"Hei Rana, kamu tau? Katanya kecepatan jatuhnya kelapa itu 9 meter per detik," katanya padaku sambil duduk memandang sungai.
Kalimat itu adalah kalimatnya yang paling kuingat. Anak laki-laki yang kutemui saat berlibur di rumah nenek delapan tahun lalu. Saat itu kelapanya tertimpa kepala...eh kebalik, kepalanya tertimpa kelapa saat mendorongku ke sungai. Walaupun basah kuyup, tapi aku ingat jantungku yang berdebar dan wajahnya yang memerah setelah menolongku dari kejatuhan kelapa dan menarikku dari sungai, meskipun kepalanya benjol. Aku juga ingat bagaimana dia menggaruk kepalanya setelah itu.
Wajahnya tampan, tatapannya hangat, dan kulitnya putih. Saat itu aku ingat dia seusia denganku kata nenek. Walau seumuran, namun dia lebih tinggi dariku dulu. Ketika berjalan di sebelahnya, tinggiku hanya sebahunya.
Selama seminggu kami selalu bermain bersama. Aku ingat bagainana jantungku berdebar setiap kali pandangan kami bertemu, ketika dia mengulurkan tangannya untuk membantuku melangkah di bebatuan mendaki bukit, atau ketika dia tersenyum lebar menunjukkan dua gigi taringnya yang terlihat tumpul. Sebelum berpisah, kami berjanji untuk bertemu lagi suatu saat nanti. Sayangnya karena kecerobohan, selama seminggu itu kami lupa memperkenalkan nama kami. Hanya "hei" atau "cucu nenek" kuingat kami saling memanggil.
Tahun berikutnya aku ke rumah nenek, dia tidak ada. Mereka bilang keluarganya pindah karena ayahnya dipindahtugaskan. Entah mengapa seperti ada suatu harapan yang hilang. Aku sadar aku telah jatuh hati padanya.
Awal tahun ini, ketika aku mulai terbiasa dengan seragam SMA, aku mendapat surat darinya. Surat dengan stiker kelapa di amplopnya itu kurang lebih menanyakan kabarku dan betapa senangnya dia bisa tahu alamatku karena pertemuan tidak sengaja dengan nenekku. Entah bagaimana akhirnya kami bisa bersua lagi. Ada perasaan bahagia menggelitik di dadaku saat membaca suratnya.
Satu bulan, dua bulan, dan beberapa bulan pun berlalu dengan kami bertukar kabar lewat surat. Banyak hal telah diceritakan di atas kertas, seperti tentang pertemuan kami di pinggir sungai, tentang kepalanya yang sering terbentur meja belajar, tentang kesedihanku ketika kucing persia milikku mati, tentang teman-temannya yang lucu, sampai cerita tentang keinginanku masuk ke Institut Gajah disambut bunga putih yang berguguran di atas gerbangnya. Namun yang paling penting aku tau namanya Arif dan dia tinggal di kota sebelah. Hanya berjarak beberapa stasiun.
Namun, karena segala kesibukan belajar, ekskul, dan tugas ketua kelas, maaf ralat, kepala "kebun binatang", aku sempat terlambat membalas suratnya. Berawal dari sana dia pun mulai terlambat membalas suratku, kami pun semakin lambat membalas surat masing-masing, hingga lambat laun tidak ada lagi surat yang datang.
"Hei, Rana! Mau ke mana?!" teriak Dimas.
"Maaf ada urusan mendadak!" jawabku sambil berlari meninggalkannya.
"Tapi jangan main lempar buku tugas anak-anak yang lu bawa ke gue, dong!" protes Dimas yang keliatan kerepotan memegang tumpukan buku yang jadi tinggi karena kutambah.
Dari jauh aku bisa mendengar suara kamera Andi yang mengambil foto temannya yang kerepotan itu, juga Riko yang berteriak-teriak seperti pelatih karate menyemangatinya. Maaf ya, aku hanya tidak bisa melewatkan kesempatan ini.
Maaf karena lama tidak memberimu kabar. Sore ini ayo bertemu di Stasiun Kota. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu sekaligus aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku tunggu di bawah tiang dengan amplop merah jambu di tangan.
Seperti tersambar petir, jantungku seakan berhenti sesaat. Akhirnya nomor telepon yang pernah kuberikan lewat suratku digunakannya juga. Namun mengapa setiba-tiba ini?
...
Jam di pergelanan tangan kiriku menunjukkan pukul 7. Sudah dua jam kereta yang kunaiki mengalami kerusakan mesin ditengah perjalanan. Para penumpang sudah terlihat putus asa begitu pula denganku.
"Dia sudah pergi," bisikku meyakinkan diriku sendiri. Bukan putus asa, mungkin lebih tepat dikatakan aku berharap. Bayangan tentang Arif yang berdiri di bawah tiang selama berjam-jam menungguku menyesakkanku. Kugenggam ponselku yang mati dan kurekatkan di dadaku, berharap walaupun aku ragu Dia menjawabnya kala aku tidak bisa beribadah tepat waktu karena kereta itu.
Mencoba menghibur diri, aku mencoba mengingat hal-hal lucu di kelas, ups ralat, "kebun binatang". Aku ingat ketika awal masuk sekolah di kelas baru.
