ga.."
Kan, ya nggak mungkin...
Jadilah kami bertiga hanya saling tersenyum canggung, lengkap dengan pikiran yang aku yakin, sibuk dengan berbagai macam pertanyaan yang hanya bisa kami telan sendiri.
"Jeng, aku pamit ke backstage dulu aja, ya.."
Dan Mas Arya yang kuharapkan bisa menyelamatkan aku sekali lagi, kali ini justru mengalah dan membiarkanku tinggal berdua dengan Sagara.
Mengalah? Aku tidak sedang self-declaim bahwa Mas Arya masih tertarik denganku, kan?
Dan sebelum sempat aku memutuskan untuk menjawab apa--aku mengutuki kepintaranku berbicara di dalam pikiran sendiri kalau sudah begini--Mas Arya sudah buru-buru berlalu, meninggalkanku dengan Saga, berdua, dengan senyum dan tatapan yang kalau boleh kuartikan sepihak ; sama sama ragu.
-------
"Sudah lama di Jogja, Re?"
Kali ini Sagara yang membuka suara lebih dulu.
Dan masih di depan lukisan yang sama dengan tempatku berdiri dengan Mas Arya tadi, aku gantian berdiri berhadapan dengan Sagara.
Bedanya ketika tadi aku dan Mas Arya bisa tertawa lepas, kali ini aku memilih untuk tidak banyak menunjukkan emosi.
Sekali lagi kutegaskan, bahkan pertemuan mendadak dengan Sagara ini saja sudah sangat menguras emosiku.
Senang kah?
Marah kah?
Rindu kah?Sama sekali tidak ada definisi yang tepat yang bisa menggambarkan perasaanku sendiri saat ini.
"Lumayan, Ga. Sudah beberapa bulan.. Kamu sendiri, ada perlu apa di Jogja?"
Aku menemukan diriku sendiri gantian bertanya kepada Sagara.
"Ada perlu beberapa bulan kedepan, Re. Cari duduk, yuk?"
Dan sebelum sempat aku mengiyakan atau menolak ajakannya, Sagara sudah terlebih dulu menarik sikuku untuk diajaknya duduk ke arah depan panggung.
Satu hal yang kucatatkan sebagai perbedaan antara Sagara dan Mas Arya.
Sagara, dengan sikapnya yang selalu spontan, selalu berhasil membuatku kesulitan menolak apapun yang ia tujukan sebagai perintah terhadapku.Sedangkan Mas Arya, dengan sikapnya yang selalu berhati-hati, dan hampir selalu berpikir lebih dari sekali untuk mengucapkan atau melakukan apapun, selalu memberiku kesempatan untuk menebak apa-apa yang mungkin ia ucapkan atau ia lakukan.
"Sendirian aja, Re?"
Kali ini kami sudah menemukan bangku yang masih kosong.
Oiya, aku sampai belum menjelaskan tentang Reina yang mendadak hilang dari runtutan ceritaku.Jadi mendadak Ko Hendra-nya itu menelepon, layaknya sebuah kejutan dan tiba-tiba si Koko itu sudah berada di depan Balaiurung.
Membuatku hanya mencibir setengah iri melihatnya mendapat kejutan dari calon tunangannya itu.Lalu kembali kepada Sagara, dan jawaban demi jawaban yang harus kusiapkan atas pertanyaannya.
"Tadi sama temen kantor, Ga. Tapi dia dijemput pacarnya."
"Nah, tadi si mas-mas itu siapa?"
Ada nada kurang enak yang kurasakan dari pertanyaan Sagara.
Aku segera menepis perasaan aneh yang mulai muncul tanpa aba-aba itu.
Perasaan yang seolah menyuruhku untuk merasa senang hanya karena mendengar pertanyaan bernada ketus dari Sagara barusan."Mas Arya maksudnya?"
"Yaaa, mas-mas whatever you name it itu sih. Siapa, Re? Pacarmu?"
Lah, nyolot..
"Lagian kan tadi kamu cuma ngenalin aku ke dia. Belum kamu kenalin tuh dia ke aku. Dan, kok dia panggil kamu Jeng, sih? Aku gak tau kamu udah ganti nama?"
"Apaan sih, Ga. Kamu nggak datang nyamperin aku demi pertanyaan receh begini, kan?"
Seketika Sagara terdiam mendengar jawabanku yang justru kembali berupa pertanyaan, lengkap dengan nada yang jauh dari kesan bahwa kami ini pernah bersahabat baik, bertahun-tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)
ChickLitHai hai maaf untuk Sagara Renjana harus sudah dihapus sebagian karena proses penerbitan. Untuk yang sudah baca terima kasih, ya. Untuk info PO akan aku cantumkan di part akhir ya. Terima kasih 🙂🙂🙂