✒26. Si Pengecut

10.5K 762 13
                                    

Arden mendengus ketika melihat Amanda sedang berbincang penuh keceriaan bersama seseorang yang disebut sebagai Dokter Ilham. Lihat saja, Amanda tidak berhenti tertawa. Bukan hanya itu, tapi Amanda jelas tertawa setengah malu-malu. Mulutnya ditutup bak tertawa sopan, sedangkan jika bersama Arden,

"Cih!" Arden membayangkan Amanda tertawa sangat tidak tau malu jika bersamanya.

Arden meninggalkan kediaman Aretha dan berakhir mendorong kursi Ilham dengan decakan. "Sorry." Arden tersenyum meledek, lalu menyeret kursi lain untuk duduk diantara mereka.

"Arden ya?" Tunjuk Ilham mengulurkan tangan. Dan langsung dibalas oleh Arden dengan salaman singkat. "Saya Ilham, dokter jaga disini."

"Sejak kapan?" Ujar Arden ketus sambil menaikkan alis.

Amanda berdecak tidak percaya, Arden bersikap tidak biasanya. "Udah setengah tahun kali Den. Lo aja gak pernah mampir ke UKS. Oh sampe lupa, lo kan mampirnya ke BK mulu." Ledekan Amanda membuat Arden meraup wajah gadis itu dengan gemas.

Sial. Arden jadi tampak rendah sekali jika dibandingkan dengan Ilham.

Deskripsi Dokter Ilham? Oh, tidak usah lagi diperjelas karena beberapa detik setelah Ilham masuk kedalam ruang UKS dan memeriksa Aretha. Ruangan ini jadi sesak karena banyak siswi yang ingin bersalaman dengan Ilham. Dia ganteng, masih muda, sudah jadi dokter di RS. Rahmawati meski statusnya masih magang sekaligus, dokter jaga part-time di sekolah ini.

Oh, oke Arden memang kalah banyak. Tapi jelas sekali Arden tidak bisa dibandingkan dengan om-om lajang itu.

Ketika Arden sibuk memotong setiap percakapan diantara Amanda dan Ilham. Aretha terbangun,dan melihat pemandangan tidak menguntungkan disamping ranjangnya.

Seseorang duduk disana sambil melihat kearahnya dengan iba. Entah sudah berapa lama orang itu disana, tapi yang jelas Aretha sedang tidak dalam mode mengharapkan kedatangannya, meski sebenarnya ingin. 

"Lo gakpapa?" Tanya cowok itu ingin sekali merengkuh Aretha kedalam pelukannya.

Aretha melengos, dia tidak mau menangis karena melihat wajah itu. Wajah yang hampir satu minggu ia hindari dengan sengaja. Perasaannya berkecambuk pilu ketika orang itu justru menggenggam tangannya. 

"Lo kemana aja?" Cowok itu Delvian, dia memainkan jemari tangan Aretha. Delvian ingin menggenggamnya lebih erat, tapi Aretha justru melepaskannya.

"Pergi." Aretha tidak membentak, suaranya terdengar lemah dan itu membuat Delvian merasa sangat bersalah. 

Delvian menunduk, ia tersenyum segaris dibalik dagunya. "Maaf. Cepat sembuh ya." Delvian sudah ingin pergi namun sesuatu menarik ujung seragamnya. 

Itu tangan Aretha, gadis itu menghalau kepergian Delvian. Wajahnya memerah tatkala ingin mengucapkan sesuatu, dia harus memutuskan sekarang.

Kreeek...

Tirai yang merupakan sekat tiap ranjang ditutup oleh Delvian, Aretha yang menyuruhnya agar ketiga orang yang masih terlibat perbincangan disudut UKS tidak bisa mendengar atau melihat mereka berkomunikasi. Aretha lelah, dia ingin mengakhirinya sekarang juga. Dia ingin tau apa keputusan Delvian setelah satu minggu berlalu. 

Aretha mengambil posisi duduk, matanya menahan sebutir air mata untuk keluar. "Latisa,-" Satu nama itu membuat Aretha tercekat. Begitu pula dengan reaksi Delvian yang sekarang sedang menghela nafas panjang. Lagi-lagi Delvian menunduk ketika membicarakan gadis itu. Ah, lebih tepatnya ketika dia sedang merasa bersalah pada Aretha. Kebiasaan pengecut Delvian sama sekali tidak berubah, masih sama dari satu tahun yang lalu. 

"Brengsek!" Aretha mengumpat pelan, air matanya berhasil mencelos ke pipi dan dengan cepat ia usap kasar. Gadis itu tidak perlu lagi mendengar jawaban Delvian. 

Semuanya sudah jelas. 

"Bilang nyokap lo, gue mau putusin tunangan kita malam ini." Aretha menahan emosinya, tangannya menghempas tangan Delvian ketika cowok itu ingin memegang pundaknya. "Pergi selagi gue masih baik."