"Dimas! Mana Dimas?" absen Pak M.
"Di UKS, Pak!" teriak Riko yang lagi sibuk mengeringkan kepala dengan handuk kecilnya.
"Kenapa? Kamu juga kenapa pagi-pagi basah begitu?"
"Ngilu Pak kalo diceritain. Kalo saya ini abis keramas lagi, Pak," jelas Riko tidak menjelaskan kenapa dia perlu keramas lagi. Hihihi.
"Rehan A! Rehan A! Ini mana orangnya?" panggil Pak M kesal.
"Ini orangnya, Pak! Emang dari kelas satu suka tidur gini. Capek di jalan kali, Pak. Rumahnya di luar kota," Ambon menunjuk Rehan yang pulas tidur di mejanya. Pak M maju dan memukul kepalanya dengan koran hingga Rehan bangun gelagapan. Hahaha! Semua anak tertawa.
Jeglek! Tiba-tiba kereta bergerak dan suara petugas terdengar dari pengeras suara memohon maaf pada penumpang. Dunia seakan bergerak kembali di luar kotak gerbong ini. Sebentar lagi aku akan sampai. Tapi aku harap dia tidak di sana.
...
Setibanya kereta di Stasiun Kota, aku segera turun dari kereta dan mencari Arif. Aku mungkin sudah tidak mengenalinya karena lama tidak melihatnya. Wajahnya pasti jauh berubah.
Di bawah tiang dan memegang amplop adalah kata kunci yang diberikannya dalam surat. Aku tidak tau ada berapa tiang di stasiun ini, tapi aku yakin tidak akan ada banyak orang yang berdiri di bawah tiang karena banyak bangku nyaman yang disediakan.
Kakiku berlari sementara mataku mencari. Jauh di dalam, hatiku berharap langkahku sia-sia dan mataku tak menemukan yang kucari. Aku berharap dia sudah pergi meninggalkan stasiun ini.
Tidak lama kemudian aku melihat seseorang berdiri di bawah tiang di tengah ruang tunggu penumpang. Orang itu memegang sesuatu seperti amplop merah jambu yang Arif bilang. Apakah itu dia?
Kulangkahkan kakiku mendekat perlahan. Semakin jelas kulihat orang itu. Kepalanya agak tertunduk. Sepertinya dia tertidur sambil berdiri, bahkan ada gelembung kembang kempis di hidungnya.
Rehan? Ngapain dia?
Pop! Gelembung di hidungnya pecah dan membangunkannya. Dengan muka seperti orang mabuk dia menggaruk kepalanya yang mungkin pusing. Sedetik kemudian dia tersenyum entah kenapa, memperlihatkan taring tumpulnya.
Aku mencoba mengingat cowok ganteng dari masa kecilku. Bagaimana dia tersenyum, bagaimana kulitnya, bagaimana dia menggaruk kepalanya, dan taring tumpul yang terlihat saat dia tersenyum. Tunggu, sepertinya aku pernah melihat itu.
Seperti kilat, beberapa hal tiba-tiba teringat. Rehan...
"Rehan A! Rehan A!" teriak Pak M. A? Apa kepanjangannya?
"...rumahnya di luar kota," jelas Ambon.
Jangan-jangan Rehan itu Arif? Ya Allah! Jadi selama ini kami sedekat itu?!
Kulihat samar-samar bentuk hati di amplop merah jambu itu. Sepertinya hal yang ingin dibahasnya itu adalah tentang rasa sukanya padaku?
Air mataku mengalir tanpa kusadari. Kedua pipiku memerah. Apakah ini tanda aku bahagia?
...
...
..."YA NGGAK, LAH! Sedih campur kecewa ini, lho! Nyesek. Amit-amit punya pacar tukang tidur yang kelakuannya kaya orang mabok seharian! Mana di kelas suka ngiler lagi! Iiih...mending kabur aja sebelum ketauan," semprot Rena sambil memberikan peran narasi ke narator. Setelah itu dia langsung ngacir sejadi-jadinya ke kereta yang akan meninggalkan stasiun.
"Wah, cepet banget ya..." kata Rehan yang masih setengah sadar melihat ada perempuan yang berlari cepat ke arah kereta. "Bro! Eh bro, liat sini!"
Seorang cowok tinggi dan ganteng ditarik Rehan keluar dari balik tiang dan melihat perempuan yang dimaksud. Dia memasukkan amplop merah jambu ke saku jaketnya dan memicingkan mata.
Rehan mengambil permen Yopi bentuk hati dari bungkus yang dipegangnya, memakannya, kemudian bertanya dengan nada masih ngantuk, "Kira-kira itu kecepatannya berapa ya, Rif?"
"Wah itu sih sepertinya sampai 324 km per jam, Han! Dengan kata lain... 9 m per detik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keseharian Siswa SMA
Krótkie OpowiadaniaKalian pernah ngerasain duduk di bangku SMA? Sama aja kah sama rasa duduk di bangku SMP? Kalo gitu berarti SMP dan SMA kalian menggunakan bangku dari pengrajin yang sama. Eits, tapi jangan salah! Ini bukan cerita tentang bangku tapi tentang kesehari...