Aretha mengepalkan tangan, sedangkan Delvian justru berdiri kaku di tempatnya. 

"Gue emang bukan yang terbaik Tha. Sorry karena sampai detik ini gue masih gak bisa lepasin Latisa. Gue emang cowok brengsek. Lo boleh marah semau lo ke gue." 

Beberapa kalimat itu mampu membuat Aretha berdecak, haruskah Delvian terang-terangan mengejanya. Sial! Aretha sudah kesal bukan kepayang, rasa bersalahnya karena telah merebut kasih sayang Sania musnah sudah. Terbayar karena Delvian membalas sakitnya dengan lebih. Delvian berhasil mematahkan hati Aretha.

"PERGI BRENGSEK!" Aretha mengelak saat kepalanya ingin disentuh oleh Delvian.

Teriakan Aretha mengundang kedatangan Arden juga Amanda dan Ilham. Ketiganya terpaku saat kemudian Arden tersadar ketika melihat Aretha menangis, tangannya mengepal serta rahangnya mengeras. Ekor matanya melirik Delvian yang hanya diam, lantas tanpa aba-aba Arden menonjok Delvian. Membuat Delvian terhuyung dan membalas Arden dengan pukulan yang sama. 

Keributan terjadi begitu saja. 

"Berhenti!" Beruntung ada Ilham, setidaknya ada yang memisahkan mereka. Setelah keduanya terlepas dari gulatan, Amanda menarik tangan Delvian keluar dari ruang UKS. Ilham mengambil alih Aretha dengan mengecek kondisi gadis itu, Aretha melemah seiring tangisnya mulai bergema. Arden menutup pintu UKS, tidak membiarkan siapapun melihat kondisi Aretha sekarang, juga dia memohon kepada Ilham agar kejadian ini tidak menyebar ke ruang guru apalagi sampai ke ruang BK. 

Arden menarik nafasnya panjang, menenangkan diri sendiri. Kalau saja ia tidak sedang di sekolah ia pasti akan menghajar Delvian habis-habisan. "Bangsat!" Arden mengumpat tatkala kakinya mendekati Aretha. 

Dengan cekatan tangan kiri Arden mengusap air mata adiknya sembari masih mengumpat dalam gumaman. "Sejak kapan lo jadi cengeng begini bodoh." Ujarnya membuat Aretha menengok kearah kakaknya. 

Arden menyuruh Ilham pergi, dokter itu menurut namun masih setia menunggui mereka di ujung ruangan. 

"Gue capek." Ujar Aretha masih sesenggukan. Matanya berusaha terpejam meski sulit. 

Arden mendesah, entah kenapa dia sangat kesal hari ini, "gue tau. Gue telfon bokap, kita pulang sekarang." Arden mengambil ponselnya di saku celana lantas jemarinya bermain disana hingga berakhir menempel ditelinga. "Hallo Pah.." 

Disisi lain, 

tepat di belakang kantin sekolah. Amanda berkacak pinggang seolah menanti Delvian bicara. Tangan kirinya memijit kening seraya matanya menajam kearah Delvian. "Ada apa lagi?"

Delvian diam, dia menarik nafas panjang. Tangannya mengepal makin erat mengikuti gemuruh emosi didadanya. Delvian tidak percaya diri untuk berkomentar. Rasanya Delvian ingin lari saja seperti pengecut. Oh, ya dari awal dia memang sudah menjadi pengecut.

Amanda menatap makin tajam, "oke kalau lo gak mau jawab. Sekarang Latisa gimana? lo udah mutusin dia?" 

Bertepatan Amanda mengatupkan mulutnya ponsel Delvian bergetar, ia mengeluarkannya dari saku celana lalu betapa panjang umur Latisa, gadis itu rupanya memberi Delvian pesan. 

Mengetahui perubahan ekspresi Delvian ketika meneliti layar ponsel, segera Amanda menarik ponsel cowok itu tanpa permisi. Ia membacanya dengan muka merah padam, Amanda tidak percaya, gadis itu menarik nafasnya kasar lalu benda pintar tersebut seperti ingin ia lempar tapi tidak tega. Segera Amanda memberikannya pada Delvian dengan muka marah, "ini yang terakhir. Gue gak mau lagi bantuin atau berurusan lagi sama lo Delvian. Pengecut kayak lo emang gak pantes dapetin Aretha,-" Amanda menarik nafas, dia menjadi sangat kesal pada Delvian.

",-saran terakhir dari gue. JAUHIN ARETHA, BRENGSEK." Ketus Amanda meninggalkan Delvian begitu saja. 

Delvian mengumpat, menendang bebatuan yang ada dibawah kakinya lalu meneliti kembali pesan dari Latisa. 

"Bangsat!" 

From : Latisa

Sayang nanti pulang sekolah jadi anter aku kan? 

¤¤¤

The Bad Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang